Karena Bahagia Itu Adalah
Jakarta malam ini terasa dingin tidak hanya karena hujan, namun juga karena AC di dalam kotak putih roda empat yang ku kendarai semakin membuat rasa dingin ini menusuk ke tulang. Tetapi, dingin ini rasanya tak berarti padaku. Sebab perasaan ku sendiri sudah membeku bahkan mengeras, udara dingin ini tak terasa di tubuhku.
Aku masih bermurung hati mengingat kejadian siang tadi di kantor. Bagaimana tidak, kebahagiaan ku begitu saja dirampas, bisa dibilang dihentikan begitu saja tanpa isyarat sekalipun. Ya, kehidupanku yang biasanya diisi dengan kesibukan pekerjaan di kantor, mulai siang tadi harus terhenti, karena satu dua hal masalah perusahaan, salah satunya masalah keuangan. Alhasil, jadilah aku satu dari mereka yang dirumahkan. Dirumahkan loh ya bukan PHK, kata atasanku.
Terus terang, sedari siang sampai malam ini, bahkan entah sampai kapan mungkin perasaan ku akan tetap membeku, mengeras layaknya batu. Aku adalah seorang perantau dari jutaan perantau lainnya, yang mencoba peruntungan di ibukota. Bagaimana aku melanjutkan kehidupan kalau sumber pendapatan ku saja di hentikan. Lantas bagaimana dengan kehidupan ku selanjutnya?
Katanya, perantau itu harus kuat, tahan banting dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun jika boleh jujur, atau sekalipun aku berbohong kamu pasti sudah tahu bagaimana perasaan ku saat ini. Ya, keputusan kantor itu membuat perasaan ku hancur dan seketika menangis sejadi-jadinya.
Tidak bolehkah aku sedikit lebih lama merasakan kebahagiaan dengan pekerjaan yang sudah membuat ku jatuh hati padanya, Rabb? Ah, rasanya Allah tak adil padaku. Allah sengaja mengambil, menghentikan kebahagiaan ku dari kehidupan kemarin yang sudah lebih baik.
Malam ini kuhabiskan waktu ditepi danau yang masih berdekatan dengan kantor. Danau ini menjadi tempat favorite ku kala perasaan senang atau pun sedang hancur seperti saat ini. Tidak begitu besar memang, namun gelombang air yang tenang karena hembusan angin, menciptakan pemandangan yang sejuk di mata. Sepanjang pinggiran danau ini berupa tanah dan kerikil, sepanjang pinggiran itu pula para pecinta pancing memancing menghabiskan waktu menunggu mata kailnya tersambar satu dua ekor ikan.
Dalam benakku, timbul satu pertanyaan, 'apa yang menarik dari memancing?'. Buatku, memancing itu kegiatan yang membosankan, karena hanya menunggu dan menunggu. Bergerak jika mata kail digigit ikan dan melempar umpan. Apa yang menarik dari itu semua?
Berbeda sekian derajat dari perkiraan ku, ada raut bahagia terlihat di wajah mereka yang memancing, sekalipun pulang nanti tak ada ikan yang berhasil di tangkap. Namun, mereka tetap terlihat bahagia. Adakah ini hanya perkiraan ku saja? Ah, tapi rasanya tidak, wajah para pemancing itu memanglah terlihat bahagia, semakin bahagia rasanya dengan beberapa ekor ikan di tangan. Lain dengan wajah ku saat ini, sungguh tak enak dipandang.
Lama kupandangi mereka yang memancing, menikmati suasana danau, dan membiarkan pikiran ku pergi menjelajahi lembar demi lembar masa lalu ku. Seketika pertanyaan kecil kembali menyapa, apakah kebahagiaan ku sudah benar-benar hilang hanya karena masalah ini? Apakah kehidupan ku seketika akan terhenti hanya karena pekerjaan yang berhenti ditengah jalan? Apakah pekerjaan itu menjadi satu-satunya rencana Allah dalam kehidupanku?
Masih banyak pertanyaan-pertanyaan menghantui pikiranku, seakan membangunkan ku dari lamunan meratapi nasib. Ah, nasibku tak seburuk apa yang aku bayangi, lebih tepatnya aku takuti. Semua kesedihan ini hanya karena pikiran ku saja yang sedang berkecamuk. Padahal, ada banyak masalah-masalah lainnya yang nyatanya aku bisa melewatinya. Lantas mengapa aku harus bersedih dan bersusah hati, bahkan merasa kebahagiaan ku seketika hilang begitu saja?
Kata orang bahagia itu tak selalu dengan hal-hal mahal, tidak selalu dengan acara-acara mewah atau pergi keliling dunia. Tapi, ada juga sebagian orang yang berasumsi bahwa kebahagiaan itu bisa kita miliki jika di dukung dengan kemampuan finansial yang cukup mumpuni.
Kata orang juga, masing-masing orang itu punya cara tersendiri untuk menciptakan kebahagiaannya. Karena masing-masing manusia, memiliki hati dan pikiran serta kepribadian yang berbeda. Jadilah, cara memandang fase demi fase dalam kehidupan juga berbeda.
Umumnya saat melihat kehidupan orang lain, kita selalu merasa mereka begitu beruntung karena memiliki kehidupan yang lebih baik dari kita. Begitu juga yang terjadi dengan ku saat ini, aku merasa mereka yang masih memiliki pekerjaan itu beruntung dan pasti bahagia. Apalagi mereka yang memiliki jabatan tinggi atau mereka yang mempunyai usaha sendiri. Ah beruntung sekali mereka, pikirku.
Namun, melihat tawa dan raut bahagia para pemancing di pinggiran danau ini seakan menyadarkanku, bahagia tak selalu dengan pekerjaan berkelas, atau usaha yang berkembang pesat. Tapi dengan menunggu mata kail dimakan ikan sembari ngobrol ngalur ngidul dengan sesama pemancing lainnya, bisa jadi hal yang membahagiakan.
Aku teringat perkataan seorang teman, 'bahagia itu urusan hati, sekalipun kau dikasih uang sebanyak air di danau ini, jika hati mu tak bahagia, maka sampai kapan pun kau tak merasa bahagia. Begitu juga dengan orang yang hidup dengan keuangan yang kurang, tapi jika hati mereka bahagia dengan kehidupannya, maka ia bisa jadi lebih bahagia dari mereka yang punya banyak uang.'
Benar juga apa yang teman itu bilang, pikirku. Hati adalah kunci dari pintu kebahagiaan itu. Sebab, tak jarang orang yang merasa bersedih hati dan merasa hidupnya tak bahagia sekalipun untuk urusan materi ia tak berkekurangan. Sementara, tak sedikit saudara kita hidup dengan keuangan yang bisa dibilang minus, tapi selalu menunjukkan sikap dan wajah yang bahagia. Seperti tak ada pikiran dan masalah terlihat di pikiran mereka.
Renungan ku di tepi danau malam ini membuahkan hasil pemikiran yang selama ini aku lupakan, hidup bukan sekedar apa yang kita hasilkan, tapi bagaimana proses kita untuk menghasilkan sesuatu. Inilah yang aku lupakan. Aku seakan lupa dengan dasar kehidupan ini yang merupakan sebuah proses. Yang namanya proses tak mungkin selalu berjalan mulus, begitu juga hidup tak mungkin selalu berbahagia. Kita akan selalu merasa kehidupan ini begitu susah, dan tak pernah bahagia. Kita selalu menyalahkan takdir Allah, menganggap Allah pilih kasih. Bisa jadi semua yang Allah berikan tak berarti apapun karena selalu menyalahkan rencana-Nya, padahal itu sebenarnya termasuk kebahagiaan kita jika kita jeli. Mengapa demikian? Aku rasa itu semua karena ada ketidak ikhlasan di hati kita dalam menjalani kehidupan ini.
Seperti apa yang dikatakan teman ku di atas, bahagia itu soal hati. Jika hati kita tak ikhlas menjalani tiap-tiap ujian dari-Nya, maka bersusah hatilah kita sepanjang hidup.
Sahabat,,
Bahagia itu bukan soal materi, jabatan tinggi, ataupun pekerjaan yang menjanjikan, tetapi pekerjaan itu soal hati, ikhlas atau tidak kita menjalani kehidupan dengan segala macam ujian di dalamnya. Jika kita selalu menyiapkan diri untuk bahagia, jangan lupa siapkan diri juga untuk sebuah kesedihan. Karena bahagia itu adalah hati yang ikhlas. Sudah ikhlaskah kita?
By : Chairunnisa Dhiee