Cukong Beras Digebrak, Anggota Ombudsman Super Agresif?
Perbincangan perberasan di tanah air tak pernah usai. Terlebih terkait penggerebekan gudang penggilingan beras modern milik PT Indo Beras Unggul (IBU) di kawasan Bekasi lalu (21/7/2017) oleh Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri.
Penggerebekan ini guna membongkar praktik curang dan penipuan kepada konsumen akan kandungan gizi. Dengan modal kemasan modern, beras dijual jauh sangat mahal yakni Rp 20 ribu per kg bahkan lebih. Padahal gabah yang dibeli hanya Rp 4.900 per kg. Karena itu, PT. IBU sangat efisien mengelurkan biaya namun sangat besar meraup keuntungan.
Tentang hal ini, berbagai pihak yang mengatasnamakan alumni kampus terbaik dan lembaga negara yang punya gigi seperti Ombudsman menyalahkan penggerebekan tersebut. Kementerian Pertanian dan Polri adalah dua lembaga negara yang menjadi sasaran untuk dimintai pertanggung jawaban.
Anggota Ombudsman,Alamsyah Saragih mendeklarasikan bahwa terjadi mal-administrasi terkait tindakan penggerebekan gudang beras PT. IBU. Anehnya, hal ini disampaikan dengan gaya LSM ke publik. Berbagai media memuat pernyataanya. Ini bukan yang seharusnya dilakukan oleh Ombudsman karena esensi tugasnya adalah melakukan mediasi. Seharusnya memanggil lembaga negara yang dicurigai melakukan maladiministrasi.
Karena itu, bagi saya hal yang wajar ketika muncul berbagai pihak yang kontra. Namun, kewajaran itu patut dipertanyakan. Kemarin Jumat (22/9/2017) lewat tulisanya di Harian Rakyat Merdeka, Prof Tjipta Lesmana mengupas tuntas perberasan khususnya apa yang sebenarnya terjadi pada kasus PT. IBU. Berbagai pihak yang kontra pun dikupas tuntas terkait maksud dan tujuannya. Tak heran, perbincangan praktek bisnis perberasan pun kembali memanas terutama di media sosial.
Tentang hal ini, saya sangat sepakat tentang apa yang dikupas Prof Tjipta Lesman. Dalam tulisannya tersebut disebutkan bahwa pihak yang kontra upaya Kementerian Pertanian dalam mengatur perberasan adalah ciri "Kapitalisme Ganas". Pasalnya, pihak ini menginginkan pemerintah tidak boleh intervensi dalam urusan perberasan. Karena itu, pihak ini begitu geram dan benci dengan segala upaya pemerintah khususnya Kementerian Pertanian dan Polri dalam menciptakan pasar yang memberikan keuntungan yang adil untuk produsen (petani), konsumen dan pedagang.
Namun demikian, terkait tindakan curang PT IBU, dalam prosesnya Bareskrim Polri telah menetapkan 2 orang tersangka dan tidak menutup kemungkinan bisa nambah lagi. Jadi, sebaiknya tidak perlu banyak bicara. Sebab negara kita adalah negara hukum.
Mengutip pernyataan Prof Tjipta Lesmana bahwa "tentu, Bareskrim Polri tidak bertindak sembrono. Mereka bertindak, antara lain, berdasarkan masukan dari Kementerian Pertanian, instansi pemerintah yang paling berwenang mengurus soal perberasan".
Saya pun sepakat dengan apa yang disampaikan Prof. Tjipta Lesmana bahwa Ombudsman sekarang kadang terkesan bertindak super-agresif. Dalam "kasus" apartemen Meikarta, misalnya, tiba-tiba salah satu anggotanya bertemu dengan Direksi Lippo, bertanya kenapa Lippo sudah menjual unit-unit Meikarta, padahal belum mengantongi izin? Pertanyaan ini menurut saya bagus dan kritis. Namun, setelah berdiskusi dengan pihak Lippo, Ombudsman seperti "disihir" dan justru berpihak kepada pihak pengemban. Ujung-ujungnya, anggota Ombudsman itu menawarkan jasa untuk membantu pengembang mendapatkan izin pembangunan dari instansi pemerintah daerah terkait.
Di berbagai pemberitaan, terkait kasus Apartemen Meikarta disebutkan bahwa Anggota Ombudsman Ahmad Alamsyah Saragih menyimpulkan pihak pengembang yakni Lippo Group telah melakukan transaksi jual beli di Meikarta. Alamsyah menilai, persoalan ini menyalahi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang mengharuskan adanya perizinan pembangunan rumah susun sebelum dipasarkan. Jika ini terus dilakukan, menurutnya, akan memiliki konsekuensi berupa sanksi administratif.
Alamsyah pun menyebutkan, dalam Pasal 43 di UU itu dijelaskan bahwa persyaratan jual beli di antaranya adalah kepemilikan IMB. Jika transaksi jual beli dilakukan sebelum semua izin itu beres, maka bisa berdampak pada sanksi pidana.
Namun, Direktur Komunikasi Lippo Group Danang Kemayan Jati membantah telah melakukan transaksi jual beli tersebut. Sejauh ini hanya booking fee atau uang tanda pemesanan dari konsumen. Uang tersebut tidak digunakan untuk kegiatan pembangunan, namun disimpan khusus di rekening berbeda dan sewaktu-waktu bisa dikembalikan ke konsumen. Booking fee itu normal dalam bisnis properti. Itu belum transaksi, masih pemesanan. Supaya antriannya tertib dan bisa dikembalikan.
Nah, kasus beras dan Apartemen Meikarta adalah contoh kasus mengindikasikan "bisa" ada "keuntungan" yang dipetik anggota Ombudsman dibalik ketajamannya menjalankan fungsi pengawasan. Saya bisa memaklumi mengkritik ke sana ke mari, asal jangan sampai ada "makelar" dibaliknya. Nilai kredibilitas Ombudsman semestinya untuk dijunjung tinggi. Namun, percayalah, tak lama masyarakat akan sadar sendiri.
Rico Simanjuntak | Alumni Sosek IPB