Putusan MA: Sengketa Pilkada Aceh Diadili Bukan dengan UUPA, Ini Dasarnya...

Kasus bermula saat Said Syamsul Bahri-M Nafis Manaf menggugat Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Barat. Said-Nafis tidak terima dengan keputusan KIP Kabupaten Aceh Barat Daya per 23 Februari 2017. Gugatan dilayangkan ke Mahkamah Agung. Namun apa kata MA?
"Menyatakan keberatan hasil pemilihan yang diajukan oleh Said Syamsul Bahri-M Nafis Manaf tidak dapat diterima," kata majelis sebagaimana dilansir website MA, Senin (20/3/2017).
Putusan itu diadili oleh hakim agung Yulius, hakim agung Yosran, dan hakim agung Irfan Fachrudin.
"Sesuai asas hukum lex posterior derigat legi priori, undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama. Maka dalam kasus ini yang harus digunakan adalah UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bukan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang UU Pemerintahan Aceh," ujar majelis dalam sidang pada 13 Maret 2017.
"Gugatan yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung sehubungan dengan pemilihan kepala daerah hanya mengenai sengketa tata usaha negara pemilihan dan sengketa pelanggaran administrasi pemilihan, termasuk pelanggaran money politics," sambung MA.
Putusan MA di atas berseberangan dengan pendapat Yusril Ihza Mahendra, yang menyatakan di Aceh berlaku pasal khusus yang mengatur pilkada di Aceh, yaitu Pasal 74 UU Aceh, bukan Pasal 158 UU Pilkada.
Sebelumnya, Yusril selaku Kuasa Hukum Pasangan Nomor Urut 5 di Pemilihan Gubernur Aceh Muzakir Manaf- T.A Khalid, meminta Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberi kekhususan bagi pemilihan gubernur di Provinsi Aceh.
Dia meminta MK mengabaikan atau mengesampingkan ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Sebab, pasal itu berlaku untuk Pilkada di daerah lain secara nasional.
Sementara, Aceh adalah wilayah khusus sehingga harus menggunakan pasal 74 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Sumber: Detik, Kompas, Akuratnews