Menakar Kinerja Ekspor-Impor Pangan Era Jokowi
Sejarah mencatat, pada tahun 1952, tiga tahun setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda, ekonomi Indonesia masih tertatih-tatih. Warisan panjang kolonialisme cukup menyimpan luka bagi bangsa muda ini. Termasuk dalam urusan pangan. Oleh karena itu, Bung Karno pada saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesi, sekarang dikenal Institut Pertanian Bogor (IPB), tanggal 27 April 1952 menegaskan bahwa soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa.
Penegasan ini dimaksudkan karena kondisi negara saat ini sangat bergantung pangan impor khususnya beras. Indonesia menjadi negara langganan setia negara Thailand, Vietnam, dan Burma terkait impor beras.
Menilik dari sejarah ini, dalam visinya yang tertuang dalam Nawa Cita, Presiden Jokowi mendeklarasikan untuk fokus membangun pertanian yang berdaulat dan memanusiakan petani. Dalam agenda ke tujuh Nawa Cita disebutkan "Mewujudkan Kemandirian Ekonomi dengan Menggerakkan Sektor-sektor Strategis Ekonomi Domestik, menitikberatkan pada upaya mewujudkan Kedaulatan Pangan dan Mensejahterakan Petani".
Bentuk keseriusan pun kembali dipertegas Presiden Jokowi di depan para kepala daerah di Jakarta, tanggal 4 Agustus lalu yang mengatakan, "daerah harus fokus mengelola potensinya secara tuntas dari hulu sampai hilir. Jangan ingin mengerjakan semuanya tetapi tidak ada yang tuntas".
Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman selalu mengatakan, "kita jangan mewariskan impor dan kemiskinan bagi generasi mendatang". Tak ayal, Mentan Amran telah "mendeklarasikan" perlawanan atas praktek kartel pangan yang telah terbukti memiskinkan petani sekaligus merugikan konsumen. Di tahun 2017 ini, Mentan Amran melalui Polri telah bentuk satgas pangan untuk mengantisipasi kartel pangan.
Tentang kinerja ekspor impor pangan melalui terobosan kebijakan pembangunan pertanian ala Mentan Amran, tentunya tidak diragukan akan hasil diperoleh. Pada tanggal 17 Oktober 2016, BPS merilis beberapa data strategis tentang data perdagangan dan perkembangan rupiah. Data tersebut mengungkapkan kebijakan dan program strategis Kementerian Pertanian sudah on the track dalam meningkatkan ekspor dan menurunkan impor.
Ekspor nonmigas September 2016 mencapai US$11,45 miliar atau naik 2,85 persen jika dibandingkan ekspor September 2015. Impor nonmigas September 2016 mencapai US$9,55 miliar atau naik 0,95 persen jika dibandingkan September 2015. Barang nonmigas ini seperti hasil perkebunan, pertanian, peternakan, perikanan dan hasil pertambangan yang bukan berupa minyak bumi dan gas.
Harus diakui bahwa prestasi ekspor-impor nonmigas di atas merupakan kontribusi besar dari pencapaian dua tahun pembangunan sektor pertanian pemerintahan Jokowi-JK. Data BPS menyebutkan produksi pangan tahun 2014 mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2016.
Produksi padi tahun 2014 hanya 70,8 juta ton, di tahun 2016 naik menjadi 79,1 juta ton. Begitu pun produksi jagung dari 19 juta ton menjadi 23,2 juta ton, bawang merah dari 1,2 juta ton menjadi 1,3 juta ton dan cabai dari 1,915 juta ton menjadi 1,918 juta ton.
Hal ini yakni terjadi peningkatan juga untuk komoditas hewani. Produksi daging sapi dari 0,49 juta ton naik menjadi 0,52 juta ton. Kemudia produksi telur ayam dari 1,4 juta ton menjadi 1,6 juta ton, daging ayam 1,9 juta ton menjadi 3,1 juta ton dan daging kambing dari 0,65 jut ton naik menjadi 0,67 juta ton.
Yang tak kalah penting menjadi perhatian yakni terjadi peningkatan produksi juga pada komoditas unggulan perkebunan. Misalnya, produksi sawit tahun 2014 hanya 29,3 juta ton, di tahun 2016 naik menjadi 33,5 juta ton. Produksi kakao pun demikian, dari 0,73 juta ton menjadi 0,76 juta ton. Produksi karet dari 3,15 juta ton menjadi 3,16 juta ton, kopi dari 0,64 juta ton menjadi 0,67 juta ton dan produksi gula dari 2,58 juta ton naik menjadi 2,72 juta ton.
Peningkatan produksi ini memberikan dampak peningkatan volume ekspor atau menekan volume impor. Tercatat, mulai tahun 2016 sampai dengan saat ini, pemerintah belum sama sekali mengimpor beras. Sementara volume ekspor beras naik mencapai 43,7%. Demikian juga impor jagung turun 62% dan sampai dengan saat ini pun Indonesia belum mengimpor bawang merah.
Padahal pada tahun sebelumnya, Indonesia selalu rutin mengimpor beras minimal 2 juta ton per tahun. Sehingga, dengan kinerja ekspor beras saat ini dapat menghemat devisa sebesar Rp 16 triliun dengan asumsi harga beras Rp 8.000 per kg.
Kebenaran ini diungkapkan Wakil Ketua Komisi IV DPR, Daniel Johan. Di mana tahun 2016 tidak ada izin impor beras yang dikeluarkan pemerintah. Menurutnya, dengan meningkatkan produksi dalam negeri, stok beras nasional sudah cukup hingga akhir tahun ini. Bahkan, stok tersebut akan bertambah lantaran adanya panen raya pada bulan depan (Rakyat Merdeka, 20/10/2016).
Kemudia, ekspor salak Indonesia di tahun 2016 naik 4,24% dibanding tahun 2015. Salah Indonesia telah menembus pasar 29 negara. China, Belanda, Kamboja, Saudi Arabia, dan Singapura menjadi negara terbesar pengimpor salah Indonesia.
Tak heran, dengan capaian ini peringkat produksi padi Indonesia di tingkat dunia berada di nomor 3. Begitu pun peringkat produksi kedelai menempati nomor 13 dunia dan produksi jagung menempati peringkat nomor 7 dunia.
Semua pencapaian yang dibeberkan di atas merupakan hasil dari kebijakan kontroversial yang dijalankan pemerintah melalui Kementerian Pertanian di bawah komando Andi Amran Sulaiman. Kebijakan tersebut sebuah radikalisasi paradigma dalam meletakkan posisi penting sektor pertanian dalam pembangunan nasional (Gamal Institute, 2016).
Untuk itu, agar swasembada dapat dicapai dalam jangka waktu menengah dan panjang dan kinerja ekspor pangan makin membaik, pemerintah teruslah konsisten menjalankan kebijakan dan program di atas. Selain itu, pemerintah perlu kiranya segera mungkin merealisasikan reforma agraria agar petani yang sebenarnya, benar-benar memiliki lahan. Dengan kata lain bukan lagi sebagai buruh tani.
Oleh karena itu, pemerintah harus menekan tombol kecepatan tinggi agar semua unsur di internal dan di luar Kementerian Pertanian bergerak bersama membangun pertanian yang berdaulat dan mensejahterakan petani. Namun harus diakui, dalam waktu singkat pemerintah Jokowi-JK, kinerja ekspor impor pangan menunjukkan trend yang memuaskan. (*)
Oleh: Wignyo , Ketum Masyarakat Peduli Pangan Nusantara (MAPAN)