Pemindahan Ibu Kota Tak Didukung Aspek Historis & Sosiologis
Pertimbangan pemindahan ibu kota tidak cuma dilihat dari aspek materil, tapi juga non-materil. Seperti historis, sosilogis, strategis dan teknis peralihan.
Ilustrasi desain Istana Kepresidenan di Ibu Kota Negara baru. FOTO: CAPTURE YOUTUBE |
Jalu Priambodo dari TIDI mengatakan pemindahan Ibu kota tidak hanya membawa dampak administratif dan insfratruktur fisik semata.
Karena itu, pertimbangan pemindahan ibu kota tidak cuma dilihat dari aspek materil, tapi juga non-materil. Seperti historis, sosilogis, strategis dan teknis peralihan.
"Sehingga TIDI melihat, TIDI perlu mendalami aspek-aspek ini semua” kata Jalu, Senin (21/6).
Komisioner KPID Jawa Barat ini menyampaikan bahwa dalam webinar seri pertama itu pembahasannya lebih menekankan pada aspek historis dan sosilogis.
Aspek ini dibedah oleh sejarawan J.J. Rizal, Peneliti dan Dosen Departemen Sosiologi UI Daisy Indira Yasmine, dan Guru Besar Sosiologi Universitas Ibnu Kholdun Prof. Musni Umar.
“Kami menghadirkan masing-masing pemateri bukan tanpa alasan. Kami menghadirkan J.J. Rizal karena memang beliau adalah sejarawan yang terkenal dan berpengaruh di Jakarta dan serkitarnya," sebutnya.
"Sama dengan Ibu Daisy dan Prof. Musni Umar sebagai akademisi sosiologi, kami ingin melihat karakteristik masyarakat Jakarta sebagai Ibu Kota Negara," sambung dia.
Jalu kemudian menyimpulkan inti dari kajian dua aspek tersebut. Baik dari sisi sejarah yang menyebutkan bahwa tidak pernah ada wacana dari Presiden Soekarno memindahkan Ibu Kota Negara.
Lalu, dari segi sosiologi, Ibu Kota Negara baru memerlukan pengelolaan sosial politik yang memadai.
“Kita bisa mendegar pada pemaparan J.J. Rizal yang mengatakan bahwa tidak pernah ada gagasan Soekarno memindahkan Ibu Kota dari Jakarta," ujar Jalu.
"Lalu, Ibu Daisy juga menjelaskan potensi konflik sosial yang akan terjadi bagi pendatang dan penduduk asli. Prof Musni juga menjelaskan pemindahan ini akan menghasilkan dinamika sosial politik yang begitu sulit," sambungnya.
Selain aspek sejarah dan sosiologis, dana pembangunan IKN ini juga disebut belum ada. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sudah buka-bukaan soal ini ketika rapat kerja bersama Komisi V DPR, Rabu (2/6) lalu.
Ia mengurai bahwa di dalam pagu indikatif anggaran Kementerian PUPR 2022 yang totalnya mencapai Rp 100,46 triliun, belum ada rencana kegiatan dan penganggaran untuk pembangunan ibu kota negara baru. Bahkan, belum ada pembahasan anggaran soal ibu kota baru di tingkat kabinet.
"Pagu indikatif 2022 ini sebenarnya ada catatan. Ini belum termasuk anggaran IKN, belum masuk anggaran food estate, belum masuk anggaran kawasan industri terpadu, itu catatan di SKB Kemenkeu dan Bappenas," ujar Basuki.
Padahal, pada akhir April lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani bilang sudah menyiapkan anggaran Rp 1,2 Triliun untuk groundbreaking yang tersebar di 4 kementerian yakni Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, Kementerian LHK, dan Kementerian ATR. (DE)