Fadel: Tidak Boleh Penanaman Modal Asing di Penggilingan Padi
Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) menilai, penindakan hukum atas kasus PT Indo Beras Unggul (IBU) menjadi momentum untuk melawan praktik kartel pangan sekaligus menata ulang struktur industri pangan nasional.
"Kita tidak boleh lengah, harus waspada dan antisipasi terhadap gejala yang terjadi. Sehingga, struktur industri perberasan kembali on the right track sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan," ujar Ketua Umum MAI, Fadel Muhamad, di Jakarta, Jumat (4/8/2017).
Apalagi, katanya, beras merupakan pangan pokok yang menguasai hajat hidup rakyat, sehingga pemerintah berkewajiban mengatur dan mengawasinya.
Kemudian, Fadel melihat tren ketimpangan struktur industri perberasan ke depan kian riskan. Sebab, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, terdapat 182 ribu penggilingan, di antaranya 94 persen penggilingan kecil dan keliling dengan kapasitas kurang 1,5 ton beras/jam.
Lalu, sekitar 6.800 unit (lima persen) penggilingan kelas sedang dan hanya ada sekira 2.000 unit (satu persen) penggilingan besar dengan kapasitas di atas 3 ton/jam.
Bahkan, ada sekitar lima perusahaan sangat besar dengan fasilitas pabrik penggilingan beras terpadu (rice processing complex/RPC) berkapasitas sangat besar mencapai ratusan ribu ton beras/tahun.
"RPC unggul dalam efisiensi teknis dan ekonomis. Sementara, penggilingan kecil dan keliling yang tidak efisien secara teknis," beber Fadel.
Lima perusahaan sangat besar yang bergerak dalam perberasan itu, antara lain PT Tiga Pilar Sejahtera karena memiliki kapasitas 810 ribu ton/tahun pada 2017 dan berencana meningkatkan produksi mencapai 2 juta ton/tahun pada 2020 atau menguasai lima persen pangsa beras nasional.
Perusahaan besar lain di bisnis perberasan adalah PT PBS, PT PUI, dan PT PLI di Jawa Timur dengan kapasitas 150 ribu ton pada 2014 serta PT SEP dengan dua pabrik di Sumatera berkapasitas 200 ribu ton di tahun sama.
Terlebih, menurut catatan Perpadi, kapasitas total penggilingan mencapai 200 juta ton gabah. Artinya, dengan produksi gabah nasional 79,3 juta ton per 2016, dipastikan terjadi persaingan kuat antarpenggilingan dalam menyerap gabah dan diyakini pemenangnya adalah perusahaan kakap.
"Apabila ada kolusi diantara mereka, maka terjadi kartel beras dan bila berjalan bertahun-tahun, maka ibarat bola salju, menggulung kian besar dan menggurita. Ha ini tidak boleh terjadi dan harus diatur sejak sekarang," tegasnya.
Gejala tersebut kini telah terlihat, di mana dari 29 ribu penggilingan anggota Perpadi, 92 persennya penggilingan kecil dan sekarang tinggal 40 persen, karena kalah bersaing membeli gabah.
Diprediksi, nantinya perusahaan sangat besar ini akan mengalahkan Bulog dalam pengendalian harga gabah maupun beras, sehingga mengancam ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
"Kini saatnya untuk mengkaji dan menata ulang struktur industri perberasan, sehingga kembali ke arah yang benar sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18/2012 tentang Pangan," seru Fadel.
Dia menyarankan demikian, lantaran UU Pangan cukup komprehensif dari sistem produksi dengan melindungi petani, mengatur distribusi, pemasaran, perdagangan, stabilisasi pasokan. "Dan mengatur harga pada tingkat produsen dan konsumen," lanjutnya.
Solusi MAI
Guna membatasi ruang gerak mereka, MAI menyarankan beberapa poin kepada pemerintah. Pertama, mengatur laju perkembangan RPC atau penggilingan padi besar (PPB) dengan mengatur cakupan (coverage) produksi gabah di kabupaten sekitar dari lokasi pabrik.
"Semestinya tidak boleh melakukan merger dengan perusahaan lain serta tidak boleh PMA hadir pada penggilingan padi, baik secara langsung maupun tidak langsung," ucap Fadel.
Kedua, penggilingan skala kecil direvitalisasi dan bermitra dengan Bulog. Ketiga, mengawasi ketat penggilingan kecil keliling, agar memenuhi standar kelayakan teknis dan efisiensi. Keempat, mengatur harga beras medium dan beras premium, sehingga efektif menstabilkan harga dan memberikan perlindungan bagi konsumen beras. (*)