Muhammadiyah Akan Gugat Menteri Susi
Nelayan sangat berharap bahwa Bapak Presiden Republik Indonesia berkenan untuk blusukan ke sentra perikanan Muara Baru - Jakarta, Tegal, Benoa-Bali, Sumbawa dan Bitung untuk menyaksikan sendiri fakta-fakta dilapangan bahwa saat ini perikanan Indonesia nyaris hancur lebur.
Jika situasi kehancuran ini tidak segera diatasi maka jangankan menumbuhkan industri perikanan Indonesia, untuk bertahan hidup saja sudah sangat sulit.
Berbagai aturan yang dikeluarkan KKP sejak Nopember 2014 telah mematikan usaha nelayan, unit pengolahan ikan dan pembudidaya ikan kerapu. Ironisnya anjloknya ekspor perikanan ini terjadi bukan karena masalah di pasar ekspor. Justru saat ini di pasar ekspor permintaan ikan dan harga ikan sedang naik.
Anjloknya ekspor ikan terjadi karena aturan-aturan Kementrian Kelautan dan Perikanan yang terbit tanpa melalui proses kajian, konsultasi publik, sinkronisasi peraturan dan sosialisasi seperti diamanatkan UU No 31 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menteri KKP Susi Pudjiasti mengeluarkan aturan PERMEN sudah melawan hukum serta Undang-Undang Republik Indonesia.
Akibatnya sejak akhir tahun 2014 produksi perikanan di seluruh pelabuhan besar perikanan Indonesia (Muara Baru, Brebes, Tegal, Pekalongan, Sumbawa, Batang, Juwana, Rembang, Lamongan, Gresik, Situbondo, Benoa, Bitung, Ambon, Tual, Sorong, Merauke) merosot terus, sehingga berakibat pasokan ke industri Unit Pengolahan Ikan (UPI) anjlok parah.
Kondisi ini terjadi akibat aturan-aturan KKP yang mematikan seperti, tidak diperpanjangnya ijin operasi 760 kapal nelayan buatan luar negeri yang telah lulus analisa dan evaluasi dari KKP, larangan trans-shipment, larangan penggunaan pukat hela dan pukat tarik, lambatnya perpanjangan ijin kapal tangkap dan kapal angkut, larangan menangkap lobster, kepiting dan rajungan ukuran tertentu, hambatan akses bagi kapal buyer ikan kerapu hidup dari luar negeri untuk berbelanja ikan kerapu hidup ke sentra-sentra budidaya ikan kerapu dan dinaikkannya pungutan PNBP untuk perpanjangan ijin SIPI kapal tangkap hingga 1.000%.
Yang terkena hambatan bukan hanya kapal-kapal yang masuk dalam daftar hitam, namun juga kapal-kapal yang telah lulus analisa dan evaluasi KKP.
Saat ini sekitar 1.5 juta kepala keluarga nelayan dan buruh ikan menganggur dan total devisa yang hilang sekitar US$ 3 Milyar per tahun.
Hasil inspeksi Bapak Wakil Presiden, Ketua Wantimpres, Deputy Menko Maritim, Anggota KEIN, dan instansi lainnya ke Ambon, Banda, Tual, Seram, Bitung, Muara Baru, Jawa Timur dll., serta juga diterbitkannya Inpres No 7 tahun 2016 belum juga merubah keadaan.
Pengecilan kapasitas armada nelayan nasional KKP telah melakukan pengecilan total kapasitas armada nelayan Indonesia sebesar 65%, turun dari 620.000 GT ke 220.000 GT sehingga Indonesia kehilangan kapasitas armada nelayan sebesar 400.000 GT, atau sebesar 65% dari kapasitas nasional semula.
Pengecilan dilakukan dengan tidak memperpanjang ijin operasi kapal buatan luar negeri milik badan usaha Indonesia, yang distigmatisasi KKP sebagai kapal ex-asing, seolah olah milik orang asing dan berbendera asing.
Hambatan perpanjangan ijin juga dilakukan terhadap kapal nelayan dari kayu buatan dalam negeri. Nelayan harus menunggu 5 hingga 9 bulan bahkan lebih lama lagi untuk mengurus perpanjangan ijin SIPI dan SIKPI. Armada ini berukuran diatas 30 GT hingga 700 GT dan beroperasi di ZEERI dan laut lepas menangkap ikan tuna, cakalang, albacore dan lain sebagainya.
Total jumlah kapal ikan yang terdaftar di KKP dan di pemda propinsi dan kabupaten seluruh Indonesia ada sekitar 650.000 buah. Yang terdaftar di KKP sebanyak sekitar 5.700 buah, dengan total kapasitas armada sekitar 620.000 GT, berukuran diatas 30GT.
Armada nelayan inilah yang memasok Unit Pengolahan Ikan (UPI) berorientasi pasar ekspor. Selebihnya, yaitu perahu nelayan kecil berukuran antara 10 hingga 30 GT terdaftar di propinsi dan kabupaten. Armada kecil ini jumlahnya 98% dari total armada nelayan namun total kapasitas armadanya kecil, kemampuan melautnya juga tidak jauh dan kapasitas tangkapnya juga rendah.
Armada kecil ini sedikit sekali memasok kebutuhan UPI tetapi lebih banyak memasok kebutuhan pasar becek tradisional. Terjadinya Pengecilan ukuran kapal nelayan.
Kementrian Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan aturan, SE DirJen Tangkap no B1234/DJPT/PI.410.D4/31/12/2015 tahun 2015, yang membatasi ukuran kapal tangkap dan kapal angkut ikan ijin baru maksimum 200 GT.
Pembatasan ukuran ini menyebabkan meningkatkanya biaya angkut ikan dan merugikan nelayan dan pemilik kapal. Aturan ini jelas tidak logis, karena semakin kecil ukuran kapal semakin tidak efisien.
Sebagai pembanding ukuran kapal tangkap di negara-negara Uni Eropa, USA, Australia dan Jepang berukuran antara 100 hingga 5.000 GT dan ukuran kapal angkut antara 4.000 hingga 20.000 GT.
Semakin kecil ukuran kapal semakin rendah tingkat keselamatan dan efisiensi usahanya. Seharusnya ukuran kapal tidak dibatasi melainkan kuota tangkap dan musim tangkap yang diatur dan dikendalikan.
*Dampak Kehancuran Sektor Perikanan Indonesia*
Sejak Nopember 2014 hingga hari ini, terjadi dampak sosial ekonomi dan hukum yang menimpa nelayan dan pembudidaya ikan laut Indonesia.
Terjadi pengangguran langsung pada berbagai sektor perikanan sebanyak sekitar 1.001.926 orang (belum termasuk pengangguran dari dampak multiplier) dengan rincian sebagainya: 1). Anak buah kapal sebanyak sekitar 92.276 orang. 2). Buruh unit pengolahan ikan sebanyak sekitar 370.650 orang. 3). Pembudidaya dan nelayan kepiting serta rajungan sebanyak sekitar 400.000 orang. 4). Penangkap benih lobster sebanyak sekitar 8.000 orang. 5). Pembudidaya lobster sebanyak sekitar 1.000 orang. Dan 6). Pembudidaya ikan kerapu sebanyak sekitar 130.000 orang.
Saat ini akibat regulasi yang tidak pro-bisnis, selain dampak tersebut di atas, minat berinvestasi di perikanan budidaya, perikanan tangkap dan usaha pengolahan ikan anjlok drastis, serta kepercayaan buyer di luar negeri terhadap sektor perikanan Indonesia hilang.
Total kehilangan penerimaan devisa akibat anjloknya produksi mencapai sebesar sekitar US$ 1.0376 dari total ekspor US$ 1.3405 juta, atau anjlok 77%, dengan rincian bahwa :
1). Penangkapan ikan tuna dan cakalang sebesar sekitar 80 juta US$, anjlok 50%. 2). Penangkapan udang sebesar sekitar 52 juta US$, anjlok 90%. 3). Penangkapan ikan cakalang sekitar 500 juta US$, anjlok 80%. 4). Industri budidaya dan penangkapan kepiting serta rajungan sekitar 414 juta US$, anjlok 90%. 5). Penangkapan benih lobster sebesar sekitar 29 juta US$, anjlok 95%. 6). Budidaya lobster sebesar sekitar 10 juta US$, anjlok 95%. 7). Budidaya ikan kerapu sebesar sekitar 67.5 juta US$, anjlok 90%. 8). Ekspor produk olahan ikan/shurimi sebesar sekitar 120 juta US$, anjlok 67 %.
Selain itu terjadi penangkapan nelayan cantrang oleh aparat penegak hukum di laut, saat ini ada sekitar 200an nakhoda dan ABK Indonesia yang dipenjara.
Mereka umumnya hanya lulusan SD dan buta hukum. Banyak nelayan cantrang ditahan tanpa ada proses hukum, tanpa ada surat penahanan, tidak diberi makan, dan tidak ada kejelasan proses hukumnya.
Banyak kapal baik angkut maupun penangkap ikan di Gabion-Belawan, Batam, Tanjung Pinang, Sibolga, Pontianak, Lampung, Muara Angke, Muara Baru, Indramayu, Brebes, Tegal, Pekalongan, Batang, Juwana, Rembang, Lamongan, Benoa, Bitung, Kendari, Ambon, Tual, Sorong, Merauke yang tidak diberikan perpanjangan ijin beroperasi sehingga mangkrak. Total jumlah kapal yang menganggur menunggu perpanjangan ijin ada sekitar 10.521 buah dengan nilai asset sebesar 6.5 Triliun Rupiah dan terancam merugi dan rusak tidak terpelihara.
Kapal-kapal tersebut dihambat perpanjangannya ijinnya walaupun sudah membayar PNBP dimuka, setelah menunggu selama 3 hingga 9 bulan. Tahun 2013, perpanjangan ijin dapat diselesaikan dalam waktu 14 Hari.
Total jumlah kapal dan perahu ikan Indonesia yang terdaftar ada sekitar 680.000 unit. Yang ukurannya diatas 30 GT kurang dari 1%. Yang diduga melakukan kegiatan ilegal fishing kurang dari 0.2% (1.132 unit kapal), namun ini saja yang selalu dihebohkan oleh mentri KKP di media, sementara yang kecil dan miskin sebanyak 99% belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah.
Akibat larangan trans-shipment dari fishing ground ke pelabuhan perikanan Indonesia dan dihambatnya perpanjangan ijin kapal nelayan, pasokan ikan ke unit pengolahan ikan (UPI) di seluruh Indonesia telah turun sebesar 60% dan enam puluhan perusahaan perikanan tangkap yang taat pada regulasi dan perusahaan pengolahan ikan sudah tidak beroperasi lagi dan terancam bangkrut, karena aturan-aturan KKP yang mematikan.
Akibat Permen KKP No 32 tahun 2016 pembudidaya ikan kerapu hidup di 15 propinsi dihambat menjual ikannya, stok ikan yang siap ekspor saat ini ada 2.700 ton, senilai US$ 40.5 juta di 10 propinsi tidak dapat dijual, padahal target pasar mereka adalah ekspor yang menghasilkan devisa bagi negara dan membuka lapangan pekerjaan bagi warga desa-desa pesisir.
Karena ukuran kapal pembeli dari Hong Kong dibatasi maks 500 GT, titik muat per kapal dibatasi hanya 1 titik dan frekwensi muat dibatasi 12 kali per tahun, maka total kapasitas angkut total kapal buyer anjlok tinggal 25% saja.
Sehingga 75% UMKM pembudidaya kerapu menjadi bangkrut di Pangkalan Susu, Lhokseumawe, Sibolga, Painan, Air Bangis, Nias, Mentawai, Batam, Bintan, Karimun Jawa, Situbondo, Lombok, Sumbawa, Buton, Bontang, Tarakan, Ambon, Kendari, Luwuk Banggai, Tual dll. karena tidak ada kapal yang bisa melayani.
Kemana mereka harus menjual ikan hasil budidayanya? Total produksi yang tidak bisa dijual ada 3.840 ton setahun, atau senilai US$ 57.6 juta per tahun, dari total produksi seluruh pembudidaya Indonesia sekitar 4.200 ton per tahun, senilai US$ 67.5 juta. Sekarang semua pengusaha UMKM budidaya ikan kerapu tidak bisa jual ikan dan kesulitan cash flow sehingga bangkrut.
SUSI PUDJIASTUTI LAKUKAN WANPRESTASI
Untuk menyelamatkan 1.500an UMKM pembudidaya ikan kerapu berorientasi ekspor di desa-desa pesisir di 15 propinsi, dengan produksi sekitar 4.500 ton/tahun, yang mempekerjakan sekitar 130.000 kepala keluarga, agar akses kapal angkut ikan kerapu hidup dari pembeli luar negeri (Hong Kong) dibuka seluas-luasnya sehingga Indonesia bisa menjadi eksportir ikan kerapu terbesar di dunia.
Oleh karena itu jangan ada pembatasan jumlah titik muat per trip, ukuran kapal atau frekwensi muat per tahun.
Maka diusulkan agar Permen KP nomer 32 tahun 2016 dibatalkan dan Permen KP nomer 49 tahun 2014 diberlakukan kembali dan ika dipandang perlu KKP dapat menempatkan observer diatas kapal buyer dari Hong Kong selama berada di perairan Indonesia.
Jika Permen KP No 49 tahun 2014 diberlakukan kembali potensi devisa yang bisa didapat kembali sekitar US$ 67.5 juta/tahun, atau setara Rp 0.89 Triliun, yang bisa dikembangkan hingga Rp 4 Triliun per tahun.
Agar Permen KP No 01 tahun 2015 direvisi, sehingga diperbolehkan penangkapan benih lobster untuk dibudidayakan, menangkap lobster pasir ukuran 100 gram keatas, menangkap kepiting betina dan rajungan pada periode tertentu.
Kementrian Kelautan dan Perikanan diminta memberi bantuan sarana produksi dan bimbingan teknis budidaya lobster pada pembudidaya di Indonesia, dan menyebar luaskan teknologi pembenihan kepiting untuk memperluas lapangan pekerjaan bagi 650.000 kepala keluarga di desa-desa pesisir dan meningkatkan penerimaan devisa.
Pemerintah telah mengeluarkan 12 paket deregulasi diberbagai sektor untuk debirokratisasi perijinan dan memberi insentif untuk investasi, namun di sektor perikanan belum ada paket deregulasi yang dilakukan, yang ada malah dikeluarkannya aturan-aturan yang semakin menghambat dan mematikan usaha perikanan.
Untuk meningkatkan kepastian usaha dan kepercayaan dunia usaha agar aturan-aturan baru tidak berlaku surut dan ijin-ijin yang sudah diterbitkan sesuai dengan aturan serta investasi yang sudah ditanamkan diberikan kepastian hukum untuk melanjutkan usaha.
Agar jangan ada peraturan pembatasan ukuran kapal penangkap ikan dan pengangkut ikan berbendera Indonesia di perairan Indonesia, ZEEI dan laut lepas. Untuk itu agar Surat Edaran DirJen Tangkap nomer B.1234 DJPT/F1.410.D4/31/12/2015 dicabut dan dikembalikan pada Permen KP No. 30/PERMEN-KP/2012. Mengingat luasnya perairan Indonesia, peraturan pembatasan ukuran kapal (tidak boleh lebih dari 150 GT) telah mengkerdilkan kemampuan nelayan Indonesia untuk menangkap dan mengangkut ikan di perairan ZEEI dan laut lepas. Jika usul dilaksanakan maka potensi devisa yang bisa didapat sekitar US$ 25 juta/tahun. Sebagai catatan, dari 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia yang sudah over fishing hanya ada 2 WPP, yakni Selat Malaka dan Laut Jawa. Delapan kapal ukuran besar ini akan beroperasi di ZEEI dan laut lepas yang masih under fishing.
Agar larangan penggunaan 17 alat pukat ditinjau kembali karena tidak semua merusak lingkungan. Pelarangan penggunaan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik khususnya cantrang akan menyebabkan permasalahan sosial dan ekonomi yang sangat luas.
Cantrang sesungguhnya ramah lingkungan dan cantrang bukanlah pukat harimau yang telah dilarang digunakan. Selama pemerintah belum dapat mencari alat tangkap pengganti yang ekonomis dan mampu dijangkau oleh nelayan, serta turut serta menyelesaikan masalah-masalah pinjaman di bank maupun dampak-dampak sosial yang di timbulkannya, maka sebaiknya penggunaan alat tangkap pukat tarik dan pukat hela tidak perlu dilarang, untuk itu diusulkan agar Permen KP no 02 tahun 2015 dicabut dan Pasal 23 ayat 6 Permen KP no 02 tahun 2011 direvisi.
Permen KP No 02 tahun 2015 melarang penggunaan Cantrang dan lainnya. Permen KP No 02 tahun 2011 Pasal 23 ayat 6 membolehkan penggunaan alat tangkap Cantrang dll., namun ukuran kapal dibatasi maksimum 30 GT, dan dibatasi hanya boleh beroperasi di WPP 711, 712,713 saja.
Diusulkan agar Ps 23 ayat 6 Permen KP No 02 tahun 2011 direvisi yakni tidak membatasi ukuran kapal dan tidak membatasi WPP 711 (Natuna), 712( Laut Jawa), 713 (Selat Sulawesi) saja namun ditambah di WPP 718 (Arafura).
Agar penangkapan kapal cantrang beserta nahkhoda dan ABK-nya oleh aparat KAMLA (TNI AL dan POLAIR) segera dihentikan dan jangan terjadi kriminalisasi terhadap nelayan Indonesia.
Pemerintah jangan menggunakan standard ganda, dimana nelayan legal Indonesia dipenjara, sedangkan nelayan ilegal asing dideportasi. Saat ini sudah hampir ratusan nakhoda dan ABK cantrang yang pernah atau sedang bermasalah dengan hukum disebabkan tertangkap oleh aparat KAMLA.
Para nelayan yang sama sekali tidak mengerti hukum harus menjalani hukuman penjara, denda ratusan juta rupiah bahkan ikan hasil tangkapan dan kapal milik mereka satu2nya dirampas oleh negara.
Ketidakpahaman tentang hukum menjadikan mereka sebagai sasaran empuk oknum2 penegak hukum untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Untuk meningkatkan kembali ekspor udang tangkapan dari laut Arafura sebagai penghasil devisa dengan potensi MSY Udang 49,500 ton/tahun, dan mengingat pukat udang yang digunakan saat ini telah melalui kajian ilmiah dan diakui FAO karena telah dilengkapi dengan alat BRD (Bycatch Reduction Device) dan TED (Turtle Exluder Device), maka pukat udang agar tetap diperbolehkan/tidak perlu dilarang.
Kembalikan aturannya ke KEPPRES No.85 Tahun 1982 dan cabut Permen KP Nomor 02 tahun 2015 dan dikembalikan ke PerMen KP nomor 18/Permen-KP/2013. Jika usul dilaksanakan maka devisa yang bisa diperoleh kembali sekitar US$ 52 juta/tahun.
Yang terjadi sekarang adalah KKP tidak memproses hukum kapal-kapal buatan luar negeri yang masuk daftar hitam malah menggelar karpet merah untuk kembali ke Thailand, namun malah menghukum kapal-kapal buatan luar negeri yang masuk daftar putih/lulus analisa dan evaluasi KKP. Jika usul dilaksanakan maka devisa yang bisa didapat kembali sekitar US$ 300 juta/tahun dari industri penangkapan ikan, belum termasuk dari industri pengolah ikan.
Dengan dinaikkannya Pungutan Hasil Perikanan melalui PP nomer 75 tahun 2015, sebagai PNBP untuk Penerbitan perpanjangan ijin kapal nelayan yang sangat memberatkan karena naik hingga 10 kali lipat, agar tidak memberatkan pemilik kapal penangkap ikan dalam mengurus perpanjangan ijin maka Peraturan Pemerintah no 75 tahun 2015 perlu dicabut.
Mencabut atau merevisi PerMenkeu (nomer 03 tahun 2003) tentang pungutan Pajak Bumi Bangunan untuk laut bagi sektor perikanan Tangkap yang memberatkan pelaku usaha perikanan tangkap dan budidaya, karena adanya double taxation, dimana NJOP laut dihitung berdasar perkiraan penghasilan yang harus dibayar dimuka, padahal perairan laut tidak bisa disertifikatkan dan diperjual belikan.
RESOLUSI CANTRANG: DIVISI ADVOKASI BURUH TANI NELAYAN MPM PP MUHAMMADIYAH
Sesuai amanat tanwir Muhammadiyah tahun 2017 di Ambon dan permasalahan nelayan. Maka menegaskan bahwa :
1. Menggugat dan Lakukan wanprestasi, Menegaskan tekad bahwa untuk mewujudkan cita-cita nelayan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Kedaulatan dan keadilan sosial adalah azas, nafas, dan tujuan yang menggerakkan nelayan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan nelayan se Indonesia. Maka Cantrang harus tetap berlaku karena tidak membahayakan bagi ekosistem laut.
2. Kajian Akademis Kedaulatan Nelayan. MPM PP Muhammadiyah akan melakukan kajian akademis selama sebulan yang sala satunya menghasilkan procedding nelayan dan memasukkan laporan gugatan kepada Susi Pudjiastuti.
3. Keadilan Sosial aNelayan berarti pemenuhan hajat hidup nelayan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang sempurna. Keadilan sosial berarti pemerataan kesejahteraan secara proporsional bagi seluruh rakyat, siapapun dan dimanapun mereka berada dengan tetapà memberikan penghargaan yang berprestasi, kesempatan yang terbuka bagi yang mau bekerja, pemihakan kepada yang lemah, dan perlindungan bagi yang tidak berdaya. Keadilan sosial berarti keseimbangan, tidak adanya ketimpangan yang menganga, dan dominasi oleh mereka yang digdaya.
4. Batalkan seluruh permen yang bersifat menindas rakyat dan nelayan.
Penulis: Rusdianto Samawa,
Divisi Buruh Tani dan Nelayan MPM PP Muhammadiyah
Foto: courtesy google