Inilah RUU yang Ditarget DPR Bisa "Kelar" Sebelum Periode Berakhir
Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pembatalan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pada 2015 silam, berdampak pada ketiadaan payung hukum atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya air (SDA).
Untuk itu, Komisi V DPR bersama pemerintah yang diwakili Menteri PUPR telah membahas Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Sumber Daya Air sejak tahun 2018 lalu. Dalam beberapa hari ini Panitia Kerja (Panja) RUU SDA di Komisi V menggelar rapat maraton guna mengejar penyelesaian RUU yang merupakan iniatif DPR.
Anggota Panja RUU SDA Syarif Abdullah menyatakan optimis dapat merampungkan pembahasan RUU ini sebelum masa tugas meraka pada periode ini berakhir Oktober 2019. “Sekarang sudah masuk pada tahap perumusan UU, kita berharap sebelum selesai masa jabatan DPR periode ini, RUU SDA sudah dapat diundangkan,” ujar Syarif.
Terkait kendala selama penyusunan RUU SDA, Syarif mengakui masih adanya perbedaan pendapat mengenai masalah sustansi.
“Ada perbedaan yang berkaitan dengan masalah substansi, namun yang jelas bagi DPR dan pemerintah kita menyesuaikan dengan pasal 33 UUD 1045, dimana air nantinya benar-benar dapat mensejahterakan rakyat,” jelas Syarif.
Direktur Eksekutif APINDO Danang Giriwardana yang hadir dalam kesempatan itu menyatakan kekhawatirannya terhadap RUU SDA yang sedang di bahas di DPR. “Jika RUU SDA diundangkan berdasarkan target kerja DPR, saya justru khawatir ini tidak akan mengakomodasi persoalan kita, jangan sampai UU ini hanya berdasarkan target kerja, sementara substansinya tidak dibenar-benar dipertmbangkan,” kata Danang.
Menurut Danang, RUU SDA memunculkan pasal-pasal yang tidak ada kaitannya dengan putusan MK. “Pasal yang menyebutkan tentang industri harus menyerahkan 10% dari keuntungan untuk konservasi, MK tidak pernah mengamanatkan seperti itu. Justru yang harus menjadi concern adalah bagaimana mengukur kemampuan negara menyediakan kebutuhan public di semua sector, ” lanjutnya.
Senada dengan Panja, Staf Khusus Menteri PUPR Firdaus Ali juga optimis bahwa RUU SDA akan diundangkan dalam waktu dekat. “Kita harus optimis karena sudah menunggu lama. Kita sepakat dgn komisi V dan Panja, pembahasan DIM juga sudah selesai,” ujar Firdaus.
Lebih lanjut, ia mengatakan hal yang paling krusial adalah bagaimana menerjemahkan amar putusan MK dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat, termasuk swasta dan industri terkait pemanfaatan sumber daya air.
“Apa yang menjadi concern APINDO sudah diterima dan diakomodasi oleh DPR, termasuk pasal 47 yang menyebutkan tentang 10% keuntungan untuk konservasi, itu juga sudah tidak ada,” jelas Firdaus.
Keberadaan RUU tentang SDA mesti memperkuat kewenangan negara dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya air ini. Sebab, Pasal 33 UUD 1945 sudah secara jelas mengatur kewenangan penguasaan dan pengelolaan sumber daya air oleh negara. Peran negara menjadi vital dalam rangka penguasaan pengelolaan air dalam rangka memenuhi hajat orang banyak.
Terdapat 6 garis besar arah pengelolaan dan ruang lingkup RUU yangterdiri dari 15 bab dengan 78 pasal. Enam garis tersebut mengacu pada putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan kehadiran negara dalam pengelolaan sumber daya air demi kemakmuran rakyat.
Pertama, setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat. Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu hak asasi manusia. Ketiga, pengelolaan air harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Kelima, air merupakan salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Karena itu, merujuk Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, pengawasan dan pengendaliain air dilakukan dan menjadi wewenang mutlak negara.
Kelima, prioritas utama di dalam penguasaan atas air diberikan kepada BUMN atau BUMD. Keenam, apabila semua batasan tersebut telah terpenuhi, dan ternyata masih terdapat ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan dilakukan dengan ketat.
Foto: Soni/Bagus.co |
Untuk itu, Komisi V DPR bersama pemerintah yang diwakili Menteri PUPR telah membahas Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Sumber Daya Air sejak tahun 2018 lalu. Dalam beberapa hari ini Panitia Kerja (Panja) RUU SDA di Komisi V menggelar rapat maraton guna mengejar penyelesaian RUU yang merupakan iniatif DPR.
Anggota Panja RUU SDA Syarif Abdullah menyatakan optimis dapat merampungkan pembahasan RUU ini sebelum masa tugas meraka pada periode ini berakhir Oktober 2019. “Sekarang sudah masuk pada tahap perumusan UU, kita berharap sebelum selesai masa jabatan DPR periode ini, RUU SDA sudah dapat diundangkan,” ujar Syarif.
Terkait kendala selama penyusunan RUU SDA, Syarif mengakui masih adanya perbedaan pendapat mengenai masalah sustansi.
“Ada perbedaan yang berkaitan dengan masalah substansi, namun yang jelas bagi DPR dan pemerintah kita menyesuaikan dengan pasal 33 UUD 1045, dimana air nantinya benar-benar dapat mensejahterakan rakyat,” jelas Syarif.
Direktur Eksekutif APINDO Danang Giriwardana yang hadir dalam kesempatan itu menyatakan kekhawatirannya terhadap RUU SDA yang sedang di bahas di DPR. “Jika RUU SDA diundangkan berdasarkan target kerja DPR, saya justru khawatir ini tidak akan mengakomodasi persoalan kita, jangan sampai UU ini hanya berdasarkan target kerja, sementara substansinya tidak dibenar-benar dipertmbangkan,” kata Danang.
Menurut Danang, RUU SDA memunculkan pasal-pasal yang tidak ada kaitannya dengan putusan MK. “Pasal yang menyebutkan tentang industri harus menyerahkan 10% dari keuntungan untuk konservasi, MK tidak pernah mengamanatkan seperti itu. Justru yang harus menjadi concern adalah bagaimana mengukur kemampuan negara menyediakan kebutuhan public di semua sector, ” lanjutnya.
Senada dengan Panja, Staf Khusus Menteri PUPR Firdaus Ali juga optimis bahwa RUU SDA akan diundangkan dalam waktu dekat. “Kita harus optimis karena sudah menunggu lama. Kita sepakat dgn komisi V dan Panja, pembahasan DIM juga sudah selesai,” ujar Firdaus.
Lebih lanjut, ia mengatakan hal yang paling krusial adalah bagaimana menerjemahkan amar putusan MK dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat, termasuk swasta dan industri terkait pemanfaatan sumber daya air.
“Apa yang menjadi concern APINDO sudah diterima dan diakomodasi oleh DPR, termasuk pasal 47 yang menyebutkan tentang 10% keuntungan untuk konservasi, itu juga sudah tidak ada,” jelas Firdaus.
Keberadaan RUU tentang SDA mesti memperkuat kewenangan negara dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya air ini. Sebab, Pasal 33 UUD 1945 sudah secara jelas mengatur kewenangan penguasaan dan pengelolaan sumber daya air oleh negara. Peran negara menjadi vital dalam rangka penguasaan pengelolaan air dalam rangka memenuhi hajat orang banyak.
Terdapat 6 garis besar arah pengelolaan dan ruang lingkup RUU yangterdiri dari 15 bab dengan 78 pasal. Enam garis tersebut mengacu pada putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 yang mengamanatkan kehadiran negara dalam pengelolaan sumber daya air demi kemakmuran rakyat.
Pertama, setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat. Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu hak asasi manusia. Ketiga, pengelolaan air harus memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Kelima, air merupakan salah satu cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Karena itu, merujuk Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, pengawasan dan pengendaliain air dilakukan dan menjadi wewenang mutlak negara.
Kelima, prioritas utama di dalam penguasaan atas air diberikan kepada BUMN atau BUMD. Keenam, apabila semua batasan tersebut telah terpenuhi, dan ternyata masih terdapat ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan dilakukan dengan ketat.