Bansos, Obat Mujarab Ketimpangan Ekonomi

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa optimistis strategi keuangan inklusif yang diterapkan dalam penyaluran bantuan sosial yang dilaksanakan secara luas mampu mengatasi masalah ketimpangan ekonomi di Indonesia. 

Hal tersebut disampaikan Khofifah saat menjadi panelis dalam diskusi "Rembuk Republik" di Museum Bank Indonesia, baru-baru ini. Hadir juga sebagai pembicara Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Eni V Panggabean, Corporate Secretary Dompet Dhuafa Sabeth Abilawa, dan Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih. Diskusi "Rembuk Republik" mengangkat tema "Solusi atas Masalah Ketimpangan Ekonomi". 

"Tiga juta keluarga penerima manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan (PKH) di 98 kota dan 200 kabupaten akan menikmati aksesibilitas perbankan akhir tahun ini. Selain itu, sebanyak 1,2 juta KPM di 44 kota juga telah menerima Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)," ungkap Khofifah. 

Menurut Khofifah, percepatan keuangan inklusif yang dilakukan Kementerian Sosial melalui penyaluran bantuan PKH dan bantuan pangan berkontribusi besar bagi target keuangan inklusif pemerintah yang dipatok sebesar 75 persen di tahun 2019 mendatang. Tidak hanya itu, program-program tersebut berdasarkan telaah bank dunia dapat menyumbang penurunan angka kemiskinan nasional sebesar 0,3 persen dalam setahun. 

Hal ini tidak terlepas berubahnya format penyaluran bantuan sosial yang tidak lagi tunai sehingga prinsip 6 T (tepat waktu, tepat sasaran, tepat jumlah, tepat kualitas, tepat harga, tepat administrasi) dapat terwujud. 

"Angka 0,3 persen adalah hasil telaah dan kajian yang dilakukan Bank Dunia, bukan klaim sepihak Kementerian Sosial," imbuhnya. 

Khofifah menerangkan, masalah kemiskinan di Indonesia, hususnya kemiskinan di perdesaan yang saat ini hampir dua kali lipat lebih tinggi dari perkotaan dan pada umumnya disumbang oleh sulitnya akses terhadap peluang dan kesempatan . Semakin jauh dan terpencil lokasi sebuah desa dari kota, maka akan semakin sulit bagi penduduk desa tersebut untuk mendapatkan barang dengan harga yang murah. Sementara sumber daya ekonomi yang ada di wilayah tersebut juga sangat terbatas. Alhasil, tingkat kesejahteraan di wilayah desa atau pinggir tidak kunjung meningkat. 

"Jadi tidak heran kalau hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kemiskinan di desa hampir dua kali lipat dari angka kemiskinan di kota," ujarnya. 

Ditambahkan, faktor lain yang juga menyebabkan penduduk miskin di Indonesia naik turun adalah bencana alam. Tidak sedikit mereka yang tadinya sudah sejahtera kembali miskin setelah bencana alam melanda dan menyebabkan seluruh harta benda serta sumber daya ekonomi yang dimiliki hancur atau musnah. 

Oleh karena itu, Khofifah berharap Pemerintah Daerah dan swasta bisa ikut andil dalam upaya pengentasan kemiskinan di wilayahnya. Karena menurutnya, sangat mustahil jika hanya mengandalkan pemerintah pusat melalui dana Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) tanpa penguatan dan kontribusi daerah melalui APBD. 

"Sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah wajib hukumnya, karena kalau hanya dari APBN gak "nutut" (cukup-red). Ambil contoh Kota Semarang yang mengalokasikan APBD untuk memperluas jangkauan penerima bantuan sosial dan sudah di integrasikan dalam Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)," terangnya. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean mengungkapkan rasio gini mengalami stagnasi sejak 2011 di angka 0,4, dan sedikit membaik pada September 2016 di angka 0,39. Penyebab dari masih tingginya rasio gini tersebut adalah karena akses masyarakat terhadap fasilitas keuangan masih rendah, atau masih tingginya unbank people . (*)


Foto: Humas Kementerian Sosial