Umpatan Tiko dan Harapan Baru dari NTB
Inilah gubernur yang berani mengkritik pers. Secara terbuka. Di puncak acara Hari Pers Nasional (HPN) pula. Di depan hampir semua tokoh pers se-Indonesia. Pun, di depan Presiden Jokowi segala. Di Lombok.
Itulah mukadimah Dahlan Iskan dalam tulisannya di Jawa Post 22 Februari 2016. Tuan Guru dengan Masa Depan yang Panjang, New Hope. Saya menyenangi kepemimpinan, saya menelurusi siapa sebenarnya New Hope ini. Dia anak muda yang tampan. Seluruh masa pendidikan Sarjana sampai Doktorat di habiskan di Al Azhar. Sebuah Universitas tertua di dunia. Sebelum persemakmuran Islam dengan Universitas bagus-bagus di Cordoba, Al Azhar telah mulai pendidikan untuk orang dewasa.
Jauh mendahului Universitas di Eropa. Saya melihat pula video ketika dia mengkritik pers. Seorang yang sangat santun, pemilihan kata yang sangat tepat. Semua kena kritik beliau, termasuk jajaran pemerintahan. Termasuk Presiden. Secara elegan dan kitapun bisa merasakannya Tuan Guru tak sampai melukai yang dikeritik. Seolah dia bagian dari yang sedang dia kritik. Educated People. Siapapun yang melihat video itu mengatakan dia adalah seorang "sangat terdidik" dan menghayati ajaran agama yang dia yakini.
Pantaslah seorang Dahlan Iskan, yang telah malang melintang di dunia pers, bisnis dan akhirnya menjadi birokrat, menyebutnya The New Hope.
Tuan Guru, Dr KH Zainul Majdi. Itulah namanya. Dia lebih sering dipanggil Tuan Guru Bajang. Beberapa kali tergores dalam hati. Saya akan mengunjungi beliau di NTB. Dia seorang Gubernur di NTB, provinsi menjadi tujuan wisata setelah Bali.
Dua hari lalu, di sosmed, bertaburan berita di media online TGB dilecehkan oleh seorang belia kelahiran tahun 1991. Status mahasiswa. Membaca kronologisnya bukanlah sebuah kesalahan besar. Ini salah paham saja.
Seharusnya Steven Hadisurya Sulistyo (SHS), cukup tersenyum setelah mengetahui TGB hanya pisah sebentar dengan istrinya yang masih dalam jalur antrian. TGB bergabung kembali. Tetapi apa yang terjadi ungkapan aneh yang keluar. "Dasar Indo, Dasar Indonesia, Dasar Pribumi, Tiko!"
Setelah mengetahui Tiko itu artinya tikus kotor, atau arti lain Ti adalah Babi, Ko adalah Anjing, saya belum percaya berita itu. Bangkali hoax. Rupanya bergulir, viral. Ungkapan "Dasar Indo, Dasar Indonesia, Dasar Pribumi, Tiko!" ini ungkapan RASIS.
Di negeri yang pernah terkenal RASIS pun, ungkapan semacam itu hampir tak pernah kita dengar. Apa lagi ditujukan pada seorang yang lebih tua bersama istrinya. TGB bukan sembarang, dia Hafizd Quran, dia ahli Tafsir, dia Ulama, dia Gubernur, dia juga pemimpin yang sangat disegani. Dia seorang DOKTOR dari Al Azhar. Presiden RI saja mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan pidato KH Zainul Majdi.
Umpatan semacam ini tak biasa. Menggores dalam. Hati kami terluka. Sebagai pendidik saya mendidik juga banyak "Steven", kami asuh mereka bagaikan anak kami. Menjadikan anak akademik yang sadar akan kebangsaan.
Dari mana asal RASIS semacam itu. Perlu dicurigai, ungkapan spontan SHS itu hasil minimnya interaksi dengan yang lain. Berada di Indonesia tetapi tak pernah bergaul dengan anak-anak Indonesia pada umumnya. Sekolah, rumah, pergaulan keseharian, perguruan tinggi tetap dengan sesama.
Mereka merasa beda, dalam istilah SHS, kami bukan pribumi, kamu pribumi. Ungkapan spontan SHS seperti telah terpatri betul dalam alam bawah sadarnya. Ini celaka. Dia memandang rendah bangsanya sendiri. Rupanya SHS bukalah sendirian. Ada juga grombolan yang lain yang dengan mudahnya menyebut TIKO. Ini dialami oleh Zakaria Ansori (hakim di MA), dengan tulisannya Saya Adalah "TIKO" Itu!.
Diperolok oleh sekelompok anak muda dalam penerbangannya Pesawat SQ Boeng 777 dari Singapura ke Jakarta. Mashaallah. Begitu mudahnya melecehkan warga pribumi Indonesia dengan kata-kata Indon, dasar Indonesia, dasar Pribumi. Jangan-jangan anak-anak belia ini belum sadar kelas menengah Indonesia sudah cukup banyak. Ribuan sudah yang masih sangat muda belia memiliki gelar PhD di luar negeri dan berkarya untuk umat manusia dalam bidang Sains dan Teknologi. Kalau tak tahu, yah mereka selalu merasa hebat. Mendapat kesan engkau memang hebat dilingkungan yang sangat terbatas. Ini berbahaya. Ini betul-betul harus diSTOP.
Warning!!!
Kejadian yang dialami Tuan Guru Bajang (TGB), haruslah mendapat perhatian dari semua kalangan. Jadikan pelajaran yang berharga untuk bangsa ini. Khususnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Sepertinya ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Sekolah-sekolah EXCLUSIVE perlu dievaluasi dengan tegas. Masihkah perlu sekolah semacam itu?? Atau perlu ada assimilasi? Gunakan instrumen yang tepat untuk meninjau ulang pendidikan dasar, dan menengah kita. Selain itu pihak warga keturunan mohon tak lagi menyebut pribumi. Kita sudah lama meninggalkan sebutan nonpribumi dan pribumi. Semoga.....
Muhammad Nur,
Fisikawan, Universitas Diponegoro
Sumber: WAG