Aroma Politik di Balik Jokowi Mantu: Antara Pilpres, Panglima TNI dan Reshuffle

Jutaan pandang mata tertuju ke pernikahan putri Presiden Jokowi, Kahiyang Ayu, dengan Mohammad Bobby Afif Nasution di Gedung Graha Saba Buana, Solo, Jawa Tengah pada Rabu (8/11) lalu. Betapa tidak, Hampir seluruh televisi nasional dan kanal-kanal media sosial hari itu menyiarkan pernikahan yang dihadiri oleh hampir semua tokoh bangsa tersebut secara langsung. Tagar #JokowiMantu pun menjadi trending topik di jagat sosial twitter, Instagram, LINE dan medsos-medsos lainnya.

Namun bukan kemeriahan dan riuh rendah pesta itu yang menarik perhatian saya tetapi ada hal yang cukup menyentil dan sekilas menarik perhatian slketika dalam beberapa acara prosesi pernikahan tersebut terdapat patahan cerita yang sangat mungkin dibaca atau lebih tepatnya ditafsirkan sebagai sesuatu yang sangat 'politis'. 

Di samping mengusung Konsep tradisional Jawa  yang memang sangat lekat dalam perhelatan ini, yang bahkan sangat mungkin ditafsirkan secara politik juga, dari tamu-tamu yang hadir dan peran-peran mereka tampak muatan politis yang sulit dihindari. Ada banyak elite politik dari banyak partai hadir, kecuali Prabowo Subianto yang katanya sedang berada di luar negeri. Hadir juga mantan presiden dan wakil presiden kecuali BJ Habibie dan Hamzah Haz. Terlebih lagi dengan hadirnya Ketua Umum PB NU Said Agil Siradj yang membawakan khotbah nikah, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haidar Nashir yang membaca doa 'Islam berkemajuan', Buya Syafii Maarif, dan Ketua Umum MUI Ma'ruf Amin yang hari itu hadir sangat dekat di meja pernihakan, termasuk hadirnya Din Syamsuddin yang membaca doa resepsi malam hari.

Namun yang tak kalah menarik lagi ialah kehadiran ribuan relawan pro Jokowi dianggap untuk memanaskan mesin politik Jokowi menghadapi Pilpres 2019 dan Pilkada 2018. Demikian pula munculnya dua sosok militer yang sangat menonjol, satu seorang purnawirawan mantan panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko dan satu lagi Pangkostrad Letnan Jenderal Edy Rahmayadi dengan perannya masing-masing. Moeldoko di perhelatan Jokowi Mantu tampil memberi sambutan sebagai juru bicara mewakili keluarga Jokowi untuk menyambut para tamu yang hadir. Sementara Pangkostrad Letnan Jenderal Edy Rahmayadi hadir mendampingi pengantin pria Bobby Nasution pada acara midodareni malam sebelum menggelar akad nikah keesokan harinya. Letjen Edy mengaku bahwa dia memang memiliki hubungan keluarga dengan Bobby Nasution sehingga ikut hadir dalam rombongan keluarga pria. 

Dan suka tidak suka posisi Edy Rahmayadi di mata Jokowi menjadi sangat strategis. Setidaknya masih dalam tahun ini, ada 2 momen di mana Ketua PSSI tersebut tampil langsung di hadapan Jokowi, yaitu saat menjadi Komandan upacara peringatan HUT TNI ke 72 di Cilegon, Banten dan kedua pada saat pernikahan Bobby-Kahiyang di Solo kemaren. Soal Komandan upacara ini juga menarik karena tampaknya HUT TNI yang kali ini digelar secara besar-besaran tersebut menjadi panggung strategis bagi Edy untuk tampil prima di hadapan Jokowi. Bahkan pertama kali pula perwira TNI bintang 3 jadi komandan upacara. 

Maka bukan tidak mungkin posisi strategis ini membuat karier lulusan Akmil 1985 ini akan moncer termasuk menempati posisi tertinggi sebagai Panglima TNI setidaknya dalam dua tahun ke depan. Teka-teki Panglima TNI pasca Jenderal Gatot pensiun memang masih menjadi tanda tanya. Berbagai spekulasi berkembang selama ini menyebutkan bahwa yang potensial menggantikan Gatot ialah Kasau sekarang Marsekal Hadi Tjahjanto. Selain karena waktu pensiun yang masih relatif lama (Akmil Lulusan 1986), tetapi juga jika mengikuti tradisi giliran di tiga matra TNI, maka peluang TNI AU lah pada saat ini. Tetapi mengingat tahun 2018 dan 2019 adalah tahun politik, maka bukan tidak mungkin Jokowi  besar kemungkinan akan memilih seorang Panglima TNI dari matra darat kembali. Apalagi Gatot tentu punya ambisi pribadi entah sebagai Capres atau Cawapres untuk menempatkan penerusnya dari sosok yang secara tidak langsung masih bisa dia kendalikan, selain karena sesama AD juga dari satu kesatuan yang sama yaitu Kostrad. Di pihak lain saya menduga hubungan Gatot dengan TNI AU tampak kurang harmonis dengan diungkapnya ke publik kasus korupsi pengadaan Helikopter AW 101 di tubuh AU. Banyak pihak menilai, ini diduga  cara Gatot mengobrak-abrik TNI AU dari dalam sehingga muncul kesan negatif dan tentu berdampak pada buruknya citra pimpinan AU di mata publik dan presiden tentunya.

Sama halnya dengan kehadiran Moeldoko. Diusut-usut apakah punya hubungan keluarga dekat dengan Jokowi sehingga didaulat memberikan kata sambutan  mewakili keluarga, jawabannya jelas Moeldoko tak punya hubungan keluarga dengan Jokowi. Maka tentu saja tidak keliru jika banyak pihak membaca ini sebagai pesan politik yag2 sangat terang bahwa Moeldoko adalah orang dala lingkaran dekat sang presiden. Setelah sekian lama tenggelam pasca pensiun sebagai Panglima TNI Moeldoko justru hadir kembali pada tempat yang-sangat strategis. Apakah akan masuk dalam lingkaran kabinet tentu tidak terlalu penting tetapi bahwa Moeldoko sudah menunjukkan dirinya sebagai orang yang sangat pantas diperhitungkan di mata Jokowi; hal yang juga bisa dibaca sebagai pesan untuk panglima TNI Gatot Nurmantyo yang selama ini dalam posisi sebagai penantang potensial bagi Jokowi bahwa Jokowi juga punya sosok Jenderal yang bisa dia andalkan. Dan tentu juga tafsir2 politik yang lain yang masih sangat terbuka.

Seperti diketahui dalam beberapa komentar selama ini di tengah tudingan kuat soal Panglima TNI Gatot berpolitik, Moeldoko justru hadir sebagai katalisator yang mengingatkan bahwa seharusnya TNI tidak lagi bermain politik. 

Maka jadilah pernikahan putri Jokowi kali ini adalah serentak peristiwa di ranah privat soal dua insan yang mengikat janji untuk menjadi sehati dalam satu ikatan perkawinan, dan juga peristiwa publik yang memberi banyak pesan politik. Suka tidak suka, itulah persepsi yang ada di masyarakat, tambahan pula tahunnya sekarang adalah momentum politik jelang 2019 nanti. Tak salah tentunya publik yang juga menganggap bahwa tidak ada ruang yang tidak dipolitisasi termasuk pernikahan anak sendiri sedapat mungkin menjadi arena politis yang bisa dimanfaatkan. Persis inilah pula, yang membuat pernikahan yang sudah sakral dengan sentuhan agama dan budaya yang luar biasa harus tercoreng dengan bumbu-bumbu politik yang seharusnya tidak perlu ada. Wallahua'lam.

Natalius Pigai, Ketua Timnas Penagih Janji Jokowi 2014-2019