Curhat ke Trump, Ilham: China Kurung Jutaan Muslim Uighur, Termasuk Ayah Saya
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menemui korban persekusi agama dari sejumlah negara di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat pada Kamis (18/07) lalu. Salah satunya dari Muslim Uighur.
WASHINGTON D.C - Salah seorang Muslim Uighur: Jewher Ilham, bercerita kepada Trump tentang ayahnya. Selama ditahan sekitar 5 tahun lalu, ia mengaku tak lagi mendapat kabar dari sang Ayah sejak tahun 2017.
Berikut cuplikan percakapan antara Ilham dengan Trump mengutip risalah yang diterbitkan White House:
Ilham: Tuan Presiden, satu hingga tiga juta penduduk Uighur dikurung di kamp-kamp konsentrasi di China, termasuk ayah saya, yang sekarang menjalani hukuman seumur hidup. Saya belum melihatnya sejak 2013.
Trump: Di mana itu? Di mana itu di Cina?
Ilham: Itu di bagian barat Cina. Wilayah - dalam bahasa Cina, disebut "Xinjiang." Kami menyebutnya "wilayah Uyghur"
Trump: Berapa lama? Sudah berapa lama ayahmu pergi?
Ilham: Dia telah dipenjara selama lima tahun, dan kami tidak tahu berapa lama dia masih akan di sana.
Trump: Apakah Anda memiliki komunikasi dengannya?
Ilham: Saya belum pernah mendengar tentang dia sejak 2017, karena saat itulah kamp konsentrasi dimulai. Siapa pun yang bertanya tentang berita anggota keluarga siapa pun tidak akan pernah kembali ke rumah mereka sendiri.
Trump: Itu hal yang sulit.
Selain Ilham, ada 3 orang lainnya yang juga berasal dari China hadir dalam pertemuan tersebut, yaitu; Yuhua Zhang, praktisi agama Falun Gong; Nyima Lhamo, seorang penganut Buddha Tibet; dan Manping Ouyang, penganut Kristan di China. Mereka adalah kelompok korban diskriminasi China.
Tak hanya dari China, tercatat ada 23 korban persekusi agama lainnya dari Turki, Myanmar, Korea Utara dan Iran hadir dalam Ruang Oval menemui orang nomor satu negeri Paman Sam itu.
Pertemuan ini merupakan bagian dari konferensi yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri AS dengan topik persekusi agama, yang dihadiri oleh Wakil Presiden Mike Pence dan Sekretaris Negara Mike Pompeo.
Sekretaris Negara Amerika Serikat Mike Pompeo menyebut perlakuan China terhadap Uighur, sebagai "noda abad ini." Hal itu disampaikan ketika berbicara di sebuah konferensi di Washington D.C.
Departemen Luar Negeri AS memperkirakan, antara 800.000 hingga 2 juta Muslim Turki, termasuk Uighur, etnik Kazakh, Kyrgyzstan, dan lainnya, ditahan di kamp-kamp interniran yang oleh Beijing disebut pusat-pusat "pendidikan ulang".
“Tiongkok adalah rumah bagi salah satu krisis hak asasi manusia terburuk di zaman kita; itu benar-benar noda abad ini, ” kata Pompeo, ketika berbicara pada konferensi yang diadakan oleh AS tentang kebebasan beragama, dilansir Reuters Kamis, (18/7) lalu.
Uniknya, acara tersebut diselenggarakan di tengah kontroversi pernyataan Trump yang disebut rasis setelah ia mengkritik para politisi "untuk pulang ke negara asal". Pernyataan itu diarahkan kepada empat anggota kongres Amerika non kulit putih yang adalah warga negara Amerika Serikat.
Menyikapi hadirnya Muslim Uighur dan 3 warga China lain di Gedung Putih, Pemerintah China menolak menampik tuduhan telah melakukan pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama dan hak asasi manusia.
"Saya perlu tekankan bahwa di China, situasi yang disebut sebagai persekusi agama ini tidak ada," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lu Kang, di jumpa pers di Beijing hari Kamis (18/07).
Lu juga meminta Amerika Serikat melihat dengan benar kebijakan agama dan status kebebasan beragama di China. Ia berharap, negara yang dipimpin Trump itu berhenti menggunakan isu agama untuk campur tangan terhadap urusan negara lain.
Perlakuan China terhadap muslim Uighur memang termasuk yang paling mendapat sorotan dunia belakangan ini. Khususnya setelah Nurmuhammad Tohti, penulis terkenal dalam komunitas Uighur dinyatakan tewas di kamp interniran Xinjiang.
Peristiwa itu memantik reaksi Amerika Serikat dan lembaga-lembaga internasional terhadap China. Pemerintahan Trump meningkatkan sanksi terhadap para pejabat China berkaitan dengan kebijakan mereka di Provinsi Xinjiang - termasuk terhadap pemimpin Partai Komunis di provinsi tersebut.
Selain faktor muslim Uighur, hubungan Amerika Serikat dan China memang sedang mengalami ketegangan. Antara lain karena perang dagang, di mana AS menuduh China melakukan praktik dagang yang tidak adil.
Selain AS, sebanyak 22 negara lainnya menyurati Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, seperti dirilis ke media 10 Juli lalu, mengenai perlakuan China terhadap jutaan masyarakat minoritas muslim Uighur di kamp-kamp pengasingan Xinjiang.
Meskipun tidak lama setelah itu, muncul surat tandingan. Jumlah negaranya lebih banyak, yakni 37 negara. Mereka mendukung China, dan memuji pelaksanaan HAM di negara tersebut. China menyebut tuduhan 22 negara sebelumnya sebagai fitnah.
![]() |
|
WASHINGTON D.C - Salah seorang Muslim Uighur: Jewher Ilham, bercerita kepada Trump tentang ayahnya. Selama ditahan sekitar 5 tahun lalu, ia mengaku tak lagi mendapat kabar dari sang Ayah sejak tahun 2017.
Berikut cuplikan percakapan antara Ilham dengan Trump mengutip risalah yang diterbitkan White House:
Ilham: Tuan Presiden, satu hingga tiga juta penduduk Uighur dikurung di kamp-kamp konsentrasi di China, termasuk ayah saya, yang sekarang menjalani hukuman seumur hidup. Saya belum melihatnya sejak 2013.
Trump: Di mana itu? Di mana itu di Cina?
Ilham: Itu di bagian barat Cina. Wilayah - dalam bahasa Cina, disebut "Xinjiang." Kami menyebutnya "wilayah Uyghur"
Trump: Berapa lama? Sudah berapa lama ayahmu pergi?
Ilham: Dia telah dipenjara selama lima tahun, dan kami tidak tahu berapa lama dia masih akan di sana.
Trump: Apakah Anda memiliki komunikasi dengannya?
Ilham: Saya belum pernah mendengar tentang dia sejak 2017, karena saat itulah kamp konsentrasi dimulai. Siapa pun yang bertanya tentang berita anggota keluarga siapa pun tidak akan pernah kembali ke rumah mereka sendiri.
Trump: Itu hal yang sulit.
Selain Ilham, ada 3 orang lainnya yang juga berasal dari China hadir dalam pertemuan tersebut, yaitu; Yuhua Zhang, praktisi agama Falun Gong; Nyima Lhamo, seorang penganut Buddha Tibet; dan Manping Ouyang, penganut Kristan di China. Mereka adalah kelompok korban diskriminasi China.
Tak hanya dari China, tercatat ada 23 korban persekusi agama lainnya dari Turki, Myanmar, Korea Utara dan Iran hadir dalam Ruang Oval menemui orang nomor satu negeri Paman Sam itu.
Pertemuan ini merupakan bagian dari konferensi yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri AS dengan topik persekusi agama, yang dihadiri oleh Wakil Presiden Mike Pence dan Sekretaris Negara Mike Pompeo.
Sekretaris Negara Amerika Serikat Mike Pompeo menyebut perlakuan China terhadap Uighur, sebagai "noda abad ini." Hal itu disampaikan ketika berbicara di sebuah konferensi di Washington D.C.
Departemen Luar Negeri AS memperkirakan, antara 800.000 hingga 2 juta Muslim Turki, termasuk Uighur, etnik Kazakh, Kyrgyzstan, dan lainnya, ditahan di kamp-kamp interniran yang oleh Beijing disebut pusat-pusat "pendidikan ulang".
“Tiongkok adalah rumah bagi salah satu krisis hak asasi manusia terburuk di zaman kita; itu benar-benar noda abad ini, ” kata Pompeo, ketika berbicara pada konferensi yang diadakan oleh AS tentang kebebasan beragama, dilansir Reuters Kamis, (18/7) lalu.
Uniknya, acara tersebut diselenggarakan di tengah kontroversi pernyataan Trump yang disebut rasis setelah ia mengkritik para politisi "untuk pulang ke negara asal". Pernyataan itu diarahkan kepada empat anggota kongres Amerika non kulit putih yang adalah warga negara Amerika Serikat.
Menyikapi hadirnya Muslim Uighur dan 3 warga China lain di Gedung Putih, Pemerintah China menolak menampik tuduhan telah melakukan pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama dan hak asasi manusia.
"Saya perlu tekankan bahwa di China, situasi yang disebut sebagai persekusi agama ini tidak ada," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lu Kang, di jumpa pers di Beijing hari Kamis (18/07).
Lu juga meminta Amerika Serikat melihat dengan benar kebijakan agama dan status kebebasan beragama di China. Ia berharap, negara yang dipimpin Trump itu berhenti menggunakan isu agama untuk campur tangan terhadap urusan negara lain.
Perlakuan China terhadap muslim Uighur memang termasuk yang paling mendapat sorotan dunia belakangan ini. Khususnya setelah Nurmuhammad Tohti, penulis terkenal dalam komunitas Uighur dinyatakan tewas di kamp interniran Xinjiang.
Peristiwa itu memantik reaksi Amerika Serikat dan lembaga-lembaga internasional terhadap China. Pemerintahan Trump meningkatkan sanksi terhadap para pejabat China berkaitan dengan kebijakan mereka di Provinsi Xinjiang - termasuk terhadap pemimpin Partai Komunis di provinsi tersebut.
Selain faktor muslim Uighur, hubungan Amerika Serikat dan China memang sedang mengalami ketegangan. Antara lain karena perang dagang, di mana AS menuduh China melakukan praktik dagang yang tidak adil.
Selain AS, sebanyak 22 negara lainnya menyurati Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, seperti dirilis ke media 10 Juli lalu, mengenai perlakuan China terhadap jutaan masyarakat minoritas muslim Uighur di kamp-kamp pengasingan Xinjiang.
Meskipun tidak lama setelah itu, muncul surat tandingan. Jumlah negaranya lebih banyak, yakni 37 negara. Mereka mendukung China, dan memuji pelaksanaan HAM di negara tersebut. China menyebut tuduhan 22 negara sebelumnya sebagai fitnah.