Kasus Beras PT IBU, Mencari Untung di Antara Dua Derita

Kepala Balai Besar Mekanisasi Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan), Andi Nur Alam Syah menilai praktek bisnis yang dijalankan PT. Indo Beras Unggul (IBU) merupakan potret bisnis yang mencari keuntungan besar tanpa keringat di antara dua derita yang dialami petani selaku produsen dan masyarakat umum selaku konsumen. Padahal, kedua pihak ini merupakan tanggung jawab penuh negara agar sama-sama mendapatkan keuntungan yang beradilan, yakni petani untung dan masyarakat juga terbantu karena harga beli yang terjangkau.

Nur Alam mengungkapkan derita petani Indonesia yakni terlihat dari yang dialami Mashuri, petani Desa Karangtengah, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga, sejak pagi hingga sore kerja di sawah tidak kenal letih, demi padinya berproduksi baik. Aktivitas ini berlangsung hingga 120 hari, namun tidak sepenuhnya berjalan mulus, karena ada hama yang meluluhlantakan usahanya. Karena itu, jika usaha taninya untung maka uang akan dikantongi, tetapi kalau buntung hutang siap ditanggung. 

"Derita petani padi ini tidak banyak diketahui konsumen, mereka hanya melihat padi sudah berubah menjadi beras tanpa mau peduli bagaimana jerih payah petani berjuang demi konsumen. Padahal kalau harga turun drastis petani menderita," demikian ungkap Nur Alam di Jakarta, Senin (31/7/2017).

Sementara itu, derita konsumen yakni jika harga beras melambung tinggi, konsumen  menjerit, apalagi tidak semua konsumen itu berduit. Perlu dicatat, status ekonomi masyarakat kita sangat beragam, bahkan ada yang dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Kendati mereka miskin, mereka juga harus tetap makan beras. 

"Dua pokok masalah ini telah menjadi kunci pemerintah untuk hadir ditengah-tengah petani menjalankan roda birokrasinya. Pemerintah harus mampu melindungi dua masalah itu. Petani menjual dengan harga yang menguntungkan (red.sesuai ketentuan), konsumen membeli beras dengan harga yang wajar (red. juga sesuai dengan ketentuan). Inilah nafas keberpihakan Kementerian Pertanian yang dinahkodai oleh Dr. Andi Amran Sulaiman saat ini," terang Nur Alam.

Karena itu, melihat terjadinya disparitas harga yang dilakukan oleh sekelompok usaha, Nur Alam, sangat menyayangkan perilaku yang dilakukan oleh anak bangsa sendiri. Para pelaku itu tidak terketuk hatinya melihat derita petani dan jeritan konsumen. Padahal, di dalam produksi beras milik petani itu banyak subsidi yang disiapkan pemerintah. Tujuannya, harga yang diterima petani itu menguntungkan dan mampu menopang kesejahteraan petani, serta harga yang diterima konsumen adalah harga yang wajar.  

"Karena itu pemerintah mengeluarkan Perpres untuk penetapan dan penyimpanan bahan pokok dan penting. Permendag juga mengatur harga acuan bawah untuk melindungi petani dan harga acuan atas untuk melindungi konsumen. Pemerintah menjaga dua rantai ini dari pihak ketiga, yaitu para makelar" ujarnya.

Menurut Nur Alam, produsen atau petani, dilindungi pemerintah melalui subsidi benih dan pupuk agar petani bisa menurunkan biaya produksinya dan harga jual gabah juga terjangkau. Dengan begitu, maka konsumen pun mampu membelinya. Inilah cara pemerintah menstabilkan harga pangan dalam negeri. Petani untung dan masyarakat juga terbantu oleh harga yang terjangkau. 

"Jika skema ini berjalan baik, stabilitas pangan nasional akan tetap terjaga. Namun ada saja pihak yang bisa mengganggu stabilitas pangan nasional. Tiba-tiba para pengusaha membeli semua hasil produksi tadi dengan harga sedikit lebih tinggi dari Bulog tanpa modal produksi apapun. Lalu mengemas dan menjual berasnya ke kalangan menengah atas. Pada posisi ini, petani senang karena dapat untung sedikit lebih besar, tapi mereka tidak paham bahwa disitu ada pihak yang dirugikan," tegasnya.

Nur Alam menjelaskan praktek bisnis pengusaha besar seperti PT IBU hanya mengandalkan modal besar untuk membeli gabah dari tangan petani dengan harga yang "sedikit" lebih tinggi dari harga Bulog. Gabah tersebut diproses dan dikemas lalu dijual dengan harga sangat tinggi kepada konsumen. 

"Keuntungannya bisa sampai 300 persen tanpa harus bekerja apa-apa, cuma modal duit dan mengontrol pasar. Petani gak kaya-kaya, konsumen tercekik lehernya," jelasnya.

Oleh karena itu, Nur Alam menegaskan jika kasus beras PT IBU yang terjadi belakangan ini dibiarkan, maka perusahaan sejenis akan berlomba-lomba melakukan hal yang sama. Para pelaku usaha akan membentuk asosiasi dan mengarah menjadi kartel yang mengontrol harga beras di negeri ini.

"Kalau itu terjadi, mereka akan mengendalikan pangan pokok rakyat. Awas jangan main main menciderai rakyat dengan menggangu beras.  Pemerintah berkewajiban mengatur persediaan beras dan harga yang terjangkau," demikian pungkasnya. (*)