Benteng Indra Patra, Peninggalan Kerajaan Hindu yang Jadi Destinasi Wisata Sejarah di Aceh
Aceh terkenal dengan mayoritas masyarakatnya yang menganut agama Islam, ternyata tidak hanya menyimpan sejarah tentang kejayaan peradaban Islam pada masa Kesultanan Aceh saja.
ACEH – Akan tetapi, jauh sebelum Islam menancapkan ajarannya di wilayah Aceh, agama Hindu sudah lebih dahulu ada dan berkembang di dalam masyarakat.
Sehingga, tidak sedikit peninggalan kejayaan Hindu masa lalu yang bisa disaksikan sampai sekarang.
Salah satu contoh yang jadi saksi bisu masa keemasan Kerajaan Hindu di Aceh adalah Benteng Indra Patra.
Situs peninggalan Hindu ini terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Benteng ini terdiri dari sebuah bangunan benteng utama yang berukuran 4900 meter persegi dan tiga benteng lain, di mana dua di antaranya sudah hancur. Selain itu, di sekitarnya juga terdapat bangunan tempat peletakan meriam dan amunisi.
Benteng Indra Patra didirikan sekitar tahun 604 M oleh seorang Putra Raja Harsya yang pernah berkuasa di India, lalu melarikan diri akibat dari kejaran Bangsa Huna.
Keberadaan benteng ini menjadi tanda peninggalan sejarah mengenai proses masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu dari India ke dalam masyarakat Aceh.
Pada masa itu diperkirakan Kerajaan Hindu, Kerajaan Lamuri, mulai berkembang pesat di wilayah Pesisir Utara Aceh Besar.
Sehingga benteng ini adalah satu dari tiga benteng yang jadi penanda wilayah segitiga Kerajaan Hindu di Aceh, antara lain Indra Patra, Indra Puri, Indra Purwa.
Benteng ini jika ditempuh dari Kota Banda Aceh hanya berjarak sekitar 19 kilometer.
Arsitektur Benteng Indra Patra memang masih memiliki motif ciri Pra-Islam yang dapat dilihat di beberapa bagian.
Hal ini dapat diamati dengan melihat dua sumur yang ada di area benteng utama berbentuk menyerupai stupa.
Uniknya, walaupun benteng ini peninggalan Kerajaan Hindu di Aceh, dalam aspek fungsionalitas Benteng Indra Patra masih digunakan saat agama Islam mulai menancap di dalam masyarakat Aceh.
Hingga masa keemasan Kesultanan Aceh, yaitu masa Sultan Iskandar Muda, benteng ini masih dipergunakan untuk menghadapi serangan musuh.
Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, Benteng Indra Patra menjadi salah satu garis pertahanan dalam menghadapi serangan Portugis.
Saat Sultan Iskandar Muda menduduki kekuasaan tertinggi di Aceh (1607-1636 M) benteng ini, Benteng Inong Balee, Benteng Kuta Lubok serta beberapa benteng lainnya, jadi pusat pertahanan Aceh dalam menghadang serangan musuh dari laut.
Hal unik lainnya yang bisa dilihat dari benteng ini adalah susunan konstruksinya yang sangat kokoh. Kekokohan benteng ini terbentuk dari struktur penyusunannya yang terbuat dari batu gunung. Di mana batu-batu tersebut saling merekat atau mengikat satu sama lain.
Kemudian dapat diperhatikan bahwa rahasia kekokohan benteng ini terletak pada adonan yang merekatkan bongkahan-bongkahan batu gunung itu.
Adapun adonan tersebut terbuat dari percampuran antara kapur, tumbukan kulit kerang, tanah liat dan putih telur.
Penggunaan putih telur yang digunakan sebagai bahan perekat dalam proses pembangunan sebuah bangunan juga terdapat di beberapa bangunan di Indonesia, salah satunya Candi Prambanan dan Borobudur.
Karena bangunannya yang unik dan menyimpan sejarah yang cukup panjang, maka tidak heran jika tempat ini berhasil menarik perhatian para wisatawan.
Benteng ini juga sering dijadikan tempat hunting, karena beberapa tempat di dalam benteng ini memiliki spot yang cukup bagus. Ada juga yang melakukan prewedding di dalam benteng ini, sehingga foto yang dihasilkan tampak begitu bagus.
Benteng Indra Patra, Foto: Instagram @martinulpan |
ACEH – Akan tetapi, jauh sebelum Islam menancapkan ajarannya di wilayah Aceh, agama Hindu sudah lebih dahulu ada dan berkembang di dalam masyarakat.
Sehingga, tidak sedikit peninggalan kejayaan Hindu masa lalu yang bisa disaksikan sampai sekarang.
Salah satu contoh yang jadi saksi bisu masa keemasan Kerajaan Hindu di Aceh adalah Benteng Indra Patra.
Situs peninggalan Hindu ini terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Benteng ini terdiri dari sebuah bangunan benteng utama yang berukuran 4900 meter persegi dan tiga benteng lain, di mana dua di antaranya sudah hancur. Selain itu, di sekitarnya juga terdapat bangunan tempat peletakan meriam dan amunisi.
Benteng Indra Patra didirikan sekitar tahun 604 M oleh seorang Putra Raja Harsya yang pernah berkuasa di India, lalu melarikan diri akibat dari kejaran Bangsa Huna.
Keberadaan benteng ini menjadi tanda peninggalan sejarah mengenai proses masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu dari India ke dalam masyarakat Aceh.
Pada masa itu diperkirakan Kerajaan Hindu, Kerajaan Lamuri, mulai berkembang pesat di wilayah Pesisir Utara Aceh Besar.
Sehingga benteng ini adalah satu dari tiga benteng yang jadi penanda wilayah segitiga Kerajaan Hindu di Aceh, antara lain Indra Patra, Indra Puri, Indra Purwa.
Benteng ini jika ditempuh dari Kota Banda Aceh hanya berjarak sekitar 19 kilometer.
Arsitektur Benteng Indra Patra memang masih memiliki motif ciri Pra-Islam yang dapat dilihat di beberapa bagian.
Hal ini dapat diamati dengan melihat dua sumur yang ada di area benteng utama berbentuk menyerupai stupa.
Uniknya, walaupun benteng ini peninggalan Kerajaan Hindu di Aceh, dalam aspek fungsionalitas Benteng Indra Patra masih digunakan saat agama Islam mulai menancap di dalam masyarakat Aceh.
Hingga masa keemasan Kesultanan Aceh, yaitu masa Sultan Iskandar Muda, benteng ini masih dipergunakan untuk menghadapi serangan musuh.
Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, Benteng Indra Patra menjadi salah satu garis pertahanan dalam menghadapi serangan Portugis.
Saat Sultan Iskandar Muda menduduki kekuasaan tertinggi di Aceh (1607-1636 M) benteng ini, Benteng Inong Balee, Benteng Kuta Lubok serta beberapa benteng lainnya, jadi pusat pertahanan Aceh dalam menghadang serangan musuh dari laut.
Hal unik lainnya yang bisa dilihat dari benteng ini adalah susunan konstruksinya yang sangat kokoh. Kekokohan benteng ini terbentuk dari struktur penyusunannya yang terbuat dari batu gunung. Di mana batu-batu tersebut saling merekat atau mengikat satu sama lain.
Kemudian dapat diperhatikan bahwa rahasia kekokohan benteng ini terletak pada adonan yang merekatkan bongkahan-bongkahan batu gunung itu.
Adapun adonan tersebut terbuat dari percampuran antara kapur, tumbukan kulit kerang, tanah liat dan putih telur.
Penggunaan putih telur yang digunakan sebagai bahan perekat dalam proses pembangunan sebuah bangunan juga terdapat di beberapa bangunan di Indonesia, salah satunya Candi Prambanan dan Borobudur.
Karena bangunannya yang unik dan menyimpan sejarah yang cukup panjang, maka tidak heran jika tempat ini berhasil menarik perhatian para wisatawan.
Benteng ini juga sering dijadikan tempat hunting, karena beberapa tempat di dalam benteng ini memiliki spot yang cukup bagus. Ada juga yang melakukan prewedding di dalam benteng ini, sehingga foto yang dihasilkan tampak begitu bagus.