BPOM Wacanakan Pelabelan Batas Aman Kemasan, Pengusaha Meradang
ILUSTRASI |
“Kita nggak jualan jadinya, mati semua kita punya produk. Jelas akan mematikan industri. Belum lagi konsumen yang akan kesulitan untuk mencari makanan dan minuman karena nggak ada yang menjual produknya,” kata Henky dalam keterangannya.
Henky tidak mempermasalahkan BPOM membuat peraturan pelabelan kemasan pangan. Dengan syarat, infrastruktur sudah siap. “Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah BPOM nanti bisa menyediakan akreditasi di laboratorium yang cukup di Indonesia. Itu persoalannya,” sambungnya.
Sebab, hampir seluruh kemasan pangan menggunakan pelapis plastik dari berbagai jenis. Bahkan penelitian di Amerika Serikat tahun 2016 menunjukkan 70 persen kemasan makanan minuman kaleng menggunakan pelapis berbahan Polikarbonat (PC). Di Indonesia, belum ada pengujian serupa karena diperlukan kesiapan dalam uji laboratorium.
Menurut Henky, banyak uji laboratorium yang tidak terlaksana karena laboratorium BPOM masih terbatas dan tidak cukup banyak di Indonesia. Hingga ia pernah terpaksa melakukan tes di luar negeri dengan biaya yang sangat mahal. "Karena BPOM tidak bisa melakukannya,” imbuhnya.
Selama BPOM tidak melengkapi infrastruktur laboratoriumnya di Indonesia, maka sebut Hengky, peraturan pelabelan yang dibuat akan percuma karena tidak bisa dilaksanakan.
Kalau itu tidak dibereskan, menurutnya peraturan BPOM tersebut tidak ada gunanya. Justru hanya menyulitkan saja. Sementara, setiap produk membutuhkan kemasan.
"Label lolos batas uji aman dan itu harus melalui tes. Nah, kalau tesnya saja tidak ada tempatnya, dimana dia harus lakukan tesnya dan bagaimana dia mau melabeli kemasannya?" tanya dia.
Sementara, Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, menyampaikan industri makanan dan minuman (mamin) merupakan penyumbang kontribusi terbesar terhadap sektor industri pengolahan nonmigas pada triwulan II tahun 2021. Yakni mencapai 38,42 persen. Selain itu, juga memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai 6,66 persen.
Dia mengatakan capaian kumulatif sektor strategis ini dari sisi ekspor juga sangat baik, yaitu mencapai USD19,58 miliar. Naik 42,59 persen dari periode yang sama pada tahun sebelumnya yang tercatat senilai USD 13,73 miliar.
Menurutnya, kinerja gemilang industri mamin ini perlu dijaga selama masa pandemi Covid-19. Karena peran pentingnya dalam memasok kebutuhan pangan masyarakat.
“Industri mamin selama ini telah membawa dampak positif yang luas bagi perekonomian nasional, seperti peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi, penerimaan devisa dari investasi dan ekspor hingga penyerapan tenaga kerja yang sangat banyak,” kata Putu.
Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi menyarankan agar peraturan itu dikomunikasikan terlebih dulu dengan para pelaku usahanya. Sebab, setiap peraturan itu harus dibahas secara bersama.
"Nggak sendiri. Mungkin ada masukan dari produsen. Karena ini kan mengakomodir tiga pihak, yaitu pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen. Kalau pemerintah itu membuat peraturan tapi tidak bisa diimplementasikan, kan konyol namanya,” kata Sularsi.
Ia menambahkan, peraturan yang baik itu adalah yang bisa diimplementasi dan dikomunikasikan. Jangan sampai, regulasi justru mematikan dunia usaha.
"Regulasi itu justru memberikan kepastian hukum untuk pelaku usaha, memberikan keamanan untuk pelaku usaha dan konsumen,” sambungnya.
Soal pelabelan kemasan pangan, dia mengatakan selama ini hal itu sudah diatur. Bahwa kemasan itu harus menggunakan bahan-bahan yang sudah dipastikan aman untuk makanan atau minuman yang akan dikemas dengan wadah tersebut.
Bahkan, kata Sularsi, untuk kemasan plastik seperti galon itu sudah ada SNI atau standar plastik kemasannya di Kementerian Perindustrian. “Karena hampir semua saat ini kan pangan itu dikemas dengan plastik. Pertanyaannya itu plastik-plastik yang mana yang wajib untuk dilabeli itu?” tanya dia.
Kegaduhan wacana pelabelan ini dimulai dengan munculnya sebuah organisasi bernama Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL) yang sejak tahun lalu mengusung isu tunggal yaitu isu potensi kandungan BPA pada galon kemasan Polikarbonat yang telah puluhan tahun dikonsumsi secara aman oleh masyarakat Indonesia.