Papua Dikecualikan Dalam Moratorium Pemekaran Provinsi, Kenapa Aceh Tidak?
Janji Presiden Jokowi akan mengecualikan Pegunungan Tengah, Papua dari moratorium pemekaran, saat menemui perwakilan tokoh masyarakat Papua di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (28/10) mengusik hati masyarakat provinsi paling barat Indonesia yakni Aceh.
Janji Presiden Jokowi akan mengecualikan Pegunungan Tengah, Papua dari moratorium pemekaran, saat menemui perwakilan tokoh masyarakat Papua di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Senin (28/10) mengusik hati masyarakat provinsi paling barat Indonesia yakni Aceh.
Juru Bicara Komite Persiapan Pemekaran Provinsi (KP3) Aceh Barat Selatan (Barsela) Fadhli Ali meminta agar Presiden Jokowi memberikan perlakuan yang sama antara Aceh dan Papua.
"Moratorium sepihak ini sangat tidak adil baik ketika SBY maupun kini oleh Jokowi," kata Fadhli dalam keterangan tertulis yang diterima Bagus.co.
Ketidakadilan itu terlihat sejak pemberlakukan moratorium pemekaran era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang pertama kali diterapkan pada tahun 2009. Padahal, ketika itu, lanjut Fadhli draft Ampres sudah berada di atas mejanya.
Dalam draft itu, sebutnya ada 19 calon Daerah Otonomi Baru (DOB) dengan rincian14 kabupaten/kota dan 5 calon provinsi baru. Lima calon provinsi itu adalah provinsi Aceh Leuser Antara(ALA) dan Aceh Barat Selatan(Abas), Papua Tengah, Papua Selatan serta Provinsi Kalimantan Utara(Kaltara).
"Aneh bin ajaib, diam-diam Kaltara dilahirkan di tengah rentangan moratorium. Sementara calon DOB lainnya 'dipetieskan'," tuturnya.
Kabar Jokowi akan mengecualikan Papua dari moratorium pemekaran, kata Fadli bisa mengeruyak hati Awak Blahdeh Geurutee (ABG) atau warga Barat Selatan Aceh (BARSELA) dari kabupaten Aceh Jaya hingga Aceh Singkil.
"Timbul pertanyaan, apakah harus tumpah darah dulu seperti Papua untuk mendapat "kado" pemekaran, kalau diam tak dihiraukan?," tanya dia.
Ia berharap Presiden Jokowi tidak mengulangi ketidakadilan yang dipertontonkan pendahulunya. Ia meminta Presiden bersikap adil terhadap setiap anak bangsa.
Apalagi, kata Fadhli posisi Aceh berbeda dengan provinsi lain. Aceh dulunya daerah modal, berdiri sendiri sebagai negeri berdaulat. Demi Indonesia, Aceh bergabung dan membantu kemerdekaan NKRI. Bukan direbut dari tangan penjajah.
"Tidak memberikan perhatian yang sama dari Sabang-Meurauke, sama dengan pemerintah sedang menaburkan benih-benih kebencian yang suatu saat bisa menuai dendam," tuturnya.
Ia menyarankan agar Pemerintahan Jokowi jilid II mengevaluasi rantai belengguan moratorium pemekaran. Dengan menata ulang regulasi baru dari paradigma "pemekaran daerah" ke paradigma baru, yakni untuk penataan kembali daerah di Indonesia.
"Jika sebelumnya sarat kepentingan politis, maka sekarang dan ke depan lihatlah dari frame strategis nasional. Abas atau Barsela atau entah apa namanya, resminya sudah berjuang sejak 2003. Bahkan sudah mendeklarasikan diri 2012 lalu di Meulaboh," ungkapnya.
Ia mengapresiasi upaya pemerintah menyusun produk regulasi baru, berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) dan RPP Penataan Daerah ke depan.
KP3 Aceh Barsela, sambung Fadhli juga mengapreasiasi langkah presiden yang menyahuti aspirasi tokoh-tokoh warga tanah Papua yang menyampaikan kembali hasrat terpendam untuk pemekaran provinsinya. Sebagai salah satu tuntutan utama untuk mengakhiri konflik di bumi Cendrawasih.
"Kami berharap pemerintah Republik Indonesia, di bawah presiden Jokowi kiranya juga memaklumi persoalan perasaan dan pembangunan di Aceh," harapnya.
Sebab, kata Fadhli, Aceh memiliki tiga kawasan secara regional dan geografis berbeda. Selain itu, ketiga kawasan ini juga memiliki karakteristik sosial-budaya yang juga berlainan ronanya. Sehingga disparitas atau tingkat kemajuan infrastruktur dan kesejahteraan ekonomi antara ketiga wilayah itu sangat mencolok.
"Sungguh kami akan sangat kecewa pada pemerintah, jika pegunungan Papua dimekarkan, sementara kami yang sudah berjuang menyampaikan aspirasi pemekaran selama 2 dekade lalu dibiarkan, tidak dihiraukan atau harus menunggu pemerintah mencabut moratorium pemekaran yang belum jelas kapan waktunya," lanjutnya.
Ia mengusulkan agar pemerintah menyegerakan pencabutan moratorium pemekaran khusus untuk menampung aspirasi pemekaran provinsi atau pencabutan moratorium terbatas, jika pemerintah menghadapi kendala terbatasnya kemampuan anggaran.
"Apalagi selama ini 100 persen dari 8 provinsi yang di mekarkan berhasil sesuai harapan. Berbeda dengan hasil evaluasi Kemendagri terhadap Kabupaten/kota yang di mekarkan," papar Fadhli.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar kanal untuk pemekaran provinsi segera di buka kembali. Agar masyarakat Aceh yang berada di kabupaten Aceh Singkil, Simeulu dan Aceh Tenggara yang membutuhkan waktu tempuh 13 jam-18 jam menuju ibu kota provinsi dalam rangka mendapatkan layanan administrasi pemerintah, kesehatan, dan menyampaikan usulan atau aspirasi dapat diperpendek menjadi dibawah 7 jam perjalanan.
Sehingga, kawasan Barat Selatan Aceh tidak tertinggal. Bisa maju sejajar dengan kabupaten lainnya di Aceh.
"Dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), 5 kabupaten/kota dengan IPM terendah di Aceh dalam 10 tahun terakhir berada di kabupaten dalam wilayah Barsela dan ALA," pungkasnya.
|
Juru Bicara Komite Persiapan Pemekaran Provinsi (KP3) Aceh Barat Selatan (Barsela) Fadhli Ali meminta agar Presiden Jokowi memberikan perlakuan yang sama antara Aceh dan Papua.
"Moratorium sepihak ini sangat tidak adil baik ketika SBY maupun kini oleh Jokowi," kata Fadhli dalam keterangan tertulis yang diterima Bagus.co.
Ketidakadilan itu terlihat sejak pemberlakukan moratorium pemekaran era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang pertama kali diterapkan pada tahun 2009. Padahal, ketika itu, lanjut Fadhli draft Ampres sudah berada di atas mejanya.
Dalam draft itu, sebutnya ada 19 calon Daerah Otonomi Baru (DOB) dengan rincian14 kabupaten/kota dan 5 calon provinsi baru. Lima calon provinsi itu adalah provinsi Aceh Leuser Antara(ALA) dan Aceh Barat Selatan(Abas), Papua Tengah, Papua Selatan serta Provinsi Kalimantan Utara(Kaltara).
"Aneh bin ajaib, diam-diam Kaltara dilahirkan di tengah rentangan moratorium. Sementara calon DOB lainnya 'dipetieskan'," tuturnya.
Kabar Jokowi akan mengecualikan Papua dari moratorium pemekaran, kata Fadli bisa mengeruyak hati Awak Blahdeh Geurutee (ABG) atau warga Barat Selatan Aceh (BARSELA) dari kabupaten Aceh Jaya hingga Aceh Singkil.
"Timbul pertanyaan, apakah harus tumpah darah dulu seperti Papua untuk mendapat "kado" pemekaran, kalau diam tak dihiraukan?," tanya dia.
Ia berharap Presiden Jokowi tidak mengulangi ketidakadilan yang dipertontonkan pendahulunya. Ia meminta Presiden bersikap adil terhadap setiap anak bangsa.
Apalagi, kata Fadhli posisi Aceh berbeda dengan provinsi lain. Aceh dulunya daerah modal, berdiri sendiri sebagai negeri berdaulat. Demi Indonesia, Aceh bergabung dan membantu kemerdekaan NKRI. Bukan direbut dari tangan penjajah.
"Tidak memberikan perhatian yang sama dari Sabang-Meurauke, sama dengan pemerintah sedang menaburkan benih-benih kebencian yang suatu saat bisa menuai dendam," tuturnya.
Ia menyarankan agar Pemerintahan Jokowi jilid II mengevaluasi rantai belengguan moratorium pemekaran. Dengan menata ulang regulasi baru dari paradigma "pemekaran daerah" ke paradigma baru, yakni untuk penataan kembali daerah di Indonesia.
"Jika sebelumnya sarat kepentingan politis, maka sekarang dan ke depan lihatlah dari frame strategis nasional. Abas atau Barsela atau entah apa namanya, resminya sudah berjuang sejak 2003. Bahkan sudah mendeklarasikan diri 2012 lalu di Meulaboh," ungkapnya.
Ia mengapresiasi upaya pemerintah menyusun produk regulasi baru, berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) dan RPP Penataan Daerah ke depan.
KP3 Aceh Barsela, sambung Fadhli juga mengapreasiasi langkah presiden yang menyahuti aspirasi tokoh-tokoh warga tanah Papua yang menyampaikan kembali hasrat terpendam untuk pemekaran provinsinya. Sebagai salah satu tuntutan utama untuk mengakhiri konflik di bumi Cendrawasih.
"Kami berharap pemerintah Republik Indonesia, di bawah presiden Jokowi kiranya juga memaklumi persoalan perasaan dan pembangunan di Aceh," harapnya.
Sebab, kata Fadhli, Aceh memiliki tiga kawasan secara regional dan geografis berbeda. Selain itu, ketiga kawasan ini juga memiliki karakteristik sosial-budaya yang juga berlainan ronanya. Sehingga disparitas atau tingkat kemajuan infrastruktur dan kesejahteraan ekonomi antara ketiga wilayah itu sangat mencolok.
"Sungguh kami akan sangat kecewa pada pemerintah, jika pegunungan Papua dimekarkan, sementara kami yang sudah berjuang menyampaikan aspirasi pemekaran selama 2 dekade lalu dibiarkan, tidak dihiraukan atau harus menunggu pemerintah mencabut moratorium pemekaran yang belum jelas kapan waktunya," lanjutnya.
Ia mengusulkan agar pemerintah menyegerakan pencabutan moratorium pemekaran khusus untuk menampung aspirasi pemekaran provinsi atau pencabutan moratorium terbatas, jika pemerintah menghadapi kendala terbatasnya kemampuan anggaran.
"Apalagi selama ini 100 persen dari 8 provinsi yang di mekarkan berhasil sesuai harapan. Berbeda dengan hasil evaluasi Kemendagri terhadap Kabupaten/kota yang di mekarkan," papar Fadhli.
Oleh karena itu, ia menyarankan agar kanal untuk pemekaran provinsi segera di buka kembali. Agar masyarakat Aceh yang berada di kabupaten Aceh Singkil, Simeulu dan Aceh Tenggara yang membutuhkan waktu tempuh 13 jam-18 jam menuju ibu kota provinsi dalam rangka mendapatkan layanan administrasi pemerintah, kesehatan, dan menyampaikan usulan atau aspirasi dapat diperpendek menjadi dibawah 7 jam perjalanan.
Sehingga, kawasan Barat Selatan Aceh tidak tertinggal. Bisa maju sejajar dengan kabupaten lainnya di Aceh.
"Dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), 5 kabupaten/kota dengan IPM terendah di Aceh dalam 10 tahun terakhir berada di kabupaten dalam wilayah Barsela dan ALA," pungkasnya.