Seberapa Efektif Permenkes PSBB Dalam Memutus Mata Rantai Covid-19?

Di tengah darurat, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai terlalu birokratis. Ribet. Aturan yang ditetapkan pada Jum'at (3/5) lalu itu juga dipandang telat. Karena terbit setelah Covid-19 menyebar hampir ke seluruh provinsi di Indonesia.

  • Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto diapit Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP Moeldoko. Foto: Twitter Kemenkes

JAKARTA- Untuk diketahui, Permen 28 halaman yang diteken Menkes Terawan Agus Putranto itu adalah turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No.21 Tahun 2020 tentang PSBB. Permen tersebut mengatur prosedur daerah mengajukan permohonan PSBB.

Yang mengajukan boleh Gubernur. Boleh juga Bupati atau Wali Kota. Sebagaimana diatur dalam Bab 2, pasal 3. Namun, pengajuannya tidak cukup dengan selembar surat permohonan, namun harus dilengkapi data-data sebagaimana diatur dalam pasal 4.

Antara lain; Pertama, peningkatan jumlah kasus menurut waktu; Kedua, penyebaran kasus menurut waktu; dan ketiga, kejadian transmisi lokal. Ketiga data itu ada turunannya lagi, yang diatur di ayat selanjutnya.

Misal, data pertama harus dilengkapi dengan kurva epidemiologi. Data kedua, harus disertai dengan peta penyebaran menurut waktu dan data ketiga harus melampirkan hasil penyelidikan epidemiologi yang menyebutkan telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga.

Tak cuma data-data itu, pemda juga harus menyertai informasi kesiapan daerah dalam hal ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan.

Setelah semua data dilengkapi, pengajuan ini dibahas dulu oleh tim yang dibentuk oleh Menkes. Tim juga harus berkoordinasi lebih dulu dengan Gugus Tugas Covid-19.

"Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tim memberikan rekomendasi penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar kepada Menteri dalam waktu paling lama 1 (satu) hari sejak diterimanya permohonan penetapan," bunyi pasal 7 ayat 4.

Sementara di meja menteri, surat pengajuan itu akan parkir lagi sekitar 2 hari, sebelum mengeluarkan keputusan menolak atau menerima permohonan PSBB.

Proses ini, menurut Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun terbilang ribet dan panjang untuk ukuran kondisi darurat saat ini. Ia menyarankan agar 1 atau 2 pasal di Permenkes itu direvisi.

Harusnya, kata dia ada pasal-pasal yang memberikan kewenangan kelada pemerintah daerah untuk mengambil inisiatif kebijakan dalam keadaan darurat, tanpa harus menunggu izin dari pemerintah pusat. Sebagaimana berlaku di negara-negara lain. Contohnya di Amerika Serikat.

"Harusnya kalau bicara tanggap bencana itu, termasuk sekarang darurat kesehatan, kepala daerah harusnya diberikan hak inisiatif," kata Refly, ketika berbincang tadi malam.

Meskipun, kata dia Pemerintah Pusat punya hak veto untuk mengevaluasi kebijakan pemda. Apakah dicabut atau disetujui. Sebab, pada prinsipnya kebijakan itu tidak melulu top-down, tapi juga bottom-up.

"Kalau menurut saya itu memang cukup birokratif. Jangan sampai orang hampir mati, surat persetujuan belum keluar," kritiknya.

Pakar hukum lainnya, Margarito Kamis menduga Permenkes yang mewajibkan daerah mengajukan permohonan kepada pemerintah pusat dalam penetapan PSBB ini ditengarai hanyalah akal-akalan pemerintah pusat untuk menghindar dari tanggung jawab dalam memastikan kebutuhan dasar rakyat.

"Dengan mengatur pemda harus minta izin ke pemerintah lusat, maka konsekwensinya pemda lah yang harus menanggung beban makan minum rakyat, karena prakarsa datang dari daerah," ujar Margarito, ketika dikontak tadi malam.

Harusnya, kata dia, jika merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah pusat dan daerah harus berbagi tanggung jawab. Sehingga teknisnya, bukan izin tapi daerah hanya sekedar mengirimkan pemberitahuan saja.

Dia juga menyesalkan, dukungan regulasi yang terlambat dari pemerintah. Dimana PP baru keluar setelah 2 bulan lebih Covid-19 merebak di dunia. Apalagi masih ada sejumlah Permen lagi yang belum keluar sebagaimana diamanatkan PP.

"Ada 11 pasal yang memerintahkan peraturan menteri, nyatanya yang baru keluar Permenkes. Sudah telat, ribet pula," lanjutnya.

Dalam kondisi seperti ini, Ia menyarankan Pemda gerak cepat. Tanpa perlu ambil pusing sama ribetnya birokrasi pemerintah pusat. "Menurut saya, perkara itu bisa dibicarakan kemudian. Karena kesehatan rakyat itu adalah perintah konstitusi."

Selain ribet, Anggota Komisi IX DPR Intan Fitriana Fauzi menilai Permenkes soal PSBB juga tidak ada pengaruh signifikan dalam memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19.

Lagi pula, 4 poin pembatasan yang diatur dalam pasal 13 ayat 1, sudah berjalan tanpa aturan PSBB. Antara lain; pertama, peliburan sekolah dan tempat kerja; kedua, pembatasan kegiatan keagamaan; ketiga, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum; keempat, pembatasan kegiatan sosial dan budaya.

"Kalau meliburkan sekolah, Kemendikbud sudah meliburkan. Pembatasan kegiatan keagamaan, tidak ada lagi shalat berjamaah sudah ada fatwa MUI. Fasum seperti tempat wisata, juga sudah ditutup oleh Pemda," kata Intan, lewat sambungan telepon kemarin.

Hanya, poin kelima dan keenam yang baru. Yakni pembatasan moda transportasi dan pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek ketahanan dan keamanan. "Pembatasan moda transportasi dilemahkan terakhir, karena larangan mudik hanya sebatas imbauan," lanjutnya.

Ia berpandangan, jangan sampai PSBB digiring pemahamannya seakan-akan sama seperti karantina wilayah. Sebab, konsekwensinya berbeda sama sekali. Jika PSBB, di satu sisi tidak ada denda maupun sanksi pidana terhadap yang melanggar, di sisi lain pemerintah juga tidak punya kewajiban memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan hewan ternak. Bertolak belakang dengan karantina wilayah.

Ia mengingatkan, berdasarkan teori keilmuan dari sejumlah pakar di Gugus Tugas Covid-19 bahwa mata rantai penyebaran Covid-19 ini tidak akan putus jika tidak secara total menghentikan pergerakan orang. Apalagi sudah diketahui puncaknya sudah diketahui pada Juli mendatang. Sehingga tidak ada pilihan lain, selain karantina wilayah.

"Jangan anti karantina wilayah, karena itu sudah diatur di Undang-undang," pesannya.

Anggota Ombudsman Adrianus Meliala juga mengaku bingung dengan Permenkes PSBB ini. Selain pengajuannya yang terlalu birokratis, juga tidak ada ketegasan di dalam penerapannya.

"Saya berpikir apa sebenarnya yang mau dicari lewat permenkes itu? PSBB sebagai suatu representasi rezim standar, kalau sudah 1000 orang positif baru boleh WFH, misalnya. Atau rezim sanksi, ini sudah pasti tidak. Atau rezim akuntabilitas, memastikan pemerintah pusat dan daerah mengeluarkan sumberdaya secara tepat guna," tanya dia lewat pesan WhatsApp.