Tetaplah Merasa Bodoh
'Ah kamu bagaimana sih, pekerjaan seperti ini saja tak mengerti. Bodoh sekali !', 'pakai otak dong, biar gak bodoh banget', '… dasar bodoh', '…bodoh sekali sih kamu',
Sahabat, apa yang kamu rasakan dan bagaimana reaksi kamu jika kalimat-kalimat diatas dilemparkan padamu? Biasa saja? cuek? atau marah? Dan, seberapa sering kalimat-kalimat diatas kita dengar?
Tidak sedikit dari kita, mungkin juga diri kita sendiri pasti akan marah jika seseorang, entah itu teman, saudara, bahkan keluarga mungkin, mengatakan kita 'bodoh'. Diluar konteks saat sedang bercanda, nyatanya emosi kita akan seketika tersulut mendengar kalimat itu. Dan jika sudah begitu, emosilah yang kemudian menguasai diri, hati dan pikiran kita. Tak sedikit pula pertengkaran serius terjadi hanya karena kata 'bodoh' dari seseorang yang terkesan menilai diri kita rendah.
'hah, apa-apaan si polan itu bilang aku bodoh', 'sepintar apasih dia sampai menilai aku bodoh', 'sembarangan mengatakan aku bodoh!'.
Itulah kalimat yang mungkin selalu kita ucapkan tiap kali diri emosi karena perkataan 'bodoh' dari seseorang. Dan, bisa jadi kita tak dapat mengontrol diri dari amarah, jika kata-kata itu (bodoh) keluar dari mulut orang-orang yang bisa dibilang kurang dekat dengan kita. Namun, bukan tak mungkin, terkadang juga kita tetap tak bisa mengontrol diri dari emosi jika orang-orang terdekatlah yang mengatakan kata-kata demikian, bisa jadi suami pada istri, istri pada suami, orangtua pada anak, teman dekat, atau mungkin doi yang sudah kamu beri label calon pasangan hidup.
Belajar dari pengalaman diri sendiri, penulis juga melewati fase dimana kata-kata bodoh itu seakan menjadi granat yang kapan saja bisa meledakkan amarah diri setiap kali dilemparkan. Bisa dibilang tidak hanya cukup mengeluarkan amarah, ocehan yang disertai tindakan-tindakan yang dapat memuaskan hati terkadang juga ingin sekali dilakukan jika sudah tak dapat mengontrol emosi.
Berarti penulis emosian dong?
Ya, dulu. Bukan berarti sekarang saya tidak pernah emosi. Hanya saja saya belajar mengontrolnya. Namanya manusia, kalau boleh jujur tak ada yang mau dinilai buruk oleh orang lain, apalagi dinilai sebagai orang bodoh. Benar atau betul? Begitu juga saya dulu, pantang tersulut sedikit saja, amarah sudah memuncak.
Lalu bagaimana bisa berubah?
Berubah, berubah, berubah, kata sederhana yang sarat makna. Dapat bermakna menjadi lebih baik, lebih buruk, atau tetap begitu saja tak menjadi apa-apa. Terkadang berubah itu gampang, namun mempertahankan perubahan itu yang sulit. Seperti itulah yang saya alami untuk mempertahankan perubahan sikap, karakter dan watak kepribadian saya. Rasanya lelah jika hanya karena kata'bodoh' membuat kita emosi tingkat dewa, bahkan tak jarang bertengkar dengan orang tersebut hanya untuk membuktikan kita bukan seperti apa yang mereka katakan.
Lalu, bagaimana kalau saya katakan tetaplah merasa bodoh untuk mempertahankan perubahan?
Tetap merasa bodoh? Ya, tetap merasa bodoh. Apakah ada yang salah dengan pertanyaan itu? Jika tidak, mari kita lanjutkan pembahasan yang mungkin kamu anggap tak penting ini, tapi kamu merasa perlu tahu akhir tulisan ini.
Sahabat,,,
Tetap merasa bodoh bukanlah selalu identik dengan hal-hal yang dapat mengurangi nilai diri kita, atau membuat orang memandang kita sebelah mata. Jujur, karena tetap merasa bodohlah, saya bisa lebih legowo dan mengontrol emosi. Belajar dari ilmu padi, yang semakin berisi semakin menunduk, begitulah seharusnya dasar hidup yang kita pegang. Mengapa?
Karena dengan merasa diri kita bodoh, kurang mengetahui banyak, dan banyak yang tidak kita ketahui, maka kita akan terus tergerak, berkeinginan keras untuk mencari tahu sesuatu atau hal-hal yang pada akhirnya menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Dengan merasa diri kita bodoh, kita menjadikan diri kita sebagai pribadi yang haus ilmu, yang kelaparan akan pengetahuan, sehingga kita akan terus menerus belajar tentang apapun itu yang bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita.
Ingat, belajar tentang apapun itu yang bermanfaat dan nantinya menjadikan kita pribadi yang lebih baik dan pribadi bermanfaat untuk orang sekitar.
Tapi bagaimana jika sudah pintar? Apa harus tetap merasa bodoh?
Nah, inilah yang kebanyakan terjadi pada kita ketika sudah merasa pintar. Kalau memang kamu sudah merasa pintar sebaiknya tak usah melanjutkan membaca tulisan ini. Mengapa? Karena kamu sudah merasa pintar. Khawatirnya kamu akan menganggap tulisan ini hanya angin lalu. Jadi masih mau lanjut baca? Oke, mari kita lanjutkan..
Awas, pintar membuatmu sombong.
Awas, pintar membuatmu besar kepala dan tinggi hati.
Awas, pintar membuatmu mudah merendahkan orang lain.
Mengapa?
Karena ketika kamu sudah merasa pintar, kamu akan merasa cukup belajar, kamu sudah merasa tahu banyak dan banyak tahu. Lantas mengapa harus belajar lagi, pikirmu. Padahal, alur kehidupan kita ini tak pernah lepas dari proses belajar, terutama belajar dari kesalahan. Cepat puas, begitulah gambaran seseorang yang sudah merasa dirinya pintar.
Tetapi akan berbeda jika kita tetap merasa bodoh. Setiap hari tak akan terlewati tanpa adanya proses belajar, sekecil apapun itu. Misalnya, ketika atasan memarahi kita sampai keluar kata'bodoh' dari beliau, tak perlu marah ataupun dendam. Tersenyumlah, ikhlaslah, dan jangan lupa bersyukur karena masih ada orang yang secara tak langsung mengingatkan kita untuk terus belajar dan tak menjadi pribadi yang sombong karena merasa sudah pintar. Kalau sudah merasa pintar, sehalus apapun ucapan orang lain, bisa jadi salah menurut kita sebab kita merasa paling benar sendiri.
Dengan merasa tetap bodoh, tidak menjadikan diri kita hina, tetapi malah terus memberi diri kita kesempatan untuk terus belajar tanpa pernah merasa cukup sekalipun. Karena kehidupan kita adalah proses belajar. Selama hayat dikandung badan jangan pernah lelah untuk belajar tentang semua hal yang bermanfaat, bisa jadi mungkin tak bermanfaat langsung ke diri kita, tetapi bermanfaat untuk orang banyak.
So, tetaplah merasa bodoh, agar hidup tetap berteman akrab dengan proses belajar dan berjuang menjadi manusia yang lebih baik lagi dan lagi.
Chairunnisa Dhiee