Cerita Sedih Anak Nelayan Miskin di Gorontalo

Kita mulai dari wisata Batu Pandang, Kabupaten Gorontalo. Wisata ini menuju arah selatan. Tertarik dengan wisata Batu Pandang, saya memutuskan untuk naik gunung Batu Pandang.

Saya dan kawan-kawan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah dan MPM PWM Gorontalo. Memarkirkan motor dibawah rimbunan pohon kelapa, lalu kami daftar masing-masing orang 4000 Rupiah.

Mulai dari spot 1 hingga spot 3 sangat curam gunungnya. Menaiki gunung, tentu pengalaman pertama saya selama hidup. Walaupun di kampung saya ada dua gunung tinggi dan bersejarah yakni Gunung Rinjani dan Tambora.

Spot 1, saya dkk menemukan banyak keunikan, seperti kata-kata cinta, kalimat jangan selingkuh, potongan kayu berbentuk I LOVE YOU dan kata-kata "Jadianlah Kamu Disini". Itulah sebagian kalimat dan kata yang terrekam di sana oleh saya. Para pengunjung terus berdatangan, pemuda pemudi terus naik untuk melihat Batu Pandang.

Saya sempat berfoto-foto di Spot 1 dan menikmati alam yang terbuka walaupun situasi agak panas. Ya memang Gorontalo ada dua musim kata beberapa teman, yakni setengah panas dan panas sekali.

Kemudian menuju spot 2, di sana saya menemukan sebuah sejarah sangat luar biasa. Di sana ada perahu nelayan yang terparkir tepat diatas Gunung. Walaupun perahu tersebut, tampak di angkut dari bawah ke atas spot 2. Namun, ini adalah simbol sejarah perlawanan nelayan dalam beberapa dekade pada sebuah perhelatan perang antara rakyat nelayan jelata Gorontalo dengan penjajahan belanda-Jepang.

Di spot 2 ini banyak hal saya temui termasuk ibu-ibu (istri para nelayan). Kalau suaminya melaut, maka istrinya menuju keatas spot 2 untuk mencari rezeki berjualan air minum, roti, jagung, dan lain senagainya.

Semua tampilan di spot 2 berbentuk original dan di susun tempat berjualan secara bagus dan baik. Jalan menuju spot 2 ini sangat luar biasa sulit dan haruslah berhati-hati. Namun, para pengunjung tetap saja asyik menanjak Gunung Batu Pandang.

Lalu, kami menuju spot 3, perjalanan spot 3 lebih curam lagi tambah tinggi hingga cv:apai puncak. Puncak spot 3 dapat melihat seluruh Kota Kabupaten Gorontalo. Sebelah kiri kita lihat laut berbentuk I LOVE YOU dimana dikenal dengan Bukit CINTA. Sebelah kanan kita dapat melihat Kota Gorontalo dari kejauhan 50 Kilometer dan Batu Pandang.

Kalau menghadap depan dan berdiri diatas Batu Pandang kearah lautan luas. Maka dapat melihat kapal-kapal cargo antar negara yang ukurannya sangat besar. Apabila do Shoot dengan kamera maka jelas nampak kapal-kapal asing masih bebas melintasi perairan negara Indonesia melalui selat Gorontalo.

Diatas Batu Pandang, sekaligus mengurai sejarah pertempuran nelayan. Batu itu, benar batu karang laut. Karena memang sejarahnya Gorontalo bekas laut yang terus menyusut dan gunung pun semakin tinggi.

Di kala selesai memandang seluruh wilayah pesisir dari atas singgasana Batu Pandang, saya dkk turun ke Post 2. Sambil mewawancara ibu-ibu nelayan. Ada 15 orang ibu-ibu nelayan, nama-nama mereka pun sangat susah disebut. Yang paling saya ingat adalah Balilo Bani dan Yusrianti. Kedua ibu - ibu (Istri) nelayan ini mangkal ditempat jualan snack untuk melayani para pengunjung.

Saya memulai pertanyaan dengan Ibu namanya siapa ? Pertanyaan saya langsung saja. Ibu tersebut menjawab Balilo Bani. Kemudian, saya menanyakan lagi perihal suaminya jadi apa? Lalu mereka menjawab serentak "nelayan pak".

Lalu kemudian, Yusrianti labgsung membuka cakrawala pemahaman kita "Pak kondisi kita begini, miskin, hidup di pesisir". Lalu saya menanyakan "kenapa hidup miskin". Mereka saya suru bercerita satu persatu.

Inti dari cerita mereka adalah bahwa pemerintah hanya memberi kartu jaminan nelayan. Namun, pemerintah sangat jarang perhatikan hal-hal yang sangat urgen bagi kelangsungan hidup mereka. Pelarangan alat tangkap bagi beberapa nelayan berdampak pada hilangnya pekerjaan para ABK kapal yang berasal dari masyarakat pesisir.

Di desa Botutonuo Kabupaten Bonebolango ada 67 Kepala Keluarga nelayan yang menjadi ABK kapal Pursein dan pukat cincin serta kapal berukuran besar lainnya. Tentu ketika ada pelarangan terhadap alat tangkap tersebut maka berdampak pada pengangguran, kemiskinan dan putus sekolah.

Selain itu, saya juga berhasil mewawancara beberapa ABK yang menganggur itu, padahal mereka tidak semua mengetahui aturan. Mungkin saja pemilik kapal tanpa ketertiban mengurus ijin kapal dan lain senagainya.

Namun, inti dari masalahnya adalah ketika pelarangan alat tangkap maka tercipta pengangguran dan tambah pemiskinan terhadap nelayan.

Dari 15 orang ibu-ibu nelayan yang di wawancara itu, terdapat 1 - 3 orang anak per kepala keluarga yang anaknya putus sekolah akibat ayah dan ibunya tidak lagi mendapat pekerjaan yang setimpal.

Tentu harus dipikirkan oleh negara, ketika pendidikan menjadi andalan kita bersama untuk mencerdaskan anak bangsa.

Masih banyak anak-anak pesisir belum memenuhi cita-citanya, tujuan hidupnya, peroleh pendidikan layak dan mendapat gelar sarjana. Mereka masih banyak mengenyam pendidikan secara layak dan baik.

Bagaimana langkahnya Kemendikbud untuk menuntaskan kasus-kasus anak-anak yang putus sekolah ini. Tentu harus investigasi lebih mendalam, lakukan assesment dan berikan fasilitas negara agar mereka bisa mendapat pendidikan yang layak sebagaimana anak-anak lainnya diseluruh Indonesia.

Uluran tangan negara dan pemerintah sangat dibutuhkan karena mereka hidup di pesisir. Agar pemerintah segera menuntaskan anak-anak putus sekolah korban dari kebijakan Susi Pudjiastuti ini.

Alangkah baiknya pemerintah lakukan secara cepat untuk mengatasi gejolak konflik nelayan ini akibat kebijakan Permen Susi Pudjiastuti. Selama ini permen tersebut sangat banyak membuat rakyat menderita diwilayah pesisir. Maka karena itu, hanya satu solusi untuk mengurai semua problem masalah nelayan adalah gagalkan seluruh aturan Susi Pudjiastuti yang dianggap sangat bermasalah itu dan membuat rakyat miskin dan menganggur.

Rusdianto Samawa
Ketua Umum Front Nelayan Indonesia


Foto: google image