Homepage Widgets (ATF)

Homepage Widgets

Dana Karbon Rp 27 M Cair, AID Usul Perhutanan Sosial Diprioritaskan Jadi Penerima

Thaifa menilai kelompok Perhutanan Sosial sudah selayaknya mendapat porsi yang setara dengan Proklim sebagai penerima manfaat.

Lembaga Atjeh International Development (AID) mengusulkan agar skema alokasi dana karbon atau Result-Based Payment (RBP) FCPF disempurnakan. Mereka meminta agar rencana alokasi Aceh senilai USD 1,7 Juta (Rp 27 Miliar) juga mengalir kelompok Perhutanan Sosial (PS).

Thaifa Herizal

BANDA ACEH - Untuk diketahui, dana karbon ini diterima Aceh atas keberhasilan pengurangan emisi periode 2014-2016. Rencananya, dana akan diimplementasikan pada 2025-2026 dengan fokus utama pada Program Kampung Iklim (Proklim).

Direktur Eksekutif AID, Thaifa Herizal, mengapresiasi capaian seluruh elemen di Aceh sehingga dana RBP FCPF ini berhasil diterima. Namun, ia mengingatkan bahwa keberhasilan Aceh menekan laju emisi juga tidak lepas dari peran nyata masyarakat pengelola skema Perhutanan Sosial di kawasan hutan.

Oleh karena itu, Thaifa menilai kelompok PS sudah selayaknya mendapat porsi yang setara dengan Proklim sebagai penerima manfaat.

"Mereka adalah subjek penting yang secara langsung menjaga tutupan hutan dan mencegah deforestasi," ujar Thaifa Herizal dalam keterangannya, Senin (3/11).

"Sudah sepatutnya mereka diprioritaskan untuk menerima porsi alokasi dari dana RBP sebagai bentuk keadilan iklim dan insentif atas jasa lingkungan yang mereka berikan," lanjutnya.

AID menilai, jika alokasi dana hanya berfokus pada Proklim dan penanganan kebakaran hutan (karhutla), insentif untuk pengelola Perhutanan Sosial dikhawatirkan akan terabaikan.

Padahal, Thaifa menekankan, mereka berada di garis depan dalam upaya pencegahan deforestasi. Menurutnya, skema PS seperti Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), hingga Hutan Adat (HA) adalah fondasi mitigasi iklim yang berbasis masyarakat.

"Perhutanan Sosial bukan hanya isu reforma agraria, tetapi juga instrumen REDD+ paling efektif di tingkat tapak," jelas Thaifa.

Ia memaparkan bahwa masyarakat PS mengelola kawasan hutan berdasarkan SK legal, membatasi akses ilegal, serta mengembangkan ekonomi hijau.

"Mereka secara sistematis berkontribusi pada penurunan emisi yang diverifikasi oleh dunia," tegasnya.

Untuk itu, AID mengusulkan agar dana RBP dialokasikan minimal 30 hingga 40 persen guna memperkuat program Perhutanan Sosial.

Alokasi itu direkomendasikan untuk beberapa program di level tapak. Misalnya, untuk modal usaha dan infrastruktur pengembangan komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) seperti nilam, kopi, madu, serta pengembangan ekowisata.

Dukungan itu juga mencakup penguatan kapasitas manajerial kelembagaan hingga insentif langsung bagi kelompok yang terbukti sukses menjaga tutupan hutan.

"Alokasi dana RBP untuk Perhutanan Sosial, Pemerintah Aceh secara langsung memperkuat kapasitas masyarakat untuk menjaga pengurangan emisi di masa depan," tambahnya.

AID pun mendorong Pemerintah Aceh segera menyusun Pedoman Teknis Pembagian Manfaat (Benefit Sharing Mechanism/BSM) yang transparan dan partisipatif.

Proses penyusunan BSM itu diharapkan melibatkan para pihak non-pemerintah, akademisi, dan perwakilan kelompok PS, baik dalam perencanaan maupun pengawasan.

Thaifa berharap alokasi dana tersebut tidak hanya terpusat pada birokrasi. Ia ingin memastikan dana USD 1,7 Juta ini menjadi investasi berkelanjutan, bukan sekadar dana operasional jangka pendek.

"Kesejahteraan masyarakat PS adalah jaminan kelestarian hutan Aceh, oleh karena itu alokasi langsung ke tingkat tapak menjadi suatu pilihan tepat," tutup Thaifa.