Mengejar Ketinggalan Aceh, Pakar Otda Soroti Pentingnya Sinergi dan Kepemimpinan Kuat
Dana Otsus Aceh belum signifikan meningkatkan pembangunan.
Meskipun Aceh menerima Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) setiap tahun, provinsi yang dikenal dengan julukan Serambi Mekkah ini masih tercatat sebagai daerah termiskin di Sumatra.
ACEH - Menurut Djohermansyah Djohan, seorang pakar otonomi daerah dan mantan Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Dana Otsus belum mampu mendorong Aceh untuk mengejar ketertinggalannya.
Djohermansyah menilai ada dua persoalan utama yang perlu dibenahi agar Aceh dapat maju, yakni kepemimpinan yang lebih baik dan tata kelola pemerintahan yang efisien.
"Pemimpin Aceh harus bisa membangun sinergi antara Aceh dan pemerintah pusat agar Aceh lebih maju", katanya.
Ia juga mengingatkan pentingnya memilih pemimpin yang mampu mengurus Aceh dengan baik, dan bukan hanya berfokus pada kepentingan lokal.
Menurutnya, hubungan Aceh dengan pusat kini lebih kondusif, dan ini bisa menjadi peluang besar untuk pembangunan. Djohermansyah menekankan, pemimpin Aceh harus mampu melobi pemerintah pusat untuk meningkatkan dana Otsus, agar Aceh bisa merasakan manfaat yang lebih besar.
"Aceh harus mencontoh Papua yang berhasil meningkatkan alokasi dana Otsus-nya", pintanya.
Selain kemampuan lobi yang kuat, Djohermansyah juga menyarankan agar Aceh menciptakan pusat-pusat ekonomi baru di wilayah selatan, untuk mengurangi kesenjangan pembangunan yang selama ini terkonsentrasi di bagian barat. Dengan cara ini, Aceh bisa meratakan pembangunan dan membuka peluang ekonomi baru.
Djohermansyah juga mengusulkan agar pemimpin Aceh yang baru lebih proaktif dalam merangkul diaspora Aceh di perantauan.
"Pemimpin Aceh harus memanfaatkan potensi besar dari orang Aceh yang ada di luar", katanya.
Hal ini akan membuka lebih banyak peluang untuk Aceh, mengingat diaspora Aceh memiliki jaringan yang luas di tingkat nasional.
Lebih lanjut, Djohermansyah menilai tata kelola pemerintahan di Aceh masih jauh dari prinsip-prinsip good governance.
"Dana yang ada harus dikelola secara transparan, dan harus diarahkan untuk kesejahteraan rakyat", ujar Djohermansyah.
Ia juga menekankan pentingnya melibatkan kelompok-kelompok strategis seperti mantan kombatan GAM yang masih hidup dalam kemiskinan. Mereka perlu dilatih dan diberikan akses modal untuk mandiri secara ekonomi.
Djohermansyah percaya bahwa dengan pemimpin yang tepat dan tata kelola yang baik, Aceh dapat meninggalkan statusnya sebagai daerah tertinggal di Sumatra dan menjadi provinsi yang lebih sejahtera.
Djohermansyah Djohan, seorang pakar otonomi daerah dan mantan Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Foto: Riau.go.id. |
ACEH - Menurut Djohermansyah Djohan, seorang pakar otonomi daerah dan mantan Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Dana Otsus belum mampu mendorong Aceh untuk mengejar ketertinggalannya.
Djohermansyah menilai ada dua persoalan utama yang perlu dibenahi agar Aceh dapat maju, yakni kepemimpinan yang lebih baik dan tata kelola pemerintahan yang efisien.
"Pemimpin Aceh harus bisa membangun sinergi antara Aceh dan pemerintah pusat agar Aceh lebih maju", katanya.
Ia juga mengingatkan pentingnya memilih pemimpin yang mampu mengurus Aceh dengan baik, dan bukan hanya berfokus pada kepentingan lokal.
Menurutnya, hubungan Aceh dengan pusat kini lebih kondusif, dan ini bisa menjadi peluang besar untuk pembangunan. Djohermansyah menekankan, pemimpin Aceh harus mampu melobi pemerintah pusat untuk meningkatkan dana Otsus, agar Aceh bisa merasakan manfaat yang lebih besar.
"Aceh harus mencontoh Papua yang berhasil meningkatkan alokasi dana Otsus-nya", pintanya.
Selain kemampuan lobi yang kuat, Djohermansyah juga menyarankan agar Aceh menciptakan pusat-pusat ekonomi baru di wilayah selatan, untuk mengurangi kesenjangan pembangunan yang selama ini terkonsentrasi di bagian barat. Dengan cara ini, Aceh bisa meratakan pembangunan dan membuka peluang ekonomi baru.
Djohermansyah juga mengusulkan agar pemimpin Aceh yang baru lebih proaktif dalam merangkul diaspora Aceh di perantauan.
"Pemimpin Aceh harus memanfaatkan potensi besar dari orang Aceh yang ada di luar", katanya.
Hal ini akan membuka lebih banyak peluang untuk Aceh, mengingat diaspora Aceh memiliki jaringan yang luas di tingkat nasional.
Lebih lanjut, Djohermansyah menilai tata kelola pemerintahan di Aceh masih jauh dari prinsip-prinsip good governance.
"Dana yang ada harus dikelola secara transparan, dan harus diarahkan untuk kesejahteraan rakyat", ujar Djohermansyah.
Ia juga menekankan pentingnya melibatkan kelompok-kelompok strategis seperti mantan kombatan GAM yang masih hidup dalam kemiskinan. Mereka perlu dilatih dan diberikan akses modal untuk mandiri secara ekonomi.
Djohermansyah percaya bahwa dengan pemimpin yang tepat dan tata kelola yang baik, Aceh dapat meninggalkan statusnya sebagai daerah tertinggal di Sumatra dan menjadi provinsi yang lebih sejahtera.