Greenpeace Kecam Perusahaan Perusak Hutan
Greenpeace mengecam Asia Pulp & Paper (APP) serta grup Sinar Mas yang kembali terlibat deforestasi dalam produksi bubur kertas. Penelusuran Greenpeace Internasional melalui analisis pemetaan terbaru mengungkapkan hampir 8.000 hektar hutan dan lahan gambut telah ditebangi di dua konsesi yang terkait dengan APP dan perusahaan induknya Sinar Mas sejak 2013. [1]
Greenpeace kemudian menantang APP/Sinar Mas untuk menjelaskan temuan ini. Tetapi kedua perusahaan tersebut gagal memberikan penjelasan yang kredibel atau mengambil tindakan untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu Greenpeace menghentikan semua keterlibatan lebih lanjut dengan APP/Sinar Mas.
“APP pernah menjadi perusahaan bubur kertas dan kertas yang memiliki reputasi buruk karena pengrusakan hutan dan keterkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia selama bertahun-tahun. Pada tahun 2013 perusahaan ini berkomitmen mengakhiri praktik deforestasi dengan menerapkan kebijakan konservasi. Terdapat perkembangan positif dan negatif dalam implementasinya, tetapi sekarang kondisi dalam bahaya, karena perusahaan ini kembali terlibat dalam kegiatan pengrusakan hutan,” kata Kiki Taufik Kepala Global Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Pada Maret 2013, APP tunduk pada tekanan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan kliennya untuk menerapkan Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy/FCP). [1] APP berkomitmen untuk mengakhiri pembukaan hutan di dalam konsesi mereka sendiri dan pemasok, melindungi hutan yang tersisa di area tersebut, meningkatkan pengelolaan lahan gambut dan bekerja sama dengan masyarakat untuk menyelesaikan konflik sosial.
Selama lima tahun terakhir, Greenpeace telah memberikan saran dalam penerapan FCP yang dilaksanakan APP. Selama kurun waktu itu, APP telah membuat beberapa kemajuan dalam operasinya melalui penerapan Pendekatan Stok Karbon Tinggi (High Carbon Stock Approach), melakukan studi Nilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value), dan program untuk memblokir saluran drainase di lahan gambut. APP mengklaim bahwa lebih dari setengah juta hektar hutan di dalam konsesi serta di areal milik pemasoknya telah dilestarikan, meski demikian masalah serius tetap ada, termasuk pembukaan hutan dan pembalakan liar oleh pihak ketiga.
Analisis Greenpeace International melalui citra satelit dan profil perusahaan resmi menunjukkan bahwa perusahaan yang terhubung dengan APP/Sinar Mas telah membuka hampir 8.000 hektar hutan dan lahan gambut selama periode waktu yang sama.
Analisis profil perusahaan resmi menunjukkan bahwa APP/Sinar Mas gagal mengakui koneksinya ke sejumlah perusahaan bubur kayu lainnya, termasuk sejumlah pemasok ‘independen’ untuk APP. [2] Perusahaan-perusahaan ini sebenarnya dimiliki oleh karyawan perusahaan Sinar Mas Group, termasuk sejumlah anggota keluarga Widjaja, melalui jaringan perusahaan induk.
Salah satu perusahaan bubur kayu di Kalimantan Barat yakni PT Muara Sungai Landak (PT MSL) dimiliki oleh dua karyawan perusahaan yang terafiliasi dengan APP yaitu Sinar Mas Forestry. [3] Hampir 3.000 hektar hutan dan lahan gambut telah ditebangi PT MSL sejak 2013. [4]
Sementara itu, perusahaan tambang Sinar Mas, Golden Energy and Resource (GEAR) telah secara terbuka mengakui memiliki PT Hutan Rindang Banua (PT HRB), sebuah konsesi kayu dan bubur kertas seluas 265.095 hektar di Kalimantan Selatan. Berdasarkan analisis citra satelit sejak 2013, di dalam konsesi milik PT HRB, sekitar 5.000 hektar hutan telah ditebang.
“APP pernah menjadi perusahaan bubur kertas dan kertas yang memiliki reputasi buruk karena pengrusakan hutan dan keterkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia selama bertahun-tahun. Pada tahun 2013 perusahaan ini berkomitmen mengakhiri praktik deforestasi dengan menerapkan kebijakan konservasi. Terdapat perkembangan positif dan negatif dalam implementasinya, tetapi sekarang kondisi dalam bahaya, karena perusahaan ini kembali terlibat dalam kegiatan pengrusakan hutan,” kata Kiki Taufik Kepala Global Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Pada Maret 2013, APP tunduk pada tekanan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat dan kliennya untuk menerapkan Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy/FCP). [1] APP berkomitmen untuk mengakhiri pembukaan hutan di dalam konsesi mereka sendiri dan pemasok, melindungi hutan yang tersisa di area tersebut, meningkatkan pengelolaan lahan gambut dan bekerja sama dengan masyarakat untuk menyelesaikan konflik sosial.
Selama lima tahun terakhir, Greenpeace telah memberikan saran dalam penerapan FCP yang dilaksanakan APP. Selama kurun waktu itu, APP telah membuat beberapa kemajuan dalam operasinya melalui penerapan Pendekatan Stok Karbon Tinggi (High Carbon Stock Approach), melakukan studi Nilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value), dan program untuk memblokir saluran drainase di lahan gambut. APP mengklaim bahwa lebih dari setengah juta hektar hutan di dalam konsesi serta di areal milik pemasoknya telah dilestarikan, meski demikian masalah serius tetap ada, termasuk pembukaan hutan dan pembalakan liar oleh pihak ketiga.
Analisis Greenpeace International melalui citra satelit dan profil perusahaan resmi menunjukkan bahwa perusahaan yang terhubung dengan APP/Sinar Mas telah membuka hampir 8.000 hektar hutan dan lahan gambut selama periode waktu yang sama.
Analisis profil perusahaan resmi menunjukkan bahwa APP/Sinar Mas gagal mengakui koneksinya ke sejumlah perusahaan bubur kayu lainnya, termasuk sejumlah pemasok ‘independen’ untuk APP. [2] Perusahaan-perusahaan ini sebenarnya dimiliki oleh karyawan perusahaan Sinar Mas Group, termasuk sejumlah anggota keluarga Widjaja, melalui jaringan perusahaan induk.
Salah satu perusahaan bubur kayu di Kalimantan Barat yakni PT Muara Sungai Landak (PT MSL) dimiliki oleh dua karyawan perusahaan yang terafiliasi dengan APP yaitu Sinar Mas Forestry. [3] Hampir 3.000 hektar hutan dan lahan gambut telah ditebangi PT MSL sejak 2013. [4]
Sementara itu, perusahaan tambang Sinar Mas, Golden Energy and Resource (GEAR) telah secara terbuka mengakui memiliki PT Hutan Rindang Banua (PT HRB), sebuah konsesi kayu dan bubur kertas seluas 265.095 hektar di Kalimantan Selatan. Berdasarkan analisis citra satelit sejak 2013, di dalam konsesi milik PT HRB, sekitar 5.000 hektar hutan telah ditebang.