Beras Makin Mahal dan Langka, Guru Besar IPB: Beras Surplus Disimpan di Bawah Tanah?
Langka dan melonjaknya harga beras di pasaran, melampaui harga eceran tertinggi (HET), sontak membuat publik keheranan. Dimana ketersediaan beras yang diklaim Kementerian Pertanian (Kementan) mencapai jutaan ton itu?
Pertanyaan serupa juga dilontarkan Dwi Andreas, guru besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Sebab gejolak harga beras menurutnya sudah terjadi sejak Juli-Agustus 2017 lalu. Bahkan sejumlah tempat penggilingan padi tutup karena tidak mendapatkan gabah.
"Sebenarnya fenomena itu sudah cukup lama. Harga beras medium memang betul naik, dari Januari ke Maret 2017 harga beras naik, Mei- Juni naik lagi, kemudian heboh PT IBU," ujar Andreas yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI).
Merespon fenomena itu, Andreas mengaku lewat jaringan AB2TI keliling ke sejumlah daerah melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Hasilnya mencengangkan, ada sekitar 400 ribu hektar sawah terserang hama.
"Pada waktu itu, jaringan kami AB2TI keliling Jawa, termasuk ke Tabanan. Kami mengamati serangan hama sangat luas," ungkap Andreas.
"Pada saat itu perkiraan kami lebih dari 400 ribu hektar. Itu terjadi di bulan Juli. Saya pikir, pada titik tertentu ini akan meledak. Nah titik klimaksnya benar terjadi di bulan Januari ini," sambungnya.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, Muhammad Syakir, mengatakan, produksi beras pada 2017 pada tataran nasional surplus. Hal itu terjadi berkat upaya khusus (Upsus) yang dilakukan Kementan untuk peningkatan produksi padi.
"Produksi gabah kering giling nasional sekitar enam juta ton, setara dengan beras tiga juta ton, padahal kebutuhannya 2,6 juta ton, sehingga kita surplus," kata Syakir.
Namum fakta di pasar, harga beras naik antara Rp1.000 hingga Rp2.000 perkilogram. Hingga kemarin, pantauan di Pasar Bogor harga beras kategori super yang biasanya dijual Rp10.000 naik menjadi Rp.12.000. Sementara harga beras lokal, dijual hingga Rp10.000 perkilogram dari harga Rp8.500 perkilogram.
Dilansir dari data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional per 12 Januari 2018, rata-rata harga beras medium di Indonesia mencapai Rp11.950 per kg. Adapun, harga beras termahal dicatat provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan Tengah dengan harga rata-rata Rp13.600 per kg.
Jauh melonjak dari HET yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp9.450 per kg untuk wilayah pulau Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Sementara HET beras medium untuk wilayah Papua dan Maluku sebesar Rp10.250 per kg.
HET beras medium di Sumatera (kecuali Lampung dan Sumatera Selatan), Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan tercatat . Dan, HET beras medium tertinggi terdapat di Papua dan Maluku sebesar Rp10.250 per kg.
"Kalau melihat harga yang sedemikian tinggi kan nggak mungkin dibiarkan. Apalagi sudah mendekati Rp12.000. Padahal semua nggak ada yang diuntungkan," imbuhnya.
"Di jaringan kami, gabah sudah tembus Rp6.000-an. Beras di tingkat usaha tani sudah Rp13.000 per kilo. Gabah sudah mulai kosong di petani," lanjutnya.
Menyikapi kebijakan Kementerian Perdagangan membuka keran impor beras 500 ribu ton, Prof Andreas mengatakan sudah terlambat. Harusnya sudah dilakukan jauh-jauh hari.
"Kalau dari sisi pergerakan harga. Kebijakan ini telat. Harusnya sudah dari dulu diimpor," kata Prof Andreas. "Karena pedagang-pedagang tidak mampu lagi mengelola stok," tambahnya.
Ia juga mempertanyakan kemana beras yang diklaim oleh Kementan mengalami surplus. Ia berpesan, agar pemerintah berhati-hati mengelola beras. Karena menurutnya persoalan beras punya dampak sosial dan politik yang luar biasa.
"Kementan bilang ada ketersediaan jutaan ton beras. Dimana itu nyimpannya. Apa disimpan di bawah tanah," tanya dia.
"Ini harus jadi pelajaran ke depan. Agar hati-hati mengelola beras. Karena dampak sosial dan politiknya luar biasa," pungkas Andreas.
Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen Agus Pambagio melihat ada kejanggalan dibalik pernyataan dari pihak Kementan yang awalnya menolak impor.
Sebab impor beras sebenarnya tidak dapat dilakukan Kementerian Perdagangan tanpa adanya rekomendasi dari Kementan. "Kemendag nggak bisa impor, kalau nggak ada komunikasi atau rekomendasi dari Kementan. Agak janggal memang," tandasnya. (*)
Foto: google source