Apkasindo Aceh Maklumi Jokowi Larang Ekspor Migor & CPO, Tapi...
Pidato Presiden Jokowi tentang larangan ekspor minyak goreng sawit (MGS) dan bahan baku MGS cukup mengejutkan banyak pihak. Namun tidak demikian dengan APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia).
Fadhli Ali
BANDA ACEH - Sekretaris Apkasindo Aceh menilai wajar jika Presiden Jokowi mengambil kebijakan tersebut. Sebab urusan MGS tidak kunjung tuntas, padahal sudah 4 bulan berlalu.
"Ini menjadi tanggungjawab Kementerian Perdagangan seharusnya," kata Fadli dalam keterangannya, Sabtu (23/3).
Akibat dari polemik MGS ini, sawit m menjadi terkesan dipersalahkan oleh banyak pihak. Padahal dunia mengakui bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang paling cepat pulih ekonominya sebagai dampak pandemi Covid-19, karena disebabkan industri sawit yang terus mengalami trend positif dan dampak multi efek player lainnnya.
Memang ada beberapa eksportir yang mencoba-coba melanggar aturan yang sudah diterbitkan pemerintah, namun ia berharap tidak langsung menyamaratakan semuanya.
"Harus diakuin, bahwa stop ekspor MGS dan bahan bakunya sangat beresiko secara keseluruhan, karena 16 juta petani sawit dan pekerja sawit menggantungkan hidupnya diperkebunan sawit rakyat 42 persen perkebunan sawit Indonesia dikelola oleh pekebun," tuturnya.
Selanjutnya, penerimaan negara melalui BK atau bea keluar juga beresiko anjlok. BPDPKS atau Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit melalui perannya sebagai operator pelaksana Pungutan Eksport (PE) juga berpotensi tekor.
Dan yang paling beresiko lagi, sebutnya adalah petani sawit akan mentelantarkan kebunnya karena anjloknya harga TBS di tengah naiknya HPP yang mencapai 100 persen.
"Kebun sawit kami adalah harapan ekonomi rumah tangga yang sifatnya harian, jika terganggu tentu kami petani sawit akan menjadi beban negara karena kami akan mendaftar ke program keluarga harapan (PKH). Tentu hal ini cukup berat bagi kami petani sawit," ingatnya.
Sesungguhnya, dampak dari stop eksport ini adalah petani sawit yang pertama merasakannya. Karena faktanya, setelah pidato Presiden Jokowi hari Jumat (22/4), satu jam kemudian harga tandan buah sawit (TBS) langsung terkoreksi Rp100-200/kg dan terjadi hampir merata di 22 Provinsi sawit APKASINDO.
"Ini memang sangat berat karena disaat yang bersamaan harga pupuk, pestisida dan herbisida sangat bergairah naik terus, yang saat ini kenaikannya sudah mencapai 200 persen," ungkapnya.
Ia mencontohkan pupuk NPK sudah diangka Rp 980 ribu/zak, daeu sebelumnya hanya dikisaran Rp 340 ribu/zak (50kg).
Apalagi Menteri Keuangan melalui Peratuan PMK Nomor 23/PMK.05/2022 baru-baru ini sudah menaikkan Tarif PE CPO dari 155 dolar AS/ton, naik menjadi 375 dolar AS/ton dan Bea Keluar (BK) menjadi 200 dolar AS/ton. Sehingga totalnya menjadi 575 dolar AS/ton atau Rp 8.350.000.
"Akibat kenaikan PE ini, harga TBS kami terbebani hampir Rp1.000/kg," ujarnya.
Menurutnya, masyarakat harus mengetahui bahwa subsidi MGS Curah dan Biodisel (B30) diambil dari dana PE, bukan APBN. Dengan kata lain adalah uang sumbangan petani sawit yang dikelola oleh BPDPKS.
"Semua kenaikan ini sangat memberatkan kami petani sawit, tapi kami berusaha untuk kuat dan bertahan, hingga sebelum Pak Presiden mengumumkan kebijakan stop eksport tersebut," kata Fadhli.
"Jika memang tujuan Presiden untuk membanjiri MGS dalam negeri, maka kami Petani sawit berharap dengan segala hormat kepada Bapak Presiden supaya kebijakan tersebut jangan terlampau berlama-lama," harapnya.
Harapan ini juga tersampaikan dalam diskusi dengan Saudara-Saudari kami sesama petani sawit di 22 Provinsi APKASINDO melalui Whatshapp Group. Ia berharao, kebijakan stop ekspor tersebut segera dievaluasi setelah tujuannya tercapai.
Ia mengajak semua stakeholder sawit menjadikan kisruh MGS ini menjadi pelajaran berharga, bahwa sikap nasionalis harus menjadi nomor satu dan utama.
"Kami yakin dan percaya dengan kebijakan Presiden Jokowi untuk kebaikan kedepannya dalam tata kelola industri sawit yang merupakan tumpuan ekonomi negeri ini," pungkasnya.
"Ini menjadi tanggungjawab Kementerian Perdagangan seharusnya," kata Fadli dalam keterangannya, Sabtu (23/3).
Akibat dari polemik MGS ini, sawit m menjadi terkesan dipersalahkan oleh banyak pihak. Padahal dunia mengakui bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang paling cepat pulih ekonominya sebagai dampak pandemi Covid-19, karena disebabkan industri sawit yang terus mengalami trend positif dan dampak multi efek player lainnnya.
Memang ada beberapa eksportir yang mencoba-coba melanggar aturan yang sudah diterbitkan pemerintah, namun ia berharap tidak langsung menyamaratakan semuanya.
"Harus diakuin, bahwa stop ekspor MGS dan bahan bakunya sangat beresiko secara keseluruhan, karena 16 juta petani sawit dan pekerja sawit menggantungkan hidupnya diperkebunan sawit rakyat 42 persen perkebunan sawit Indonesia dikelola oleh pekebun," tuturnya.
Selanjutnya, penerimaan negara melalui BK atau bea keluar juga beresiko anjlok. BPDPKS atau Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit melalui perannya sebagai operator pelaksana Pungutan Eksport (PE) juga berpotensi tekor.
Dan yang paling beresiko lagi, sebutnya adalah petani sawit akan mentelantarkan kebunnya karena anjloknya harga TBS di tengah naiknya HPP yang mencapai 100 persen.
"Kebun sawit kami adalah harapan ekonomi rumah tangga yang sifatnya harian, jika terganggu tentu kami petani sawit akan menjadi beban negara karena kami akan mendaftar ke program keluarga harapan (PKH). Tentu hal ini cukup berat bagi kami petani sawit," ingatnya.
Sesungguhnya, dampak dari stop eksport ini adalah petani sawit yang pertama merasakannya. Karena faktanya, setelah pidato Presiden Jokowi hari Jumat (22/4), satu jam kemudian harga tandan buah sawit (TBS) langsung terkoreksi Rp100-200/kg dan terjadi hampir merata di 22 Provinsi sawit APKASINDO.
"Ini memang sangat berat karena disaat yang bersamaan harga pupuk, pestisida dan herbisida sangat bergairah naik terus, yang saat ini kenaikannya sudah mencapai 200 persen," ungkapnya.
Ia mencontohkan pupuk NPK sudah diangka Rp 980 ribu/zak, daeu sebelumnya hanya dikisaran Rp 340 ribu/zak (50kg).
Apalagi Menteri Keuangan melalui Peratuan PMK Nomor 23/PMK.05/2022 baru-baru ini sudah menaikkan Tarif PE CPO dari 155 dolar AS/ton, naik menjadi 375 dolar AS/ton dan Bea Keluar (BK) menjadi 200 dolar AS/ton. Sehingga totalnya menjadi 575 dolar AS/ton atau Rp 8.350.000.
"Akibat kenaikan PE ini, harga TBS kami terbebani hampir Rp1.000/kg," ujarnya.
Menurutnya, masyarakat harus mengetahui bahwa subsidi MGS Curah dan Biodisel (B30) diambil dari dana PE, bukan APBN. Dengan kata lain adalah uang sumbangan petani sawit yang dikelola oleh BPDPKS.
"Semua kenaikan ini sangat memberatkan kami petani sawit, tapi kami berusaha untuk kuat dan bertahan, hingga sebelum Pak Presiden mengumumkan kebijakan stop eksport tersebut," kata Fadhli.
"Jika memang tujuan Presiden untuk membanjiri MGS dalam negeri, maka kami Petani sawit berharap dengan segala hormat kepada Bapak Presiden supaya kebijakan tersebut jangan terlampau berlama-lama," harapnya.
Harapan ini juga tersampaikan dalam diskusi dengan Saudara-Saudari kami sesama petani sawit di 22 Provinsi APKASINDO melalui Whatshapp Group. Ia berharao, kebijakan stop ekspor tersebut segera dievaluasi setelah tujuannya tercapai.
Ia mengajak semua stakeholder sawit menjadikan kisruh MGS ini menjadi pelajaran berharga, bahwa sikap nasionalis harus menjadi nomor satu dan utama.
"Kami yakin dan percaya dengan kebijakan Presiden Jokowi untuk kebaikan kedepannya dalam tata kelola industri sawit yang merupakan tumpuan ekonomi negeri ini," pungkasnya.