Monopoli dan Oligopoli Perindo-Perinus, Cengkeraman Asing?
Kurun waktu hampir dua abad, penguasaan Belanda melalui kongsi dagang VOC telah berhasil mencengkeram energi di kawasan yang kini disebut dengan Indonesia. Mereka lakukan segala aktivitas ekonomi dan merampok potensi sumberdaya Indonesia, kerap sekali lakukan monopoli.
Sejarah monopoli ekonomi dan maritim sudah terjadi sejak pemerintahan Hindia Belanda. Kebijakan popular masa kolonial Belanda di Indonesia, yaitu liberalisasi pelabuhan Batavia dan pendirian Koninklijke Paketvaart Maatschap-pij (KPM). Menurut Kolonial, dulu dinilai bagus dua konsep kebijakan kolonial itu karena memenuhi syarat berkelanjutan secara politik dan ekonomi. Tetapi, membawa petaka bagi laut Asia Tenggara dan Indonesia, yakni terseok habis oleh VOC.
Sekarang, berubah konsep Tol Laut dan fokus Perikanan tangkap. Semuanya diperuntukan bagi kemakmuran para konglomerat, Asing dan Aseng. Bagaimana tidak? Laut di fungsikan bersifat komersil mulai yang sudah di jalankan pemerintah Jokowi-JK. Terbukti modus baru adalah kerjasama Indonesia-Perancis dan kerjasama Arab Saudi – Indonesia.
Menurut Lillyana Mulya (2015), pergulatan VOC lakukan monopoli sebagai strategi penguasaan ekonomi ditempuh dalam waktu yang tidak singkat. Adaptasi VOC terhadap sistem perdagangan laut Asia Tenggara antara tahun 1610-1630 sebagai tahun pendirian stabilitas mereka dan mengatur zona eksploitasi laut.
Pada kurun waktu ini, melahirkan sistem transportasi maritim yang strategis. Sistem ini kental dengan metode politis yaitu perjanjian penguasa lokal (Menteri, Gubernur, Bupati dan Pengusaha) untuk mendapatkan kesempa-tan kongkaling-kong dagang dengan membuat perusahaan-perusahaan dibidang perikanan.
Sekarang malah terjadi di PT. Perum Perindo dan Perinus, dimana terdapat perjanjian kerjasama antar negara soal supporting dana talangan untuk kegiatan perindo-Perinus itu sendiri, misal Arab Saudi dan Perancis yang akan memberi dana talangan kepada Indonesia di bidang perikanan.
Di sisi lain, untuk menjalankan korporasi ini sebagai sebuah strategi, maka menteri Susi Pudjiastuti berlakukan permen larang alat tangkap agar ikan bertumpuk (surplus). Kemudian, dilanjut relokasi nelayan (peng-gusuran nelayan) ke laut yang diinginkan Susi Pudjiastuti dengan alasan laut Jawa sudah habis ikannya dan arafura ikannya melimpah.
Nah, program relokasi nelayan ini butuh dana triliun rupiah untuk pengadaan kapal, karena kapal nelayan yang ingin direlokasi tidak mau berpindah. Program ribuan kapal baru oleh Susi Pudjiastuti adalah alat untuk membohongi Perancis maupun Arab Saudi agar mereka mau gelontorkan anggaran berjuta USD.
Jadi sala satu program relokasi itu sebagai penopang manajemen PT. Perum Perindo-Perinus. Sementara di duga sebagian sahamnya berasal dari China, Arab Saudi dan perancis yang difasilitasi oleh para pengusaha Taipan-taipan itu. Sebetulnya, metode teknologi, JVS, dan relokasi (modernisasi) ini sebagaimana maksud menteri Susi Pudjiastuti sudah dilakukan oleh VOC sejak dulu dengan mengatur wilayah kapal dan ukurannya.
Karena metode Paling signifikan bagi VOC dulu itu yakni mengatur desain kapal agar disesuaikan dengan tujuan sehingga VOC dapat aktif sepanjang tahun tanpa terbatasi oleh musim (muson) untuk lakukan penjajahan dan angkut seluruh rempah-rempah serta isi laut Indonesia sesuai dengan ukuran kapal.
Tidak ketinggalan juga, VOC lakukan metode militer untuk kuasai agar perdagangan maritim Asia Tenggara lancar dengan kepemilikan kapal yang sudah diatur wilayah dan ukurannya sehingga menjadi tolak ukur dagang perikana-nya. Selain itu juga, bisa mengatur posisi kebijakan dan pola kekuasaan pemerintahan Indonesia. Sebagai contoh penguasa sekarang Jokowi-JK sangat dekat degan China dan bahkan pernah lakukan konfrontasi terhadap TNI AL di natuna atau Laut china selatan. Tapi itu tidak terekspose sebagai pelanggaran kedaulatan.
Dalam posisi ini juga, peran Susi pudjiastuti tinggal bermain kecap tenggelamkan kapal asing sambil pencitraan dan diberitakan oleh banyak media mainst-ream di negeri ini, dengan alasan klasik "tenggelamkan kapal asing dan jamin kedaulatan". Padahal Perum Perindo sebagai alat meraup untung banyak dari dua negara yang telah MoU kerjasama.
Hasil dari pergulatan itu juga akan berdampak pada peningkatan shipping pelayaran pulang-pergi dengan seluruh krunya kapal secara bebas. Ini dilakukan oleh VOC dengan memutuskan untuk tinggal (permanent presence) di Asia Tenggara agar negoisasi harga apapun yang bersifat ekonomis lebih leluasa dilakukan. Termasuk soal investasi perikanan tangkap yang merupakan modus VOC untuk menguasai Indonesia saat itu.
Setelah tahun 1630, VOC baru melakukan ekspansi dan konsolidasi. Namun sejak aktivitas transpor-tasi laut VOC yang ditandai dengan volume kedatangan kapal di berbagai pelabuhan di seluruh dunia dengan aktivitas ekonomi dan penangkapan ikan maupun udang.
Tercatat pada tahun 1610-1630 terdapat total 864 kunjungan di Batavia dengan volume 133.417, sementara periode setelah stabilisasi yaitu tahun 1630-1650 kunjungan meningkat sekitar 66% menjadi 1.442 dengan volume 242.353 last.
Dari data diatas, dapat ditarik benang merahnya bahwa arah kebijakan pemerintahan Indonesia sekarang sangat kental dengan Aseng yang diwakili oleh China dan asing di wakili Perancis. Itupun pemerintah masih bisa berpendapat untuk keseimbangan geopolitik Asia Tenggara. Padahal asing Aseng sendiri memiliki sejarah panjang penguasaan perdagang-an, ekonomi dan penangkapan ikan (illegal fishing) yang mereka lakukan diwilayah kedaulatan Indonesia.
Susi Pudjiastuti diantara tiga program kementeriannya, yakni sala satunya kedaulatan dengan memberantas illegal fishing. Namun di sala satu sisi, Susi sendiri menggabungkan politik, militer dan teknologi perikanan melalui korporasi yang di isi oleh Asing dan Aseng juga dalam bentuk investasi.
Inilah yang di katakan sebagai monopoli baru yakni membatasi usaha perikanan pribumi Indonesia dan menghayer seluruh kekuatan asing aseng dengan kerjasama bilateral antar negara baik level menteri maupun presiden dalam hal perikanan, misalnya kerjasama Arab Saudi – Indonesia untuk kelautan dan perikanan. Begitu juga Perancis – Indonesia untuk perikanan tangkap dan supporting kebijakan maritime.
Sudah jelas tujuannya yakni menampung dana sebesar-besarnya di Perum Perindo hasil dari modus kerjasama antar Negara dibidang perikanan. Dalam sejarah, hal ini telah dilakukan lama oleh VOC. Sekarang sebagai gantinya di perankan oleh Perindo – Perinus.
Hal ini menunjukkan bahwa Susi Pudjiastuti dan presiden Jokowi kalah canggih sama Arab Saudi maupun Perancis, dimana mereka mengikut arah sejarah yang telah di lakukan oleh VOC sebelumnya, yakni terorganisir dengan efektif untuk menguasai kebijakan laut maupun perikanan Indonesia.
Untuk mengetahui hal ini, sangat gampang bahwa konsep politik dan ekonomi maritime berkelanjutan Indonesia saat ini mengikut sebelumnya.
Definisi berkelanjutan menurut World Commision for Environment and Development adalah tidak lagi menggunakan kapal nelayan lokal (daerah) tertentu, tetapi relokasi kapal plus nelayannya.
Istilah ini menjadi rancu ketika disandingkan dengan aktivitas program lainnya, seperti pengadaan kapal untuk kepentingan distribusi dan penangkapan. Konsep relokasi zaman hindia Belanda sudah muncul dan menimbulkan banyak masalah terjadi, seperti pengemplang pajak, usaha hitam, korupsi galangan kapal, dan lainnya.
Hal ini pun terjadi saat ini, KPK RI tangkap tangan terhadap sejumlah pihak di PT PAL terkait dugaan suap pengadaan kapal ke Filipina. Dalam OTT pada Kamis (30/3) lalu itu, KPK berhasil mengamankan uang USD 25 ribu dari tangan Arief Cahyana selaku GM Treasury PT PAL Indonesia. KPK menetapkan M Firmansyah Arifin selaku Direktur Utama PT PAL Indonesia, Saiful Anwar selaku Direktur Keuangan dan Teknologi PT PAL Indonesia, dan Arief Cahyana selaku GM Treasury PT PAL Indonesia, dan Agus Nugroho dari pihak swasta sebagai tersangka.
Secara garis besar, orientasi tujuan penguasa saat ini, menteri Susi Pudjiastuti telah merubah piranti laut dan perikanan dengan menerbitkan berbagai permen yang dianggap bermasalah itu. Pemerintah Indonesia sedang darurat finansial sehingga lakukan sejumlah improvisasi agar Arab Saudi dan Perancis mau bekerjasama. Hal ini dilakukan demi menurtup kelemahan Susi Pudjiastuti dan Presiden Jokowi dari berbagai program yang ia lakukan selama ini tidak berhasil, alias gagal total.
Sala satu contoh kegagalan Susi Pudjiastuti adalah, kasus di Muara Baru, terjadi karena disebabkan oleh menteri Kelautan dan Perikanan yang tidak merespon isu-isu konflik nelayan dan perikanan tangkap sehingga terjadi caos.
Hal itu disebabkan oleh Susi Pudjiastuti dengan menetapkan dasar kenaikan tarif sewa karena NJOP juga ikut naik, dampaknya secara langsung terjadi sehingga nelayan mencekik.
Selain itu, adanya pembatasan masa sewa selama 5 tahun. Sementara, pemahaman dari pihak pengusaha tentang kenaikan service charge namun meminta Perum Perindo melaksa-nakan perbaikan dan perawatan jalan, saluran air, pembuangan sampah, tanggul dan pompa penanggulangan air sehingga disinilah terjadi Monopoli dan Oligopoli yang dilakukan Perum Perindo, seperti dalam pembatasan mobil tangki BBM max 8 ton yang masuk Muara Baru
Sebelum itu juga, Perindo lakukan monopoli dengan system pengalihan kegiatan pembongkaran ikan dari dermaga Barat ke Timur. Sementara dermaga Timur hanya sanggup di 16 kapal bersandar, disini PT. Perum Perindo memaksakan kondisi tersebut untuk semua kapal. Itu pun di terbitkan Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 2013 Pasal 5 Ayat 1 Tentang PERUM PERINDO agar tampak legal. Padahal modus monopoli.
Tawaran solusi dan rekomendasi kepada kementerian kelautan dan Perikanan maupun PT. Perum Perindo adalah memberikan kebijakan tentang kenaikan tarif sewa tanah secara bertahap dengan tetap berdiskusi dengan pihak-pihak terkait sehingga tidak ada kerugian disalah satu pihak.
Kebijakan batasan masa sewa tanah yang lebih dari 5 tahun sebagaimana kasus-kasus yang sudah pernah terjadi (Kawasan Industri Medan dan kawasan Berikat Muda Nusantara). Juga masa sewa dapat diperpanjang hingga 10 tahun.
Penetapan tarif sewa lahan dilakukan secara musyawarah karena kenaikan yang diusulkan adalah max 20% dan dievaluasi setiap 3 tahun. Hal lain yang perlu adalah hapus pembagian hasil 25% dari net profit untuk Perum Perindo untuk penjual BBM di Muara Baru. (*)
Rusdianto Samawa
Divisi Advokasi Buruh & Nelayan, MPM PP Muhammadiyah
Foto: Courtesy Google Image