Nasehat SBY Untuk Jokowi: Utang, Daya Beli, Pengangguran Hingga Pindah Ibukota

Salah satu catatan buruk di tahun 2019, kata SBY adalah pemilu yang diwarnai politik identitas, melebihi takarannya. Hingga menelan banyak korban jiwa.
Dalam pidato refleksi pergantian tahun tadi malam, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih banyak bicara soal ekonomi. Mulai dari hutang, pengangguran, hingga pindah ibu kota. Meskipun tetap dibumbui soal-soal politik, di awal pidatonya.

  • Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono Dalam pidato refleksi pergantian tahun tadi malam (11/12). Foto: Muhammad

JAKARTA, Bagus - Presiden keenam itu terlihat lebih segar tadi malam. Intonasi pidatonya stabil. Penuh semangat, namun tidak menggebu-gebu. Berbeda dengan beberapa pekan sebelumnya, dimana aura wajah SBY kerap terlihat sedih sendu, setelah meninggalnya dua orang yang sangat dicintai: Ibu dan Istrinya.

Tampil mengenakan jas hitam, dipadu kemeja biru muda dan dasi dengan motif garis-garis putih biru, SBY tiba di Balai Pertemuan JCC Senayan, Jakarta sekitar pukul 19.33. Ia masuk lewat pintu sebelah kiri panggung. Langkahnya mantap menyusuri karpet biru.




Ketum Demokrat itu disambut dengan tepuk tangan meriah oleh para kader dan sejumlah petinggi yang hadir. SBY meresponsnya dengan sekali lambaian tangan. Lalu, langsung naik ke atas panggung.

Di mimbar, dia mengawali pidatonya dengan menyebut 2019 sebagai tahun yang penuh dinamika dan ujian. Memang, tahun ini adalah tahun yang menyedihkan bagi SBY. Tak hanya pribadi tapi juga partai. Selain capres yang didukung kalah, perolehan suara partai berlambang Mercy ini di pemilihan legislatif juga turun.

"Tahun 2019 yang penuh dinamika dan juga ujian, akan kita tinggalkan. Sebentar lagi, kita akan memasuki tahun baru 2020. Tahun yang membawa harapan dan peluang, meskipun tak akan luput dari tantangan," kata SBY dalam pidatonya tadi malam.

Salah satu catatan buruk di tahun 2019, kata SBY adalah pemilu yang diwarnai politik identitas, melebihi takarannya. Hingga menelan banyak korban jiwa.


Namun demikian, tahun 2019 juga punya hal baik. Meskipun terjadi benturan pasca-pemilu, tapi masih banyak yang memilih menjaga keutuhan bangsa. "Alhamdulillah, mimpi buruk itu tidak terjadi. Kita memilih persatuan, bukan perpecahan," tuturnya.

Karenanya, menurut SBY evaluasi menyeluruh tentang sistem, undang-undang dan penyelenggaraan pemilu perlu dilakukan. Terutama bagi pihak pemerintah, parlemen dan penyelenggara pemilu. Agar pemilu di masa mendatang bisa berlangsung lebih baik.

"Yang sudah baik kita pertahankan, yang belum baik kita perbaiki. Itulah harapan Partai Demokrat. Saya yakin itu pula harapan rakyat kita," tegas SBY, disambut tepuk tangan hadirin.

Ia berharap setelah kontestasi pemilu 5 tahunan itu, tidak ada lagi kontestasi baru sepanjang periode ini. Nafsu-nafsu untuk mendapatkan kekuasaan di tahun 2024 menurutnya tidak etis. Karena pemerintahan Jokowi di periode kedua baru saja dimulai.

SBY juga meminta suasana permusuhan dan politik pecah-belah dihentikan. Hubungan yang bernuansa kawan dan lawan harus diganti dengan hubungan antar mitra. Rakyat menghormati negara dan pemimpinnya. Begitupun negara dan pemimpin harus sabar dan mengayomi rakyat dengan adil dan penuh rasa kasih sayang.

"Bersatu kita teguh. Bersama kita lebih kuat. Together we are stronger. Inilah ajakan Partai Demokrat," seru SBY, disambut riuh tepukan tangan hadirin.

Lalu bagaimana posisi politik partai Demokrat?
SBY bilang, partainya berada di luar pemerintahan. Namun ia tidak menyebut oposisi. Demokrat, jelasnya akan mendukung penuh keputusan dan kebijakan pemerintah yang tepat. Namun, Demokrat juga tetap mengkritisi kebijakan yang dianggap keliru. "Kami ingin pemerintah kita sukses," ucapnya.

Baru kemudian, SBY merinci pandangannya soal kebijakan ekonomi dan kesejahteraan. Pertama, SBY mengatakan bahwa ekonomi di tahun 2020 diperkirakan tidak baik. Ekonomi dunia akan mengalami resesi dan pertumbuhan yang melambat.

Menyikapi kondisi itu, Indonesia, saran SBY tidak cukup hanya dengan berjaga-jaga. Sangat berbahaya, kata dia, jika pemerintah lalai dan bersikap “business as usual”. Apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan Bank Dunia, hanya di angka 4,9 persen. "Kami yakin pemerintah memerlukan mitra yang berkata jujur dan apa adanya," sebutnya.

Karena itu, SBY memberikan beberapa nasehat kepada Jokowi. Berkaca dari pengalaman dia sebagai Presiden selama dua periode. Khususnya ketika ia menghadapi krisis ekonomi global tahun 2008. "Alhamdulillah kita selamat. Kita bisa mengurangi dampak krisis ekonomi global waktu itu," paparnya, seraya berharap prahara global tahun 1998 yang membuat ekonomi Indonesia jatuh cukup dalam tidak terulang.

Untuk menghadapi tantangan ekonomi global itu, SBY menyarankan agar pemerintahan Jokowi-Ma'ruf fokus pada 5 isu. Pertama, menyangkut pertumbuhan ekonomi. Kedua, pengangguran dan lapangan kerja. Ketiga, daya beli dan perlindungan sosial untuk rakyat. Keempat, kebijakan fiskal termasuk utang negara. Kelima, rencana pemindahan dan pembangunan ibu kota baru.

Soal pertumbuhan ekonomi, SBY sepakat dengan Presiden Jokowi bahwa pertumbuhan di angka 5 persen, dalam kondisi global saat ini bukanlah sesuatu yang buruk. Namun, SBY berharap agar pertumbuhan ekonomi ridak di bawah 6 persen. Sebab efeknya; lapangan pekerjaan baru sulit didapat, penghasilan dan daya beli rakyat sulit ditingkatkan, kemudian angka kemiskinan menjadi tidak mudah untuk diturunkan.

Agar pertumbuhan bisa menembus di atas 6 persen, SBY menawarkan 2 solusi jangka pendek dan menengah. Pertama, meningkatkan investasi dunia usaha. Kedua, belanja pemerintah maupun konsumsi rumah tangga juga harus ditingkatkan. Kalau daya beli masyarakat lesu, ada 2 proritas yang penting yang menurut SBY perlu segera dilajukan Jokowi.

"Kesatu, penciptaan lapangan kerja baru harus sukses. Kalau sukses, konsumsi rumah tangga secara agregat akan terus meningkat. Kedua, perlu dipastikan agar anggaran perlindungan sosial, termasuk subsidi bagi kaum tidak mampu, jumlahnya memadai," usulnya.

Selanjutnya, belanja pemerintah, kata SBY adalah komponen penting dalam pertumbuhan. Apalagi, ia melihat ruang fiskal Indonesia tidak terlalu sempit. Demokrat, lanjut SBY berharap belanja pemerintah dapat menyumbang pertumbuhan ekonomi yang nyata.  “Sebenarnya, banyak jalan menuju Roma," tuturnya.

Demokrat, kata SBY menyambut baik tekad Presiden Jokowi, membawa Indonesia keluar dari jebakan penghasilan menengah (middle income trap) di tahun 2045 mendatang. Dari pengalamannya, ketika menjadi Presiden, pertumbuhan ekonomi 6 persen setahun, dapat meningkatkan pendapatan perkapita naik 2 kali lipat dalam 10 tahun. "Insya Allah Indonesia bisa. Kita punya “success story”. Dalam waktu 10 tahun, income per kapita kita naik 3 kali lipat lebih, dari USD 1.100 menjadi USD 3.500," sebutnya.

Soal angka pengangguran, SBY mengakui ada penurunan sekitar 1 persen dalam waktu 5 tahun. Namun, menurutnya itu belum cukup. Sebab, belakangan banyak terjadi peralihan pekerjaan dari sektor formal ke informal.

​"Meskipun tercatat sebagai bekerja, alias tidak menganggur, namun sekitar 28,4 juta adalah pekerja paruh waktu. Sementara, yang berkategori setengah menganggur sekitar 8,14 juta. Jumlahnya, 36,5 juta orang. Tentu ini angka yang besar," papar SBY.




Karena itu, Demokrat lanjut SBY mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam meningkatkan biaya yang ditanggung oleh rakyat, seperti BPJS, Tarif Dasar Listrik dan lain-lain. Ia meminta agar pemerintah memperhatikan “timing” dan seberapa besar angka kenaikan yang tepat.

"Secara moral dan sosial, tidaklah bijak membebani rakyat secara berlebihan ketika  ekonomi mereka sedang susah," ujar SBY yang kembali disambut gemuruh tepuk tangan hadirin.

SBY menyambut baik besarnya anggaran yang diplot Jokowi untuk program Kartu Pra Kerja yang mencapai Rp10 triliun dan anggaran perlindungan sosial berjumlah Rp 372,5 triliun di APBN 2020. Menurutnya, itu bukan pemborosan. "Anggaran ini cukup besar, meskipun tidak sebesar anggaran untuk pembangunan infrastruktur," katanya.

Soal kebijakan fiskal, termasuk utang negara di era Jokowi, SBY maklum. Namun ia meminta agar pemerintah tidak latah.

"Terus terang, Demokrat mengamati sasaran belanja negara kita memang tergolong tinggi. Barangkali juga terlalu ekspansif, untuk ukuran ekonomi Indonesia yang tengah menghadapi tekanan," sebutnya.

Soal ibu kota baru, SBY juga menghargai inisiatif Jokowi. Sebab, di masa kepemimpinannya rencana pemindahan ibubkota juga sempat digaungkan ke kawasan Jawa Barat. Namun, kemudian dibatalkan karena pertimbangan anggaran dan Amdal. Ia meminta Jokowi berhati-hati, sebab ada negara yang sukses dan gagal dalam memindahkan ibu kota.

"Memindahkan dan membangun ibukota baru adalah sebuah mega proyek. Tidak boleh meleset, harus sukses," tutupnya.