Sebut "Lalat Politik", Moeldoko Diminta Contoh Jokowi
Diksi "lalat politik" yang dipakai Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat menyentil tukang kritik di masa pandemi Covid-19, bikin kening mengkerut. Siapa sebenarnya lalat politik yang dimaksud Moeldoko ini? Dan kenapa harus menggunakan nama serangga yang suka hinggap di tempat-tempat kotor itu?
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. ILUSTRASI: TIMES |
Di menit-menit ini pula nada bicara mantan Panglima TNI ini meninggi. Khususnya setelah ditanya soal soal banyaknya suara-suara yang meragukan Indonesia bisa keluar dari pandemi Covid-19. "Bagaimana tanggapan bapak?" tanya host wawancaranya.
Spontan Moeldoko menegaskan bahwa saat ini bukan waktunya untuk pesimis. Karena pesimis menurutnya tak bisa menyelesaikan masalah, bikin otak tak kreatif hingga buntu. Tidak produktif.
"Untuk itu buang pesimisme. Justru kita harus selalu optimis jadi bangsa ini," ucap Moeldoko dengan mengepalkan tinju.
Ia membantah jika pemerintah disebut antikritik. Namun untuk saat ini, ia mengajak semua pihak berkolaborasi, membangun soliditas, bersatu-padu dan berpikir menyelamatkan masyarakat.
Tangan kanan Presiden Jokowi ini memastikan lembaga yang dipimpinnya yakni KSP siap menampung berbagai pemikiran baru untuk menghadapi Covid-19.
"Saya mengingatkan semua pihak, janganlah menjadi lalat-lalat politik yang justru mengganggu konsentrasi," imbaunya dengan tatapan tajam.
Sayangnya, pensiunan Jenderal TNI Angkatan Darat ini tidak menyebut secara gamblang siapa sebenarnya lalat-lalat politik dan kemana arah pernyataannya itu.
Moeldoko hanya menjabarkan konsentrasi siapa yang dimaksud. Yakni Konsentrasi mereka-mereka yang disebutnya saat ini bekerja keras, antara lain tenaga medis dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sebutnya telah mempertaruhkan hidup dan mati dalam menangangi pandemi Covid-19.
"Sekali lagi, janganlah menjadi lalat-lalat politik yang mengganggu," ulangnya lagi.
Ia beralasan, karena masalah yang dihadapi saat ini adalah persoalan kemanusiaan. Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang ini juga meminta semua pihak melepaskan perbedaan dan memikirkan kepentingan yang lebih besar.
"Yaitu persoalan kemanusiaan dan itu jauh lebih penting dari pada kepentingan pribadi dan golongan," ajaknya.
Di awal video ini, Moeldoko menjelaskan soal efektifitas PPKM Darurat dan kemungkinan akan diperluas ke luar Pulau Jawa dan Bali. Ia juga menegaskan posisi Presiden sebagai panglima tertinggi penanganan Covid-19.
Di YouTube, video ini agak sepi komentar. Hingga berita ini ditulis, video ini sudah ditonton 109 kali dengan 3 komentar. Ramenya di Twitter.
Sejumlah politisi Partai Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyerang balik serangan balik Moeldoko. Sebelumnya, Demokrat memang diketahui cukup keras mengkritik penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. AHY misalnya. Ia seperti gelisah ketika mengatakan seringnya mendengar sirine ambulans, kabar duka hingga rekor kasus positif dan kematian. "Sampai kapan Indonesia?" tanya dia, Rabu (7/7) lalu.
Sementara adiknya AHY, Edhie Baskoro Yudhoyono lebih keras lagi. Politisi yang karib disapa Ibas ini berharap Indonesia tidak menjadi bangsa gagal karena tidak mampu menyelamatkan rakyatnya.
"Sampai kapan bangsa kita akan terus begini? Jangan sampai negara kita disebut sebagai failed nation atau bangsa gagal akibat tidak mampu menyelamatkan rakyatnya," katanya.
Bak gayung bersambut, tak lama setelah pernyataan AHY dan Ibas itu muncul pula serangan Moeldoko dengan diksi lalat politik, kemarin. Ia juga menyentil sikap pesimisme. Namun tidak disebutkan secara eksplisit kepada siapa diksi itu dialamatkan.
Yang jelas, sejumlah elit Partai Demokrat dan pendukung AHY langsung naik pitam ketika mendengar diksi lalat politik yang disampaikan Moeldoko itu.
Ketua Bappilu DPP Partai Demokrat Andi Arief salah satunya. Lewat akun Twitternya, ia melayangkan serangan balik dengan melampirkan link berita pernyataan Moeldoko.
"Pengganggu penanganan Covid itu kalau jadi makelar obat cacing. Tolong diberantas pak para lalat makelar itu," sentilnya lewat akun @Andiarief__.
"Jenderal, lalat hanya mengerubuti sampah berbau busuk atau anyir. Jika Anda lihat istana diganggu lalat, itu artinya di istana sudah terlalu banyak sampah," timpal @RachlanNashidik
Sementara Deputi Strategi dan Kebijakan Balitbang DPP Demokrat Yan Harahap mencoba memaknai lalat politik yang dimaksud Moeldoko. "Lalat politik yang paling ganggu penanganan Covid, adalah ‘begal parpol’ yang masih terus berupaya ‘mengganggu’ merampok parpol orang lain, disaat pemerintah sedang berjuang melawan pandemi. Tumpas!" serunya di akun @YanHarahap. "Siapapun, jangan juga jadi lalat ekonomi yang ambil keuntungan secara tidak wajar dari penanganan Covid-19 di negeri kita," harap @OssyDermawan.
Ada juga yang mendukung Moeldoko. Akun @ud_cakrawala mencoba menebak siapa lalat politik tersebut.
"LALAT POLITIK !! Sebutan yang pas banget buat para K-dron dan bohirnya. Mereka selalu terbang mengitar dengan suara dengung yang memuakkan. Makanya jangan tanggung-tanggung pak Moel, semprot lalat politik ini dengan insektisida yang mematikan!!" dukungnya.
"Mereka itu asliknya bukan lalat politik pak, lebih tepatnya gerombolan pengecut yang muncul memanfaatkan situasi demi syahwat mereka. Dan mereka itu tidak berkelas pak. Tau kan siapa mereka??" tanya @Pai_C1. "Jangan hanya jadi Lalat Politik Tetapi Jadilah Lebah Madu atau tawon Madu Politik," usul @KatjeSyahrul.
Pakar komunikasi politik Hendri Satrio menilai diksi lalat politik yang dipakai Moeldoko itu berlebihan. Ia meminta pemerintah tidak berlindung dari kritik dengan membawa-bawa tenaga kesehatan (nakes) yang sedang berjuang sebagai tameng kritik.
"Nah kalau kemudian ada kritikan dianggap lalat politik dan berlindung dengan kata-kata saat ini Nakes sedang berjuang, wah itu malu-maluin banget ya. Sudah terima saja kritikan sebagai masukan untuk Indonesia yang lebih baik dalam penanganannya," kata Hendri Satrio tadi malam.
Pendiri lembaga survei KedaiKOPI itu meyakini semua elemen masyarakat mengapresiasi dan berterima kasih atas kerja keras nakes di tengah pandemi saat ini. Ia juga tidak meragukan masyarakat yang ikut berduka atas banyaknya nakes yang gugur.
"Sebaiknya para pembantu Jokowi mencontoh gaya komunikasi Jokowi yang humble dan menghargai kritik," sarannya.