Sektor Pertanian Dongkrak Perekonomian Nasional
Kinerja pembangunan pertanian dalam kurun waktu tahun 2014 hingga 2016 telah mampu mendongkrak perekonomian nasional. Pada kurun waktu ini, sektor pertanian masih dominan dalam penciptaan nilai tambah dalam perekonomian nasional.
"Hal ini terlihat dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian atas dasar harga berlaku 2014 sebesar Rp 1.410 triliun, 2015 naik menjadi Rp 1.556 triliun dan 2016 menjadi Rp 1.669 triliun. Rerata kontribusi sektor pertanian tiga tahun terakhir 13,4 persen dan pertumbuhan 3,75 persen per tahun," kata Fungsional Statistisi, Kementerian Pertanian, M. Ade Supriyatna di Jakarta, Rabu (14/6/2017).
Ia menjelaskan apabila dihitung pertanian secara keseluruhan dalam arti mencakup kegiatan dari hulu hingga hilir, seperti misalnya dihitung sampai pada pengolahan beras, minyak sawit dan lainnya, maka kontribusi sektor pertanian bisa lebih dari 20%. Namun secara statistik, kegiatan industri pengolahan hasil pertanian dimasukkan ke dalam sektor industri dan lainnya.
"Demikian pula laju pertumbuhan pada industri pengolahan tumbuh lebih tinggi dibandingkan kegiatan pada on-farm, namun secara statistik akan dicatat masuk ke dalam pertumbuhan sektor industry," jelasnya.
Ade mengungkapkan di tahun 2016, subsektor perkebunan paling tinggi memberikan kontribusi terhadap PDB yakni 3,46%. Selanjutnya diikuti subsektor tanaman pangan 3,42%, peternakan 1,62% dan hortikultura 1,51%. PDB subsektor perkebunan diperoleh dari komoditas unggulan yakni kelapa sawit, karet, kelapa, kopi, kakao dan tebu. Kontribusi terbesar dari komoditas tanaman pangan yakni padi, jagung dan kedelai. Komoditas peternakan dominan dar yakni ternak besar, ternak kecil, unggas dan susu. Sedangkan PDB hortikultura disumbang terbesar dari komoditas bawang merah, aneka cabai, pisang, jeruk dan kentang.
"Subsektor perkebunan juga berkontribusi besar dalam neraca perdagangan ekspor-impor Indonesia, sehingga setiap tahun mengalami surplus. Provinsi Riau dan Sumatera Utara berkontribusi besar dalam menciptakan surplus neraca perdagangan dari ekspor sawit. Besarnya surplus neraca perdagangan perkebunan ini menopang terjadinya surplus sektor pertanian pada tahun 2016 sebesar USD 10,9 miliar," ungkapnya.
Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2016, sektor pertanian Provinsi Aceh dan Jambi berkontribusi besar terhadap total PDRB provinsi, yaitu mencapai 30%, dengan tingkat pertumbuhan pertanian di atas 5,5%.
"Sementara untuk provinsi lainnya di Sumatera juga menunjukkan kontrbusi pertanian cukup signifikan. Hal ini menunjukkan Sumatera masih bertumpu pada kegiatan on-farm dengan dominan pada aktivitas subsektor perkebunan," imbuh Ade.
Selanjutnya Ade menegaskan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB pada Provinsi-provinsi di wilayah Kalimantan dan Sulawesi umumnya mempunyai kontribusi pertanian yang besar lebih dari 20%. Kemudian tingkat pertumbuhannya lebih dari 5%, terutama Provinsi Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
"Potensi pertanian yang masih terbuka luas pada wilayah ini dapat digenjot lebih tinggi lagi dengan mekanisasi pertanian dan pembangunan infrastruktur irigasi, infrastruktur lahan dan lainnya," tegasnya.
Ade menuturkan kontribusi pertanian terhadap PDRB Provinsi di Maluku dan Papua pun cukup besar, namun pertumbuhannya tidak begitu cepat. Dengan mempertimbangkan kontribusi dan laju pertumbuhan PDRB dapat diambil kebijakan dan berbagai upaya mendukung akselerasi PDRB, baik melalui penambahan luas tanam maupun peningkatan produktivitas komoditas unggulan masing-masing provinsi.
"Demikian pula pembangunan infrastruktur jalan, irigasi, telekomunikasi dan lainnya yang saat ini digencarkan pada daerah pelosok maupun perbatasan akan turut berdampak pada meningkatnya efisiensi biaya transportasi, distribusi, hemat waktu serta menumbuhkan aktivitas ekonomi lokal," tuturnya.
Menurut Ade, pada wilayah Maluku dan Papua ini perlu didorong pengembangan pangan lokal dengan teknologi modern. Kebutuhan pangan bagi penduduk setempat harus mampu diproduksi sendiri dan tidak perlu mendatangkan pangan dari wilayah lain.
"Faktor pengungkit kunci produksi pangan lokal adalah ketersediaan benih bermutu serta peningkatan kapasitas dan keterampilan SDM setempat," demikian pungkasnya.