Dirjenbun: Eropa Tidak Ikhlas Melihat Perkebunan Sawit Indonesia Maju
Merespon resolusi sawit yang dikeluarkan di Starssbourg, Prancis, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang Wahyu Dwiantoro menyentil Parlemen Eropa tidak ikhlas melihat perkebunan sawit di Indonesia maju.
Perkebunan sawit kata Bambang saat ini menjadi sektor paling potensial dan menjanjikan sebagai sumber energi baru dan terbarukan dunia, setelah energi fosil makin menipis.
"Kita kembali merenung, bahwa perkebunan Indonesia menjadi sumber energi dunia. Ketika energi fosil habis, dan Indonesia adalah negara paling potensial menghasilkan pangan dan energi baru dan terbarukan. Mereka tidak ikhlas, perkebunan sawit kita maju jaya," tandasnya dalam Rapat Koordinasi Perkebunan di Pontianak, Kalimantan Barat Selasa (18/4).
"Mereka dengan isu negatif itu, agar mendapatkan harga sawit murah," sambungnya.
Namun demikian, Bambang tidak memungkiri masih banyak hal yang harus diperbaiki dalam tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Dia menekankan agar seluruh petani dan pengusaha sawit dapat lebih bertanggung jawab dan meningkatkan kesadaran lingkungannya.
"Resolusi parlemen Eropa menyadarkan kita untuk mengelola perkebunan sawit dengan lebih bertanggung jawab, ramah lingkungan. Agar pengusaha sadar diri agar memberi contoh-contoh yang baik," tegasnya.
Ia mencontohkan peristiwa kebakaran hutan terdahsyat yang sempat terjadi pada tahun 2015 lalu. Praktik-praktik membuka lahan sawit dengan membakar hutan tidak boleh diulangi.
"Kita harus tunjukkan pada dunia bahwa perkebunan kita jauh dari resiko kebakaran. Kita harus jaga dari ancaman kebakaran," pintanya.
Lebih lanjut, Dirjen Bambang membeberkan kalkulasi tingkat produktifitas sawit yang masih rendah di Indonesia. Rata-rata, realisasinya masih di kisaran 3-4 ton per hektar, dari potensi panen yang masih bisa digenjot hingga dua kali lipat lebih, yakni 8,4 ton perhektar.
Hitungan dia, akibat rendahnya produktifitas sawit itu, di Kalimantan Barat saja setiap tahunnya harus kehilangan potensi pendapatan mencapai Rp124 triliun untuk perkebunan sawit rakyat, Rp20,8 triliun untuk perkebunan sawit negara dan Rp146 triliun untuk perkebunan sawit swasta.
"Bahkan di Malaysia bisa 12 ton. 5-6 kali lipat dari sekarang. Belum termasuk industri hilirnya," ungkap Bambang.
Senada, Wakil Gubernur Kalimantan Barat Christiandy Sanjaya menilai resolusi parlemen Eropa soal sawit tidak terlepas dari kepentingan persaingan bisnis. Bukan lingkungan.
"UE (Uni Eropa) ketakutan kalau CPO itu menggantikan minyak jagung dan minyak biji matahari," kata dia.
Terpisah, Ia mengungkapkan keseriusannya menyanggupi tawaran pemerintah pusat untuk menanam jagung sebagai tanaman tumpang sari perkebunan sawit. Saat ini di Kalbar ada sekitar 1,5 juta hektar lahan sawit.
"Satu juta hektar saja kita tanam jagung, saya yakin Kalbar akan jadi eksportir jagung terbesar," pungkasnya. (*)