Musim Panen, Daya Serap Bulog Rendah Bikin Harga Gabah Anjlok

Kinerja Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk tetap konsisten menyerap gabah petani kembali dipertanyakan. Pasalnya, kemampuan serap gabah petani dari perusahaan plat merah ini turun drastis hanya menjadi 50 persen dibanding periode sebelumnya.

Indikasi penurunan kinerja Bulog tersebut terlihat dari masih banyaknya petani yang menjerit karena gabahnya tidak laku terjual, sementara pihak Bulog belum juga ada yang turun ke lapangan untuk membeli gabah petani sesuai harga pembelian pemerintah (HPP).

"Seharusnya, ketika harga gabah anjok, Bulog turun untuk membeli gabah kami", kata Jufri, seorang petani di Karawang Bekasi. 

Menurutnya, dia telah berusaha keras untuk menanam padi karena telah dijanjikan pemerintah bila hasil panennya pasti dibeli, namun saat panen, hasilnya tidak laku dijual. Akhirnya para tengkulak datang dengan menawar harga yang sangat murah.

Hal seperti ini juga dialami para petani di Kecamatan Kradenan, gabah hasil petani . "Susah Pak, kami hanya bisa menerima keadaan ketika harga anjlok seperti ini. Inginnya kami setelah panen langsung dijual namun harganya sangat rendah. Jika tidak segera laku, kami takut gabah akan membusuk karena kondisi cuaca seperti ini. Panas matahari jarang dijumpai sehingga kita tidak bisa menjemur hasil panen," ucap Parto petani dari Desa Sumber Kecamatan Kradenan.

Demikian pula yang dirasakan para petani di Kabupaten Sragen. Selain hasil panen yang kurang maksimal akibat serangan hama wereng, harga gabah juga anjlok jauh di bawah harga pembelian pemerintah (HPP).

"Banyak petani mengeluh karena hasil panen tidak seperti yang diharapkan. Sudah habis dimakan wereng, harga jual gabah juga anjlok dan tidak bisa  nutup biaya produksi," ujar salah seorang petani, Dasiman,  di Desa Bener, Kecamatan Ngrampal, Sragen. 

Dasiman yang merupakan petani penggarap mengaku tidak mendapat keuntungan sama sekali dalam panen kali ini. Hasil panen sawah seluas sepertiga hektar atau satu pathok yang digarap hanya hanya laku dijual seharga Rp 6,5 Juta. Sedangkan biaya produksi yang dikeluarkan selama ini sekitar Rp 3 juta. "Separuh dari harga jual gabah saya serahkan ke pemilik sawah, karena saya hanya petani penggarap. Jadi hasilnya paron," ujarnya. 

Demikian pula yang dialami para petani di Kampung Koleberes, Kelurahan Dayeuhluhur, Kecamatan Warudoyong, Kota Sukabumi.  Para petani mengeluhkan rendahnya harga gabah. Namun upaya Bulog untuk menyerap gabah mereka tak kunjung datang. 

Udin Saefudin, seorang petani menyebutkan, turunnya harga gabah memang sudah menjadi tren ketika musim panen. Jika tak naik berarti turun. Tanpa adanya faktor yang pasti petani lagi-lagi menjadi objek permainan tengkulak demi meraup keuntungan.

Disebutkan Udin, mereka tidak menyangka harga gabah turun hingga Rp1.000 per kilogram. Harga gabah yang sebelumnya menembus Rp4.200 per kilogram, kini berada pada angka Rp3.200 per kilogram.

Penurunan kinerja Bulog ini memang diakui oleh Perum Bulog Sub Drive Cirebon. Menurut Kepala Bulog Cirebon, Taufik Budi Santoso, melalui Kasi Pengadaan, Dadang Unanda, hingga April 2017 ini, Perum Bulog Sub Drive Cirebon baru bisa menyerap gabah sebanyak 17.500 ton atau 13 persennya dari target prognosa sebanyak 150.500 ton setara beras. Padahal, penyerapan yang dilakukan Bulog hingga posisi bulan yang sama di tahun 2016 lalu, telah berhasil menyerap sebanyak 33.000 ton setara beras.

"Hingga akhir tahun ini, Bulog menargetkan prognosa pengadaan hingga mencapai 150.500 ton setara beras.. Namun sampai dengan April 2017, target prognosa akhir tahun baru terserap 13 persennya atau terserap hingga 17.500 ton setara beras," tutur Dadang.

Kondisi seperti ini seharusnya tak terjadi mengingat pemerintah telah menjamin akan menyerap seluruh hasil gabah petani bila harga gabah petani  yang ditetapkan pemerintah (HPP) anjlok dipasaran. Apalagi komitmen tersebut merupakan perintah langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Irama kinerja Bulog yang belum memperlihatkan kerja konsisten ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang harus harus terus dibenahi. Apalagi bila Indonesia telah menetapkan target swasembada pangan dan punya keinginan mengembalikan kehormatan dan martabat petani sebagai pekerjaan terhormat. ***