Problematika Sosial dan Sengkarut Syariat Islam di Aceh
Sebelumnya, salah satu media massa merilis Aceh sebagai penyumbang manusia terbanyak stres dan gila se-Indonesia. Lalu muncul survey dari Maarif Institute yang menempatkan Aceh pada posisi ke 19 dari 51 daerah se- tanah air sebagai daerah yang paling Islami.
Tentunya hal ini tidak relevan saat melihat Aceh sebagai sebuah daerah otonom yang berada di bawah payung syariat Islam harus menyandang predikat hitam tersebut. Kebanggaan akan romantisme sejarah-sejarah Aceh harus ternodai akibat beberapa survei ini.
Kenangan- kenangan para pejuang Aceh yang dulu bercucuran darah saat memperjuangkan eksistensi syariat Islam di Aceh sepertinya tampak malu dilihat kegagalan dari Aceh saat ini. Mungkin Syariat Islam telah gagal dalam memberikan solusi akan semua permasalahan hidup.
Syariat Islam mungkin hanya menjadi simbol, namun tidak mampu menjadi sendi-sendi di kehidupan. Atau lebih tepat syariat Islam mungkin telah mati dan menjadi fosil dalam diri dan jiwa masyarakat Aceh. Sebab terlalu naif ketika kita menjadikan syariat Islam sebagai kambing hitam yang tidak mampu menjawab segala permasalahan- permasalahan kehidupan.
Islam sebagai agama rahmat, agama keselamatan, agama yang menjunjung tinggi kemerdekaan dalam segala aspek sesungguhnya tidak hanya berbicara tentang hubungan manusia dengan Tuhan, namun Islam berbicara tentang seluruh lapisan kehidupan, Islam juga menjadi alat pembentukan karakter manusia yang berbasis insan kamil.
Ketika kita masuk kedalam lorong-lorong sejarah, kita akan melihat bagaimana masyarakat Arab yang notabenenya jahiliyah dan berperadaban terbelakang bisa terdidik dengan cahaya Islam yang dibawa oleh Muhammad, Eropa yang beralih dari masa kegelapan ke masa pencerahan tidak luput dari sumbangsih Islam dan keilmuan nya pada masa itu, dan semua itu karena Islam. Islam telah menjadi cahaya, penerang dan alat dalam perkembangan berbagai peradaban di dunia.
Sesungguhnya inilah yang harus diambil hikmah oleh masyarakat Aceh. Islam tidak hanya dijadikan sebagai simbol dan pajangan dalam berkehidupan, Islam tidak hanya di hafal-hafal di setiap waktu dalam hidup, namun Islam harus bisa menjadi aktualisasi dalam roda kehidupan, Islam harus menjadi nyata, masuk dan menyerap dalam sendi-sendi kehidupan.
Substansi Islam harus lebih khusyuk dihayati oleh segenap masyarakat Aceh ketimbang hanya bangga akan simbol syariat Islam tanpa di ikuti akan penerapannya. Semoga tulisan ini bisa menjadi lilin di tengah gelap agar kita tak sibuk mengutuk gulita.
Khairul Umam
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Aceh
Foto: Okezone.com