Dosen IPB: Permen dan PP era Jokowi Anti Poros Maritim?

Untuk menjadikan Indonesia sebagai  poros maritim dunia seyogyanya secara internal Bangsa Indonesia melakukan pembenahan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya perikanan sebab bangsa yang kuat karena rakyat yang kuat pula.  

Percepatan program pembangunan perikanan terpadu perlu dilakukan melalui kebijakan perikanan yang pro rakyat dan pro lingkungan untuk menuju keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan itu sendiri.  Berkelanjutan disini dimaksudkan bukan memberhentikan kegiatan perekonomian dibidang perikanan melainkan bagaimana kegiatan ekonomi rakyat (nelayan) mendapatkan keuntungan maksimum dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan (sustainability) yang bisa bersaing di pasar global. 

Agar bisa bersaing di pasar global dan mendukung permintaan produk perikanan serta  industrialisasi perikanan diperlukan produksi hasil tangkapan dan bahan baku perikanan yang cukup.  Pemenuhan permintaan dan bahan  baku untuk industrialisasi perikanan ini dapat diperoleh dari hasil tangkapan dan budidaya perikanan. Permasalahannya bagaimana usaha perikanan tangkap dan budidaya dapat memenuhi permintaan produk perikanan   dan kebutuhan bahan baku untuk industrialisasi perikanan?

Sejak akhir tahun 2014 telah dikeluarkan kebijakan pengelolaan perikanan yang cenderung menghambat usaha perikanan baik perikanan tangkap maupun Budidaya. 

Kebijakan yang cenderung menghambat tersebut antara lain :

1. PERMEN KP No.  56/PERMEN-KP/2014 tentang penghentian  sementera (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang telah memberhentikan  pengusaha dalam negeri untuk berusaha didalam negerinya sendiri dengan dalih pengusaha Indonesia semua "maling". Sebanyak 753 kapal (dari 1.132 kapal) yang sdh dianggap white list yang diumumkan pada Bulan Juni 2016 oleh KKP, akan tetapi hingga hari ini kapal-kapal tsb  tidak juga bisa beroperasi meskipun sesungguhnya permen ini sudah berakhir. 

2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57/PERMEN-KP/2014 tentang penghentian kegiatan alih muatan (transhipment) tidak mendukung usaha penangkapan ikan. Ikan adalah produk yang perishable (mudah busuk) perlu ditangani dengan baik pasca penangkapan  agar tingkat kesegaran ikan terjaga dan harga jualnya tidak jatuh. Alih muat diperlukan untuk kapal penangkapan ikan dengan jumlah hari melaut yang lebih panjang karena wilayah penangkapannya lebih besar dari 12 mil laut atau di daerah ZEEI atau bahkan laut lepas.  Akibat permen ini pula kapal angkut ekspor ikan kerapu hidup hasil budidaya di 10 propinsi   pun kena imbasnya 

3. Peraturan Mentri  Nomor  01/PERMEN- KP/2015 tentang pembatasan penangkapan tiga spesies perikanan penting  yang telah ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Nomor 18/MEN-KP/I/2015.  Selama ini ukuran lobster yang dijual tergantung pembeli. Mayoritas kepiting soka yang di budidayakan masyarakat nelayan di Balikpapan hanya berukuran 50-120 gram (dalam aturan ini minimal 150 gram) sehingga banyak stok kepiting soka yang tidak bisa dipasarkan. 

4.  Peraturan menteri Kelautan dan Perikanan   Nomor 02/PERMEN-KP/2015, mengatur larangan penggunaan alat penangkapan ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara  Republik  Indonesia (WPP NRI).  Permen ini melarang 17 alat tangkap salah satunya adalah Cantrang dengan dalih bahwa alat tangkap ini tidak ramah lingkungan. Perihal ramah atau tidaknya suatu alat tangkap baik alat tangkap aktif maupun pasif tergantung pada bagaimana alat tangkap itu dioperasikan.

Jika dioperasikan sesuai dengan peraturan yang ada maka isu tdk ramah lingkungan ini bisa diatasi. Misalnya ukuran mata jaring yang digunakan, panjang jaring, lebar jaring, dimana dioperasikam dan sebagainya kaitannya dengan operasional penggunaan jaring. Untuk membuat aturan penggunaan alat tangkap yang up to date perlu kajian yang dapat dikerjasamakan oleh pemerintah dengan universitas (akademisi).

Berdasarkan kajian yang kami lakukan di Jawa Tengah pelarangan alat tangkap Cantrang akan menimbulkan dampak ekonomi sebesar Rp 1.9 Trilyun per tahun dikaji  dari kehilangan pendapatan dan dampak sosial Rp 1.5 Trilyun per tahun dikaji  dari kehilangan pekerjaan nelayan/masyarakat. Kemudian Permen ini direvisi menjadi Permen No. 71/2016 tentang jalur penagkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan. 

Keluarnya permen ini pun tidak memberikan solusi yang baik dan saat ini kembali mencuat karena banyaknya nelayan yng ditangkap dilaut karena tidak sinkronnya kebijakan yang telah dibuat. Akibat pelarangan ini pula terancam 16 pabrik surimi tutup dan dapat kehilangan manfaat  sebesar Rp 2.1 Trilyun per tahun. 

5. Peraturan Pemerintah No 75/2015 tentang jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementrian Kelautan dan Perikanan.  Kebijakan-kebijakan ini didukung pula oleh SK Dirjen perikanan tangkap No. B 1234/DJPT/F1.410.D4/31/12/2015 tentang pembatasan ukuran GT pada SIUP/ SIPI/ SIKPI.  PNBP perikanan terdiri dari non sumberdaya dan sumberdaya.  

PNBP ini adalah salah satu bentuk kontribusi Sektor Perikanan terhadap perekonomian nasional.  Pungutan PNBP dari sumberdaya salah satunya adalah Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dilakukan diawal atau tidak berdasarkan hasil tangkapan riil.  Dapat terjadi kegagalan kebijakan pemerintah dan fenomena pemburu rente (rent seeker) jika pengawasan terhadap pemerintah tidak dilakukan. 

Jika nilai PNBP naik saat ini itu hanya kenaikan nilai nominal saja akibat tarif PNBP yang naik sepihak hingga mencapai 10 kali lipat. Sementara itu pungutan dimuka tidak fair dilakukan. 

Dari 5 point di atas pertanyaan besarnya adalah apakah kita mampu menjadi poros maritim dunia? Perlu pengelolaan yang baik terhadap sumberdaya ikan itu sendiri dan sumberdaya manusianya. Kedua ini harus berjalan seimbang melalui pengendalian pemanfaatan bukan pelarangan. 

Pengendalian pemanfaatan dapat dilakukan dengan pengendalian jumlah upaya penangkapan, mengawasi operasional penangkapan yang ramah lingkungan, rezim access menjadi limited entry atau closed seasion, dan menentukan zonasi wilayah penangkapan berdasarkan ukuran kapal misalnya. Belajar dari negeri Sakura dengan potensi laut yang sangat kecil mereka berhasil mengelola lautnya dengan melibatkan koperasi yang berperan sebagai lembaga yang mengawasi operasional di lapangan. Australia, China, Filifina dan Malaysia menggunakan pukat kantong (seine net), dimana cantrang termasuk  dalam kategori alat tangkap ini.  

Tujuan  keberlanjutan bukan saja ditinjau dari keberlanjutan sumberdayanya  melainkan juga bagaimana kesejahteraan  masyarakat (nelayan) bisa tercapai. Oleh karena  itu dua hal ini tidak bisa dipisahkan.

Dr. Nimmi Zulbainarni
Sekjen Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN)
Resouces Economist


Foto: KKP