Pasal Penghinaan Presiden Digagas Lagi, Pakar: Tak Elok Buat Jokowi
Pakar komunikasi politik Lely Arrianie berpesan agar pasal penghinaan presiden dikaji ulang. Tidak elok jika membuat kesan seolah-olah Presiden Jokowi ingin berlindung dengan pasal itu.
Pakar Komunikasi Politik Lely Arrianie. FOTO: IG |
"Jokowi seharusnya tetap menjaga ruh komunikasinya pada rakyat yang memilihnya, maupun yang tidak memilihnya," kata Lely dalam keterangannya, Rabu (9/6).
Jebolan doktoral terbaik Universitas Padjadjaran Bandung ini berharap presiden ketujuh itu meninggalkan jejak kepemimpinan yang tidak keluar dari identitas politiknya. Yakni identitas presiden yang tidak menjaga jarak komunikasi politiknya, dengan menggagas peraturan yang seolah-olah Jokowi ingin tidak terusik di sisa jabatannya, sekitar 3 tahun lagi.
"Padahal Jokowi tidak terlalu penting merespon segala cacian, penghinaan dan makian itu. Toh rakyat tetap memilihnya," sambung Lely.
Apalagi, jika proses pembahasan perubahan UU dan pasal yang berkaitan dengan penghinaan itu membutuhkan waktu yang lama. "Toh akhirnya, bukankah Jokowi seolah menyiapkan karpet merah bagi penguasa sesudahnya agar tidak tersentuh kritik," selidiknya.
Lely berpandangan, derajat dan wibawa seorang pemimpin tidak akan runtuh dengan hinaan. Apalagi masih banyak peraturan dalam bentuk lain yang bisa menjerat warga yang melakukan penghinaan. Tidak hanya kepada presiden tapi juga kepada sesama warga negara biasa sekalipun
"So... Jokowi bisa menghentikan semua asumsi negatif berkaitan dengan pembahasan untuk perubahan uu yang notabene berpotensi memperkuat tudihan bahwa Jokowi ingin berlindung dibalik perubahan UU itu," harapnya.
Harusnya, sambung dia Jokowi menyelesaikan periode kedua ini dengan makin membuktikan kecintaannya pada rakyat, baik kepada yang mencintainya maupuj kepada yang membencinya.
"Dengan menginisiasi berbagai peraturan dan perundangan semacam ini malah menimbulkan persepsi dan kontroversi tentang kepemimpinan di era Jokowi," tutup Lely.
Seperti diketahui, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dalam BAB II TINDAK PIDANA TERHADAP MARTABAT PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN. Bagian Kedua Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, pasal 218 ayat 1 menyebutkan ancaman hukukan maksimal 3,5 tahun.
Bila penghinaan itu dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya diperberat menjadi 4,5 tahun penjara, senagaimana tercantum dalam pasal 219.
Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 sudah pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (*)