Ekonomi Minus, Antara Solusi & Optimisme Semu
Pertumbuhan ekonomi kembali dilaporkan minus di kuartal ketiga. Setelah di kuartal kedua juga negatif. Minusnya pertumbuhan ekonomi di dua kuartal secara beruntun ini bisa dimaknai resesi. Tapi, Presiden Jokowi masih pede. Optimisme ini nyata atau semu sih?
Presiden Joko Widodo |
Tapi, Presiden Jokowi sudah mengantongi bocorannya. Sebelum disampaikan, Kepala Negara mengulang kembali pentingnya menjaga titik keseimbangan antara penanganan kesehatan dan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
"Ini yang saya kira sudah berpuluh-puluh kali saya sampaikan. Tetapi perlu sekali lagi ini saya tekankan," kata Presiden Jokowi di awal pidatonya dalam Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, kemarin.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu bersyukur. Karena, dari laporan yang ia terima per 1 November lalu, kasus aktif Covid-19 sudah jauh lebih rendah dari rata-rata dunia. Yakni 13,78 persen. Sementara rata-rata kasus aktif dunia mencapai 25,22 persen.
Angka kesembuhan juga semakin baik, yakni 82,84 persen. Di atas rata-rata dunia, 72 persen. "Alhamdulillah," ucapnya. Hanya saja, angka kematian masih tinggi: 3,38 persen. Di atas rata-rata dunia: 2,5 persen.
Sedikit menghela nafas sambil menatap lembaran kertas yang dipegangnya, pembicaraan Jokowi masuk ke persoalan ekonomi. Tapi langsut meloncat ke kuartal keempat. Sebelum membahas pertumbuhan ekonomi di kuartal 3. "Ini adalah kuartal terakhir," ucap Jokowi, dengan kening mengkerut.
Ia berharap, realisasi belanja pemerintah di kuartal 4 itu digenjot habis-habisan. Pasalnya, ekonomi sudah minus di kuartal 2 dan 3. Sebelumnya, di kuartal 2, minus 5,32 persen. "Di kuartal ketiga ini, kita juga mungkin sehari, dua hari, tiga hari ini akan diumumkan oleh BPS."
Tak menunggu pengumuman BPS, Jokowi langsung memberikan bocoran pertumbuhan ekonomi di kuartal 3. "Masih berada di angka minus, perkiraan kita di angka minus 3 (persen)… Naik sedikit," ungkapnya.
Meskipun minus, menurut Jokowi, pertumbuhan ekonomi di kuartal 3 menunjukkan tren positif. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, ekonomi Indonesia juga masih lebih baik. "Syukur bisa masuk ke positif, kuartal yang keempat," harap Jokowi, sambil mengelap keningnya.
Ia mengulangi bahwa realisasi belanja pemerintah harus dikejar. Karena, menurut laporan yang diterima, konsumsi rumah tangga masih berada pada angka minus. "Kurang-lebih minus 4 persen."
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai optimisme dan kepercayaan diri Presiden mengangkat kembali ekonomi patut diapresiasi. Karena resesi atau tidak, kini bukan lagi diskursus yang relevan dibicarakan. Karena memang banyak negara yang resesi akibat ekonominya babak-belur dihantam pandemi.
"Yang terpenting saat ini adalah bagaimana daya ungkit konsumsi rumah tangga, daya beli masyarakat dan serapan tenaga kerja oleh industri kembali pulih," kata Josua tadi malam.
Menurutnya, belum ada satu pun negara yang mengklaim punya resep mujarab menangani ekonomi yang hancur akibat pandemi. Karena dampaknya cukup berat.
Tapi setidaknya, sebut Josua ada 2 komponen terbesar yang punya daya ungkit signifikan dalam pertumbuhan ekonomi. "Pertama, konsumsi rumah tangga. Kedua, UMKM," katanya.
Ia berharap, sisa dana stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang belum habis terserap sebaiknya dialihkan ke 2 komponen tersebut. Caranya, dengan menambah anggaran Bantuan Sosial (Bansos). Baik dalam bentuk BLT maupun modal untuk UMKM. "Karena UMKM ini konstribusinya 60 persen dari total ekonomi kita. UMKM ini juga yang menyerap 90 persen tenaga kerja yang ada di Indonesia," sambungnya.
Bagaimana jika dialihkan ke infrastruktur?
Menurut Josua, ada infrastruktur strategis dan mendesak yang harus dibiayai. Tapi jika keperluannya untuk jangka menengah-panjang, lebih baik ditunda. Apalagi proyek-proyek infrastruktur yang sedikit menyerap tenaga kerja. "Karena sebagian besar sudah dikerjakan oleh mesin," imbuhnya.
Hitungan Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara, dampak dari resesi ekonomi saat ini akan menimbulkan lonjakan angka pengangguran dan kemiskinan yang lebih besar daripada krisis 1998 dan 2008. Karena jumlah angkatan kerja saat ini ada sekitar 130 juta orang. Sektor utama seperti industri dan pertanian, nilainya tidak mampu menyerap tenaga kerja yang sudah ada.
"Ledakan pengangguran juga berisiko ciptakan konflik ditengah masyarakat. Ini sudah sangat urgen, pemerintah harus nyalakan tanda bahaya. Tidak bisa kasih tanda optimisme semu terus," sentil Bhima dalam obrolan tadi malam.
Ia mengusulkan Presiden mengambil langkah-langkah nyata. Jurus pertama, perbaiki tim di kabinet. "Pecat segera menteri yang tidak memahami bahwa ekonomi negara dalam bahaya," imbaunya.
Jurus kedua, stop penambahan anggaran infrastruktur. Sebab, yang mendesak dalam kondisi saat ini adalah perlindungan sosial dan memperkuat UMKM untuk menyerap banyak lapangan kerja. "Ini kan lucu, UMKM justru stimulusnya dipangkas pada 2021," kritiknya.