Besok, Pekerja Media dan Industri Kreatif Turun ke Jalan
Sejak diperkenalkan pada 2007 oleh Kementerian Perdagangan, ekonomi kreatif semakin digadang-gadang sebagai garda depan perekonomian Indonesia. Hal ini dilegitimasi dengan pembentukan badan khusus, BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif Indonesia), yang dimandatkan untuk mengelola ekonomi kreatif. Adapun yang diakui sebagai subsektor ekonomi kreatif menurut BEKRAF adalah aplikasi dan pengembangan game; arsitektur; desain komunikasi visual; desain produk; fesyen; film, animasi, dan video; fotografi; kriya; kuliner; musik; penerbitan; periklanan; seni pertunjukan; seni rupa; televisi dan radio; dan desain interior.
Kontribusi industri kreatif bagi negara dilihat cukup signifikan dan berpotensi terus meningkat di masa depan. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, industri kreatif menyumbangkan Rp 852 triliun atau 7,38 persen terhadap Produk Domestik Bruto nasional, nilai ekspor US$ 19,4 miliar (12,88%), dengan menyerap 15,9 juta tenaga kerja (13,90%). Tak heran, Presiden Joko Widodo memprioritaskan ekonomi kreatif sebagai "tulang punggung perekonomian Indonesia".
Namun demikian, para pekerja yang menjadi roda penggerak dari industri ini justru memiliki setumpuk masalah ketenagakerjaan yang relatif tidak pernah diangkat ke permukaan. Misalnya, masih dalam sensus yang sama, 31,9 persen pekerja kreatif menghabiskan lebih dari 48 jam kerja tiap pekan atau lebih tinggi dari batas 40 jam tiap pekan seperti dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Artinya, lebih dari 1/3 pekerja kreatif Indonesia mengalami overwork atau berkelebihan kerja. Salah satu penyebabnya adalah hubungan kerja yang semakin tidak standar (kontrak, outsourcing, magang tanpa upah) sehingga pekerja tak punya nilai tawar di hadapan pengusaha dan perlindungan negara; serta berbagai persoalan hubungan kerja dalam bentuk lainnya, seperti free-pitching.
BEKRAF, sebagai badan pemerintah yang diberi mandat mengelola sektor industri ini, sayangnya lebih memprioritaskan pengembangan usaha dan penanaman modal (asing) di industri kreatif tanpa memberikan perhatian terhadap kesejahteraan pekerjanya. BEKRAF, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dewan Pers, Kementerian Informasi dan Komunikasi, serta lembaga negara terkait lainnya harus melibatkan unsur serikat pekerja dalam membuat kebijakan, agar tumbuh kembang industri kreatif bisa seimbang dan berkeadilan, tak melulu didominasi kepentingan pengusaha dan elit politik. Jika masalah ketenagakerjaan para pekerja ini tak pernah diselesaikan maka "tulang punggung perekonomian ekonomi Indonesia" yang diharapkan Presiden Joko Widodo ini akan menjadi "keropos".
Begitu pula dengan kondisi para pekerja dalam industri media yang lanskapnya berubah cepat seiring dengan perkembangan teknologi digital, salah satunya konvergensi yang dilakukan oleh sejumlah media. Sementara itu, kasus PHK sepihak trennya meningkat dari 2015 ke 2016. Contohnya, kasus Harian Semarang, Cakra TV, Bloomberg TV, serta Kompas Gramedia, dan berbagai kasus lainnya yang tidak dilaporkan. Teranyar, kasus PHK belasan karyawan Indonesia Finance Today (IFT) pada 2016 lalu yang tak dibayarkan pesangon serta gaji terakhir akhirnya berujung ke ranah pidana.
Jumlah media terus tumbuh, kesejahteraan pekerja media minim, dan selalu dibayangi kasus ketenagakerjaan. Ironisnya, serikat-serikat pekerja tetap sulit tumbuh di perusahaan-perusahaan pers besar nasional maupun daerah. Data terakhir yang dihimpun dari riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen hanya ada 25 serikat pekerja media yang bisa diidentifikasi di seluruh Indonesia. Jumlah ini terbilang sangat minim, hanya sekitar 1 persen dari jumlah media berdasarkan data Dewan Pers.
Selain itu, perjuangan kelas buruh memerlukan dukungan media alternatif dan komunitas yang lahir sebagai akibat dari monopoli kepemilikan media oleh politikus dan kapitalis yang telah merebut independensi media arus utama. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan penuh terhadap tumbuh kembangnya media alternatif dan komunitas serta berkomitmen menjaga kebebasan pers dari segala bentuk pengekangannya.
Misalnya, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang represif dan efek samping kebijakan verifikasi (barcode) media oleh Dewan Pers yang merugikan media alternatif, pers mahasiswa, dan media komunitas. Jika kebijakan verifikasi media tidak diubah maka pers Indonesia akan memasuki tahapan terbarunya yaitu korporatisasi pers atau kondisi ketika hanya perusahaan bermodal besar saja yang diizinkan menjadi lembaga pers dan akhirnya memonopoli produk jurnalistik "tepercaya" dengan legitimasi verifikasi (barcode). Oleh karena itu, perlu adanya desakan perubahan aturan badan hukum dalam memverifikasi media serta meminta Dewan Pers melibatkan unsur serikat pekerja dalam melakukan verifikasi faktual berdasarkan Standar Perusahaan Pers terutama terkait pasal yang pro pekerja.
Oleh karena itu, kami mengajak para pekerja industri kreatif dan media untuk bergabung bersama dalam *Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi* atau *SINDIKASI*. Perlu diketahui, *SINDIKASI* merupakan sebuah inisiatif yang digalang pekerja media dan industri kreatif yang memaknai profesinya sebagai kerja kebudayaan untuk secara kolektif mengatasi sejumlah masalah ketenagakerjaan dan berkontribusi pada gerakan sosial yang demokratis secara luas.
*SINDIKASI* juga mengajak seluruh pekerja kebudayaan untuk merayakan Hari Buruh Internasional 2017 dengan berkumpul pada pukul 8 di Tugu Tani. Dalam peringatan May Day pertama ini, *SINDIKASI* mengangkat "Berserikat Melawan Sekat" sebagai tema besar dengan harapan dapat mempersatukan para pekerja untuk berhimpun dalam serikat yang kebebasannya dijamin oleh undang-undang maupun hukum internasional.
"Berserikat Melawan Sekat" juga dipilih sebagai tema besar untuk membongkar sekat berupa ilusi yang telah lama tertanam bahwa pekerja kerah putih dan profesional bukan bagian dari kelas buruh. Sekat lain yang harus dihadapi serikat pekerja adalah mengenai status ketenagakerjaan yang semakin jauh dari standar seperti "pekerja mandiri", "freelancer", "part timer", "outsourcing", "magang tanpa upah", dan bentuk hubungan kerja lain yang ditujukan untuk menyamarkan hubungan kerja sehingga merugikan pekerja karena tak mendapat jaminan kerja dan perlindungan sosial. Kondisi ini merupakan dampak buruk sistem pasar tenaga kerja fleksibel yang merupakan penerapan kebijakan neoliberalisme di Indonesia. Selain itu, para pekerja kebudayaan juga harus bersatu melewati sekat perbedaan gender, agama, suku bangsa, orientasi seksual, dan ras agar dapat kuat dalam memperjuangkan hak demokratis berupa hak ekonomi, hak politik, dan hak kebudayaan.
Sampai bertemu di peringatan Hari Buruh Internasional 2017. Hidup para pekerja seluruh dunia!
Ellena Ekarahendy
Koordinator Presidium SINDIKASI
Foto: Ilustrasi/ google.