Mempertanyakan Retorika Komitmen Hukum Jokowi
Memasuki tahun ketiga pemerintahan Jokowi, tampaknya menjadi tahun yang semakin berat untuk dihadapi dan disikapi dengan berbagai macam komitmen dan paket kebijakan. Tahun ketiga pemerintahan Jokowi belum menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang memenuhi ekspektasi atau harapan rakyat, bahkan belum mampu memenuhi ekspektasi Presiden Jokowi sendiri.
Meski terlihat sibuk blusukan dan melakukan lawatan keluar negeri, namun tidak menghasilkan apa-apa yang signifikan. Maaf, ini penilaian saya pribadi yang mungkin mewakili penilaian banyak pihak atau bahkan mayoritas.
Pendukung Jokowi tidak perlu sewot membaca tulisan ini karena saya juga tahu kalian memberikan opini yang besar ditengah publik tentang kesuksesan Presiden Jokowi. Maaf sekali lagi, bagi saya itu kesuksesan semu yang lahir dari sebuah rekayasa citra yang tidak lucu.
Tahun ketiga ini juga tampaknya sudah terlalu lama bagi pihak-pihak lingkaran Presiden untuk segera meraup dan menjala keuntungan bermodal kekuasaan. Usaha tanpa modal dan keahlian, cukup hanya bermodal kekuasaan yang memang menggiurkan dan sangat menjanjikan.
Justru itulah penyebab utama mengapa banyak orang berlomba-lomba untuk memiliki kekuasaan karena disana ada keuntungan yang menjanjikan kemewahan. Hal inilah yang tampaknya mendasari seorang bernama Arif Budi Sulistyo untuk ikut serta menjadi mediator sebuah kasus pajak yang diusut oleh KPK dan sekarang disidangkan pengadilan tipikor. Arif Budi Sulistyo entah kebetulan atau tidak, adalah adik ipar Presiden Jokowi.
Sayapun menjadi tidak heran mengapa target Tax Amnesty dan target penerimaan pajak oleh Kementerian Keuangan tidak tercapai sesuai target. Jika satu kasus saja nilai pajak yang hilang puluhan milyar, bayangkan bila itu terjadi kepada ratusan kasus, atau ribuan kasus, apa yang terjadi? Presiden sepertinya sudah mulai tidak mampu bahkan untuk menjaga keluarganya dari perilaku buruk berbau korupsi.
Meski sekarang Arif Budi Sulistyo dan siapapun mencoba membersihkan namanya dari kasus pajak tersebut, publik tentu bisa mengikuti dan menilai keterlibatan Arif dalam kasus tersebut. Pertanyaannya, mungkinkan Arif Budi Sulistyo bisa bertemu Dirjen Pajak dan meminta tolong penyelesaian kasus pajak Ramapanicker Rajamohanan Nair, Country Direktur PT Eka Prima Ekspor Indonesia (EKP) andai Arif bukan adik ipar Presiden Jokowi?
Mungkinkah Dirjen Pajak akan memenuhi permintaan tersebut andai Arif bukan adik ipar Jokowi? Mungkinkah urusan yang penuh resiko itu akan dilakukan tanpa imbalan jasa? Tiga pertanyaan tersebut sudah bisa menjadi dasar pengembangan penyidikan dan menyimpulkan keterlibatan Arif.
Selain masalah Arif yang adik ipar Presiden Jokowi, masih ada kasus lain yaitu sahabat dan teman Presiden Jokowi yaitu Basuki Tjahaja Purnama. Kasus RS Sumber Waras di KPK yang sekarang menjadi batu dan tenggelam didasar jurang gelap KPK menjadi pertanyaan besar terhadap komitmen penegakan hukum Presiden Jokowi.
Meski BPK menyatakan adanya kerugian negara, namun KPK tidak bergeming, tidak ada niat, itulah pembelaan KPK terhadap Basuki. Parahnya tidak ada pernyataan yang keluar dari Presiden menanggapi kasus tersebut. Padahal Basuki telah mendegradasi dan mepermalukan lembaga negara bernama BPK dengan menyebutnya ngaco. Apakah Presiden akan membiarkan terduga koruptor melecehkan lembaga negara?
Dua kasus tersebut menjadi tolok ukur ketiadaan komitmen Jokowi terhadap penegakan hukum. Presiden Jokowi galak menghadapi pungli puluhan ribu, tapi bersikap bisu dan kelu lidah menghadapi kasus ratusan milyar dan puluhan milyar. Beda sikap dengan kasus EKTP, Presiden sedikit bersuara karena yang diuntungkan secara politik dari kasus EKTP adalah Jokowi sendiri. Makin banyak sandera politik dari elit yang bisa dijadikan bergaining kedepan.
Dengan peristiwa diatas, saya harus menyatakan bahwa Presiden Jokowi tidak punya komitmen penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Saber pungli hanya lelucon untuk menghibur dan membuat publik tertawa. Lelucon yang menutupi kegalauan bangsa besar ini.
Pak Presiden, sampai kapan retorika ini berlangsung?
Penulis : Ferdinand Hutahaean, Founder Rumah Amanah Rakyat