Overdosis, Muhammadiyah Imbau Pemerintah dan Media Kurangi Bicara Radikalisme

Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menghimbau agar bersikap rasional dan proporsional. Jangan yang kecil dibesar-besarkan atau yang besar dikecil-kecilkan. 
Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menghimbau agar bersikap rasional dan proporsional. Jangan yang kecil dibesar-besarkan atau yang besar dikecil-kecilkan. 
  • Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas. Foto: Twitter

JAKARTA- Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menilai pembicaraan tentang radikalisme, baik oleh pemerintah maupun media belakangan ini sudah overdosis. Karena itu, ia meminta untuk dikurangi.

"Mengingat masalah-masalah yang dihadapi bangsa ini sangat banyak," kata Anwar Abbas dalam keterangan tertulis, Rabu (6/11).

Imbauan itu disampaikan, lanjut Anwar bukan berarti karena masalah radikalisme tidak penting atau tidak berbahaya bagi masa depan bangsa. Hanya saja persoalan yang dihadapi bangsa ini, kata dia bukan hanya masalah radikalisme.

Menurutnya, masih banyak persoalan-persoalan lain yang tidak kalah bahayanya dari radikalisme. Jika tidak direspon dan diantisipasi secara sungguh-sungguh. Baik dalam bidang ekonomi, politik dan pendidikan.

Ia kemudian mencontohkan masalah di bidang pendidikan. Dunia pendidikan yang semestinya bisa melahirkan insan-insan Pancasilais, sebagaimana dikehendaki oleh presiden Jokowi, realitanya masih sangat jauh panggang dari api.

"Dunia pendidikan kita semestinya bisa mencetak anak-anak bangsa yang pancasilais," harapnya.

Pancasilais yang dimaksud, lanjut Anwar adalah anak-anak bangsa yang berketuhanan dan taat beragama, yang menjunjung tinggi nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan, yang mencintai persatuan dan kesatuan, yang mengedepankan musyawarah dan mufakat dan yang selalu berorientasi kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

"Ternyata dunia pendidikan kita telah banyak mencetak anak-anak dan generasi bangsa yang sekuler. Karena pendidikan yang kita berikan kepada mereka lewat mata ajar yang ada terputus dan tidak terkait dengan Tuhan dan atau sila pertama," sebutnya.

Walhasil, generasi yang dihasilkan kata Anwar menganggap agama tidak penting dan tidak boleh dibawa-bawa ke dalam kehidupan ekonomi dan politik serta kegiatan publik lainnya.

Dunia pendidikan, sambungnya harusnya mampu mencetak anak didik yang merasa perlu kepada agama serta tunduk dan patuh kepada Tuhannya. Peduli terhadap hak dan kepentingan orang lain serta tahu dan mengerti betul tentang arti pentingnya persatuan dan kesatuan bagi bangsa ini.

Mereka juga harus benar-benar lebih mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam mengatasi perbedaan dan menghadapi masalah bersama. Dalam setiap gerak dan langkahnya juga selalu berorientasi kepada kepentingan orang banyak terutama untuk terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.

"Bila kita gagal dalam mengimplementasikan sila-sila tersebut ke dalam kehidupan di negeri ini maka kepercayaan rakyat terhadap idiologi negara yang ada akan hilang. Bila itu yang terjadi, maka negeri ini akan bisa porak-poranda dan akan terseret ke dalam suatu peperangan yang lebih dahsyat yaitu perang idiologi," papar Anwar.

Oleh karena itu, ia menghimbau agar para pemimpin di negeri ini bersikap rasional dan proporsional. Jangan yang kecil dibesar-besarkan atau yang besar dikecil-kecilkan. Hadapi semuanya secara cerdas dan realistis serta mengedepankan rasa kebersamaan dan keadilan.

"Karena dengan cara itulah kita yakin bangsa ini akan bisa survive, maju dan berkembang. Dimana rakyatnya akan bisa hidup dengan aman, tentram dan damai serta bahagia," pungkasnya.