Emas yang Tidur di Tubuh Republik
Dalam suatu forum bisnis di Beijing, Gubernur Aceh saat itu, Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem melontarkan pernyataan yang menggetarkan sekaligus mengundang gelak yaitu bahwa “Potensi emas di Aceh lima kali lipat dari Papua.”
![]() |
| Delky Nofrizal Qutni |
TAK berhenti di situ, dalam forum resmi bersama Komisi II DPR RI, ia kembali menegaskan bahwa kekayaan alam Aceh, terutama migas, “cukup untuk membantu membayar utang negara.”
Di media sosial dan warung kopi, ucapan itu segera jadi bahan gurauan. Banyak yang menuduh Mualem sedang berkhayal, atau sekadar mengulang janji kampanye lama tentang Aceh sejahtera, Rp 1 juta per keluarga per bulan. Tapi di balik tutur sederhana itu, ada gema peringatan yang sesungguhnya sangat serius, bahwa Aceh bukan miskin sumber daya, melainkan miskin pengelolaan.
Secara geologis, klaim itu tak sepenuhnya absurd. Berdasarkan laporan Kementerian ESDM tahun 2023, cadangan emas Papua yang dikelola PT Freeport Indonesia di kawasan Grasberg mencapai sekitar 1.600 ton emas. Dengan harga emas dunia rata-rata USD 2.300 per troy ounce (sekitar Rp1,2 miliar per kilogram), nilainya menembus Rp1.920 triliun.
Sementara itu, jalur geologi Sumatran Gold Belt (sabuk emas yang membentang dari Aceh hingga Lampung) menyimpan formasi vulkanik Tersier dengan potensi endapan epitermal dan mesotermal yang luar biasa.
Wilayah Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Selatan, Pidie, hingga Bener Meriah tercatat memiliki anomali emas dengan kadar tinggi. Data eksplorasi dari PT Emas Mineral Murni di Beutong saja menunjukkan cadangan 1,3 juta ons emas, 397 juta pon tembaga, dan 11 juta ons perak.
Jika keseluruhan jalur mineralisasi Aceh dihitung secara konservatif, potensi bijih emas ekonomisnya bisa mencapai 8.000-10.000 ton, setara 400-500 ton emas murni, dengan nilai sekitar Rp500-600 triliun. Belum termasuk potensi logam tanah jarang (rare earth elements) yang mulai teridentifikasi di kawasan barat-selatan dan wilayah tengah Aceh.
Artinya, klaim Mualem mungkin hiperbolik, tetapi punya dasar rasional, bahwa Aceh bukan hanya menyimpan emas di satu titik, melainkan dalam jaringan mineralisasi sepanjang ratusan kilometer.
Perbedaannya dengan Papua adalah persoalan kapasitas eksploitasi. Papua punya Freeport, dengan teknologi tambang bawah tanah tercanggih di dunia. Aceh punya ribuan penambang rakyat dengan dulang dan palu, mayoritas tanpa izin, sebagian lainnya berurusan dengan aparat. Di sini letak jurangnya, dimana potensi besar, tapi sistem pengelolaan kecil dan seringkali tak berdaulat.
Migas, Dana Otsus, dan Pisau Cukur yang Tertahan
Pernyataan kedua Mualem tentang migas pun menyentuh dimensi yang lebih luas yakni soal kedaulatan ekonomi. Menurut data SKK Migas, kawasan lepas pantai utara dan barat Aceh yakni Blok Andaman I, II, dan III menyimpan potensi gas bumi hingga 12 triliun kaki kubik (TCF). Dengan asumsi harga USD 6 per MMBtu, nilai gas tersebut mencapai USD 72 miliar, atau sekitar Rp1.152 triliun.
Ditambah cadangan minyak darat di Aceh Timur, Bireuen, dan Tamiang yang mencapai 300 juta barel, nilainya menambah sekitar Rp408 triliun. Total potensi migas Aceh, jika dikelola penuh dan adil sesuai amanat UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, bisa menyumbang lebih dari Rp1.000 triliun bagi perekonomian nasional.
Angka itu tak cukup menutup seluruh utang Indonesia yang kini mencapai Rp8.300 triliun, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa pernyataan Mualem bukan angan-angan kosong. Ia adalah potret realisme yang tak diurus.
Masalahnya, hingga kini Aceh belum benar-benar memanfaatkan kekhususan yang dimilikinya. Sejak dana otonomi khusus bergulir tahun 2008, lebih dari Rp100 triliun sudah digelontorkan. Namun tingkat kemiskinan Aceh masih di kisaran 14 persen, tertinggi di Sumatera. Rasio ketergantungan fiskal terhadap pusat masih mencapai 80 persen. Dana besar tak menjelma menjadi industri, tak tumbuh menjadi teknologi, tak menjelma menjadi lapangan kerja.
Aceh seolah hidup di antara dua kenyataan, diberi kekayaan, tapi tak punya alat; diberi pisau, tapi tak tahu mengasahnya. Bahkan, sebagaimana gurauan yang pernah dilontarkan Prabowo kepada Mualem, “Jenggotmu makin panjang.” Sebuah ungkapan yang terkadang dianggap lelucon, namun di baliknya, menyimpan satire pahit. Bahwa bahkan pisau cukur pun masih harus diimpor, sementara emas, gas, dan minyak di bawah tanah tak mampu memotong rantai kemiskinan di atas tanah. Aceh hidup dalam paradoks, kaya tapi tak mandiri, istimewa tapi tergantung.
Antara Sejarah Kejayaan dan Jalan Menuju Kedaulatan
Filsafat Aceh sejak zaman Iskandar Muda sesungguhnya berakar pada kemandirian ekonomi. Dalam catatan sejarawan Anthony Reid dan Denys Lombard, Aceh abad ke-17 adalah kerajaan maritim yang kuat karena menguasai perdagangan rempah dan emas di Selat Malaka. Sultan bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga regulator ekonomi. Aceh kala itu memahami, bahwa kemerdekaan sejati lahir dari kemampuan mengelola sumber daya sendiri.
Kini, dalam tubuh Republik, semangat itu mulai redup. Kekhususan Aceh tak boleh hanya berarti bendera dan qanun, tetapi harus diterjemahkan dalam kemampuan mengolah kekayaan bumi dan lautnya. Industrialisasi adalah jalan yang tak bisa ditunda. Tanpa hilirisasi mineral, Aceh akan terus menjadi eksportir bijih mentah dan importir kemiskinan.
Aceh membutuhkan laboratorium riset mineral, pusat pelatihan tambang rakyat, dan kebijakan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang benar-benar berpihak kepada penambang lokal. Ini bukan sekadar proyek ekonomi, tapi gerakan peradaban agar rakyat menjadi subjek, bukan korban eksploitasi.
Filosofi Aceh mengajarkan keseimbangan antara adat dan akal, antara iman dan kerja. Dalam konteks hari ini, itu berarti menambang dengan ilmu, mengolah dengan teknologi, dan mendistribusikan hasilnya dengan keadilan.
Kemandirian bukanlah mitos. Ia adalah pilihan politik dan moral. Dan jika Aceh berani menempuhnya, maka ucapan Mualem di Beijing kelak tak lagi terdengar sebagai candaan, melainkan deklarasi bahwa Aceh telah bangun, dan emasnya tak lagi tidur di tubuh republik ini.
Penulis adalah Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Pertambangan Rakyat Indonesia (APPRI) Aceh, Ketua Yayasan Aceh Kreatif

Posting Komentar