Pos Keamanan Diserang, Camat, Mantan Kepala Desa dan 13 Lainnya Tewas

Sedikitnya 15 orang tewas dan 4 lainnya luka dalam serangan tengah malam yang dilakukan kelompok bersenjata di Thailand. Mereka menyasar pos keamanan Lam Phaya, Distrik Muang Selasa (5/11) lalu.

Foto: Twitter     

Otoritas setempat mengatakan bahwa ada 10 orang yang terlibat melakukan penyerangan itu, sebagaimana dilansir Bangkok Post. Mereka mendekati perkebunan karet, lalu menyerang pos keamanan pukul 11.20 malam, di Desa Moo 5.

Dalam menjalankan aksinya, para pelaku dikabarkan menggunakan peledak. Mereka juga menebar paku di jalan, membakar ban, menebang pohon dan mengebom tiang listrik untuk menghalangi pengejaran.

Sejauh ini belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas insiden itu. Dugaan sementara, dalang dari serangan brutal itu adalah para pemberontak.

"Ini kemungkinan besar aksi para pemberontak," sebut juru bicara otoritas keamanan regional, Kolonel Pramote Prom-in, kepada Reuters.

Dari serangan yang menyasar pos keamanan Lam Phaya itu, para pemberontak mencuri senapan serbu, dua senapan dan lima pistol dari para korban penyerangan.

Ada 15 orang yang tewas. Masing-masing terdiri dari mantan kepala desa, camat, pejabat camat, seorang pejabat kesehatan, dan seorang kapten polisi yang sedang mengawasi penyelidikan di perbatasan selatan.

Sisanya warga dan relawan pertahanan. Hanya 2 sukarelawan pertahanan selamat dari serangan tanpa cedera.

Pramote mengatakan insiden ini adalah salah satu serangan bersenjata paling brutal yang pernah terjadi di Thailand. "Ini kemungkinan besar aksi para pemberontak," terangnya.

Namun, merujuk laporan Deep South Watch, pemantau aksi kekerasan di Thailand bagian selatan, tindak kekerasan yang dilakukan gerakan pemberontak separatis memang sudah memakan banyak korban.

Mereka mencatat, dalam satu dekade terakhir nyaris 7 ribu orang tewas sejak tahun 2004 lalu. Itu terjadi di wilayah Provinsi Yala, Pattani dan Narathiwat

Ketiga provinsi itu sebelumnya merupakan bagian dari kesultanan Muslim Melayu yang merdeka. Kemudian dicaplok Thailand. Pada 10 Maret 1909, Inggris memisahkan empat wilayah dari Tanah Melayu, lalu memasukkannya ke wilayah Siam dengan Perjanjian Anglo-Siamse 1909.

Masalah kemudian muncul, karena ketidakcocokan budaya dan agama yang cukup kontras dengan Thailand. Sebanyak 80 persen warga di 3 wilayah tersebut beragama Muslim, sedangkan mayoritas Thailand beragama Buddha.

Seiring waktu, ketidakcocokan itu memunculkan sejumlah kelompok separatis yang ingin mendirikan negara merdeka. Mereka ingin melepaskan diri dari Thailand.