Kok Gubernur NTB Berani Menentang Aturan Menteri Susi?
Setelah terbitnya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 01 tahun 2015 dan Permen 56 tahun 2016 telah menyebabkan kehidupan nekayan di Prov. Nusa Tenggara Barat kian tercekik dan di sinyalir permen ini membunuh banyak masyarakat nelayan pesisir NTB, lebih khusus nelayan Lobster.
Apalagi para nelayan sangat banyak ditangkap dan tidak ada jaminan keamanan. Aparat memburu nelayan Lobster seperti orang yang terlibat dalam kasus terorisme.
Alih-alih mendapatkan pembinaan, kini para penangkap lobster ini ibarat penjahat. Tim dari Kementerian Kelautan yang di daerah diwakilkan Balai Karantina mulai rajin turun lapangan memburu para nelayan kecil pencari lobster. Mereka tiba-tiba menjadi orang galak. Aparat keamanan tiba-tiba begitu bersemangat menangkap para nelayan kecil, yang tidak mengerti hukum. (Anonim 2017)
Mudah-mudahan saja daerah selatan Nusa Tenggara Barat tidak menjadi rawan kembali lantaran banyak orang kehilangan mata pencaharian. Susi Pudjiastuti tidak mampu membuat peraturan untuk melindungi, mengatur dan mensejahterakan. Namun, hanya mampu melarang aerta menindas nelayan kecil. Khususnya dalam Peraturan Menteri (PM/Permen) No. 1 Tahun 2015 tentang Larangan Penangkapan Bibit Lobster dan Peraturan Menteri No. 2 Tahun 2015 tentang Pelarangan Menggunakan Alat Tangkap Ikan Cantrang. Ikan yang dihasilkan alat tangkap Cantrang juga menjadi pakan Lobster.
Ketidakmampuan Susi Pudjiastuti dalam membuat peraturan tersebut berdampak sangat luar biasa terhadap nelayan. Bahkan permen yang Susi Pudjiastuti buat itu sudah dirubah berulangkali. Dirinya mencontohkan, akibat peraturan tersebut, ribuan nelayan dan peternak lobster di Nusa Tenggara Barat (NTB) kini menganggur dan usahanya tutup total. Disinilah Susi Pudjiastuti tidak memiliki rasa keadilan sama sekali.
Sementara Susi Pudjiastuti sangat bebal dengan tidak melihat implikasi mengenai Permen No. 1 tahun 2015 tentang larangan lobster. Sehingga menyebabkan puluhan ribu petani Lobster di NTB mengalami pengangguran yang luar biasa, begitu banyak sekali dampaknya terhadap nelayan, artinya Susi Pudjiastuti sebagai menteri tidak melihat dampak dari pelarangan itu. Naif sekali jadi menteri.
Kerugian di pesisir NTB itu mencapai Rp. 2,4 triliun akibat larangan penangkapan lobster. Ada pola pikir yang salah dari Menteri Susi Pudjiastuti terhadap aturan tersebut. Karena hanya memikirkan dampak terhadap lingkungan tanpa memikirkan perekonomian yang harus tumbuh dan tidak pertimbangkan keluarga nelayan sama sekali.
Ada pola pikir yang salah terhadap Peraturan Menteri yang dibuat itu, dikira ada sustainability, tapi justru ekonomi tidak tumbuh senagaimana yang diharapkan. Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No. 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Ranjungan ibarat pil pahit bagi nelayan lobster di NTB.
Harus diakui, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB pun tak lantas tinggal diam. Lobi juga sudah berkali-kali dilakukan ke pemerintah pusat. Namun, sampai saat ini belum membuahkan karena Susi Pudjiastuti monoton dengan tidak mau mendengar keluh kesah nelayan. Beberapa solusi yang ditawarkan pemerintah pusat justru tidak langsung menyentuh pada akar permasalahan dan tak menyelesaikan masalah pasca ditetapkannya aturan tersebut.
Bahkan, Gubernur NTB TGB HM Zainul Majdi sendiri sudah secara terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya atas pemberlakuan permen yang melarang penangkapan bibit lobster tersebut. Permen KP ini salah satu kebijakan pusat yang menyulitkan rakyat di daerah.
Nelayan NTB termasuk yang paling getol menuntut agar permen itu direvisi. Apalagi, daerah kini sedang dilanda kemrosotan ekonomi akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Ancaman PHK pun semakin besar. Kebijakan-kebijakan dari pusat yang tidak berpihak pada rakyat, dikhawatirkan, akan semakin memperburuk situasi di daerah.
Sekarang, nelayan kita dibatasi mencari nafkah tanpa ada solusi yang jelas. Padahal, ekonomi daerah sedang melemah. Seharusnya Kementerian Kelautan dan Perikanan memberi ruang melaut kepada nelayan lobster.
Nelayan sejatinya tidak menerima kompensasi yang ditawarkan oleh KKP RI walaupun pemerintah Provinsi NTB melalui dinas terkait menerima bantuan tersebt. Akan tetapi, nelayan tidak menerimnya. Hal itu memang dianggap sebanding dengan potensi kerugian yang diderita nelayan lobster akibat adanya aturan Menteri Susi Pudjiastuti yang ugal-ugalan. Namun, kompensasi justru tidak menjawab persoalan yang ada, maka baiknya peraturan permen 01 tahun 2015 dan permen 56 tahun 2016 tersebut dicabut dan di batalkan saja.
Kompensasi yangditawarkan sebagai bantuan kepada nelayan lobster di NTB itu tidak sesuai harapan. Sejatinya, pergub yang sudah ada agar tingkatkan menjadi perda sehingga akan menjadi dasar hukum nelayan di daerah ini boleh menangkap lobster di bawah ukuran delapan centimeter. Sehingga, nelayan dibiarkan menangkap bibit lobster selama tidak dikirim ke luar daerah. Catatannya, bibit lobster yang ditangkap itu harus dibudidayakan atau dibesarkan terlebih dahulu.
Sayangnya, respon Susi Pudjiastuti terhadap pergub masih nihil. Padahal, dalam pergub itu bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan mendukung pendekatan keilmuan dan teknologi dalam proses pembudidayaan lobster. Namun, tak ada common will yang diciptakan antara kementerian dengan nelayan.
Kalau dari Pergub yang ada ditingkat ke Perda, maka bisa mendorong adanya keterlibatan pemerintah pusat untuk mendukung dari segi teknologi. Selama ini kan sektor ini belum pernah didukung teknologi. Pemerintah pusat, terkesan masih menanggapi seperti angin lalu, artinya tak ada kauan untuk menyelsaikan masalah. Alih-alih menyetujui dukungan teknologi untuk budidaya lobster itu, pusat justru menawarkan bentuk kompensasi lain atas penegakan aturan itu. Ironis manajemen kementerian seperti ini. Artinya Susi Pudjiastuti sangat gagal total.
Padahal, langkah Pemprov NTB menyusun pergub itu yang membolehkan penangkapan bibit lobster membawa secercah harapan bagi nelayan. Pergub sebagai antitesa terhadap aturan yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari penangkapan bibit lobster.
Sementara, Balai Karantina Ikan Mataram sendiri menekankan bahwa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/Permen-KP/2015 tentang larangan penangkapan bibit lobster tetap akan ditegakkan dan tidak membuka dialog dengan nelayan.
Solusi pertama, meminta kementerian merevisi larangan dalam permen tersebut. Solusi lainnya, tetap memperbolehkan penangkapan bibit lobster selama dibudidayakan terlebih dahulu. Pembudidayaan ini juga menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana gagasan yang dimuat dalam rancangan pergub.
Sejak aturan pelarang itu keluar tidak pernah ada penyampaian langsung dari pihak kementerian. Alih-alih sosialisasi, pihak karantina layaknya mata-mata. Mengawasi gerak gerik nelayan, melaporkan, dan menangkap nelayan. Nelayan seperti diteror. Bukannya menyejahterakan nelayan, kebijakan yang dibuat justru membuat nelayan semakin susah.
Memurut Hasan dalam komentarnya yang pernah dimuat di Lombok Post, 9 September 2015, bahwa mestinya sebelum mengeluarkan dan menerapkan aturan itu, pemerintah sudah menyiapkan infrastruktur di bawah. Nelayan sudah dilatih, diberikan modal, dan dibangunkan jaringan pemasaran untuk budidaya lobster mereka. Justru khawatir dibalik aturan ini, ada permainan para mafia di sektor perikanan. Apalagi Menteri Susi, sebelum jadi menteri adalah pengusaha ikan.
Oleh: Rusdianto Samawa
Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)