Syariat di Ujung Jari: Menjaga Marwah Aceh dalam Ruang Publik Digital
Aceh merupakan wilayah yang istimewa dan patut dibanggakan di Indonesia. Di antara provinsi lain, Aceh memiliki kekhususan dalam menerapkan syariat Islam secara formal melalui qanun dan lembaga keislaman yang terstruktur kuat.
![]() |
| Farhan Nurhadi, S.Pd., M.Ag |
IDENTITAS ini bukan sekadar simbol, melainkan wujud nyata dari sejarah panjang perjuangan Aceh yang menempatkan Islam sebagai dasar kehidupan sosial dan politik. Keistimewaan ini menegaskan bahwa Aceh bukan hanya bagian integral dari Indonesia, tetapi juga pewaris peradaban Islam di Nusantara, sebuah daerah yang bertekad menjaga warisan keislaman di tengah tantangan modernitas.
Namun, keunikan ini kini tengah diuji oleh derasnya arus globalisasi dan teknologi digital. Dunia maya telah menjelma menjadi wadah utama kehidupan sosial masyarakat Aceh: tempat berdakwah, berdebat, mencari hiburan, bahkan membentuk opini publik. Di satu sisi, ruang digital membuka peluang besar bagi dakwah dan penguatan nilai-nilai Islam. Tetapi di sisi lain, ruang yang seharusnya memperluas ukhuwah Islamiyah itu justru sering berubah menjadi gelanggang ujaran kebencian, candaan berlebihan, dan caci maki.
Fenomena yang sering disebut "teumeunak di medsos" (memaki di media sosial) yang sempat mencuat dalam pemberitaan lokal menggambarkan gejala sosial serius; akhlak masyarakat seolah diuji di ruang maya. Banyak yang merasa bebas berbicara tanpa kendali, seolah-olah syariat hanya berlaku di masjid dan kantor, padahal nilai-nilai Islam seharusnya membimbing seluruh perilaku manusia, termasuk yang dilakukan dengan jari di layar ponsel.
Dalam pandangan Siyasah Syar’iyyah (politik berdasarkan syariat), perilaku masyarakat di dunia maya termasuk dalam wilayah maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum) yang wajib dijaga oleh pemerintah. Syariat Islam tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga membimbing interaksi sosial, termasuk bagaimana masyarakat mengekspresikan diri di ruang publik digital.
Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menjadi pedoman abadi bagi etika komunikasi umat Islam. Dalam konteks digital, setiap unggahan, komentar, dan status mencerminkan kualitas iman dan karakter seseorang. Kata-kata yang ditulis di media sosial memiliki konsekuensi moral sebagaimana ucapan lisan di dunia nyata. Dengan demikian, menjaga akhlak digital berarti menjaga kehormatan pribadi dan marwah masyarakat Islam secara kolektif.
Siyasah Syar’iyyah sebagai Landasan Etika Digital
Dalam kerangka Siyasah Syar’iyyah, pemerintahan Islam tidak hanya berperan sebagai pengelola urusan administratif, tetapi juga penjaga moral sosial. Tugas kekuasaan mencakup dua hal utama: himayah ad-din wa siyasah ad-dunya (menjaga agama dan menata kehidupan dunia). Oleh karena itu, pembinaan etika digital termasuk bagian dari amanah kekuasaan. Ini bukan urusan sepele, melainkan strategi siyasah yang menentukan arah peradaban.
Pemerintah Aceh telah memiliki dasar hukum syariat yang kuat melalui Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam dalam bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Namun, ruh qanun ini belum sepenuhnya hadir di ruang digital. Banyak akun anonim yang menyerang pemerintah, menghina ulama, dan memecah belah masyarakat dengan narasi provokatif. Padahal Islam menegaskan dalam Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka yang diperolok lebih baik daripada mereka.” (QS. Al-Hujurat: 11).
Ayat ini mengandung prinsip dasar komunikasi Islam: hormat, adil, dan santun. Pemerintah Aceh dapat menjadikannya sebagai pijakan dalam membentuk Pedoman Etika Digital Berbasis Syariat, yang berfungsi bukan untuk membatasi kebebasan berpendapat, melainkan untuk menata agar kebebasan itu selaras dengan nilai keadaban. Inilah hakikat Siyasah Syar’iyyah: kebijakan yang berpihak pada kemaslahatan dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai wahyu.
Literasi digital dalam pandangan fikih modern tidak hanya berarti kemampuan teknis menggunakan teknologi, tetapi juga kesadaran etik—kemampuan membedakan antara yang hak dan yang batil dalam informasi. Jika tidak disertai moral, teknologi justru dapat menjadi alat perpecahan dan fitnah.
Etika digital juga berhubungan erat dengan maqasid syariah (tujuan syariat), terutama hifz al-‘ird (menjaga kehormatan) dan hifz al-‘aql (menjaga akal). Ujaran kebencian, hoaks, dan fitnah bukan hanya merusak nama baik seseorang, tetapi juga mencemari akal sehat publik. Menjaga kebersihan ruang digital dari fitnah dan kebohongan berarti menegakkan maqasid syariah dalam bentuknya yang paling modern—menjaga masyarakat agar tetap beradab dan rasional.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang diridhai Allah tanpa ia sadari, Allah mengangkat derajatnya; dan seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang dimurkai Allah tanpa ia sadari, Allah menjerumuskannya ke neraka.” (HR. Bukhari).
Hadis ini menjadi pengingat bahwa setiap kata, termasuk yang ditulis di media sosial, bernilai di sisi Allah. Oleh karena itu, pejabat publik, tokoh masyarakat, dan warga Aceh hendaknya berhati-hati dalam menggunakan bahasa digital. Dari lisan—atau tulisan—mereka, lahir citra umat dan pemerintah.
Menjaga Marwah Aceh di Dunia Maya
Aceh memiliki modal sosial dan spiritual yang sangat kuat untuk menjadi teladan dalam tata kelola etika digital Islami. Budaya peumulia jamee (memuliakan tamu), ta’zim (hormat) kepada ulama, dan prinsip adat bak po teumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala (adat bersumber dari raja, hukum bersumber dari ulama) adalah nilai luhur yang menuntun masyarakat Aceh sejak masa Kesultanan. Nilai-nilai ini semestinya tidak hanya hidup di meunasah dan balai gampong (desa), tetapi juga di ruang virtual.
Dalam sejarahnya, Sultan Iskandar Muda tidak hanya membangun kekuasaan politik, tetapi juga menata moral publik melalui hukum yang berkeadilan. Spirit itulah yang harus dihidupkan kembali di era digital. Pemerintah Aceh hari ini memikul tanggung jawab moral dan historis untuk menjaga marwah syariat di ruang komunikasi modern.
Jika ruang digital dibiarkan tanpa kendali etika, maka yang muncul bukan lagi kritik yang membangun, melainkan caci maki yang menghancurkan ukhuwah. Namun, bila pemerintah, ulama, dan masyarakat dapat bersinergi, maka media sosial dapat bertransformasi menjadi sarana dakwah dan transformasi moral yang efektif. Siyasah yang baik bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga membimbing akhlak rakyat menuju kemaslahatan bersama.
Etika digital adalah wajah baru dari tanggung jawab Siyasah Syar’iyyah. Ia menuntut kebijakan yang cerdas, keteladanan yang nyata, dan semangat dakwah yang menyentuh hati. Pemerintah Aceh harus hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai penuntun moral di tengah kebingungan masyarakat modern.
Jika nilai-nilai Islam dapat menembus ruang digital, maka Serambi Mekkah tidak hanya hidup di dunia nyata, tetapi juga bersinar di dunia maya. Syariat tidak lagi berhenti pada simbol dan aturan, tetapi menjelma menjadi akhlak dan kesadaran kolektif masyarakat Aceh.
Siyasah Syar’iyyah menuntun bahwa kekuasaan sejati adalah kekuasaan yang menebarkan maslahat. Di era media sosial, maslahat itu hadir dalam bentuk kedamaian komunikasi dan kesantunan publik. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh memiliki tanggung jawab moral untuk menata etika digital sebagai bagian dari pelaksanaan syariat secara kaffah (menyeluruh).
Aceh telah memiliki segala perangkat hukum: qanun, lembaga ulama, dan aparat yang kuat. Namun, sebagaimana diingatkan para fuqaha, hukum tidak akan hidup tanpa ruh keadaban dan keteladanan. Ulama perlu membimbing, pemerintah perlu mencontohkan, dan masyarakat perlu menyadari bahwa syariat adalah rahmat yang menuntun setiap aspek kehidupan, termasuk ketika kita menulis satu kalimat di media sosial.
Dengan menata ruang digital secara Islami, Aceh dapat menunjukkan kepada dunia bahwa penerapan syariat bukanlah artefak masa lalu, melainkan masa depan, sebuah sistem nilai yang mampu beradaptasi, mendidik, dan membawa kedamaian di tengah dunia yang semakin bising.
Oleh: Farhan Nurhadi, S.Pd., M.Ag. Pengkaji Siyasah Syar’iyyah dan Kebijakan Publik

Posting Komentar