Memalukan Sosok Suu Kyi Atasi Dalam Kasus Rohingya
Ketua Umum Syarikat Islam Hamdan Zoelva mengatakan, rangkaian peristiwa kekerasan terhadap etnis Rohingnya di Myanmar memperlihatkan lemahnya komitmen dunia dalam penegakan Hak Azasi Manusia (HAM). Selama lima tahun terakhir konflik di Rohingnya menyebabkan kian bertambahnya jumlah korban jiwa dan ledakan jumlah pengungsi dari salah satu negara anggota ASEAN tersebut.
"Situasinya bukan lagi menjadi isu keamanan regional sebab komunitas etnis yang disebut-sebut sebagai warga tanpa negara tersebut sesungguhnya bukanlah ancaman terhadap negara Myanmar," katanya, kemarin.
Hamdan menjelaskan, ada tiga ironi besar dalam kasus Rohingnya sekaligus. Ironi pertama yakni penghargaan internasional, Hadiah Nobel Perdamaian, terhadap perjuangan HAM tokoh oposisi yang kini menjadi pemimpin defacto Myanmar Aung San Suu Kyi. Nobel perdamaian itu adalah hal yang bertentangan dengan semangat politik pemerintah Myanmar yang melakukan persekusi terhadap etnis Rohingnya.
Ironi kedua adalah komitmen internasional tentang pembangunan menyeluruh dan berkelanjutan yang berbeda secara diametral dengan sikap pemerintah Myanmar terhadap warga negaranya.Penderitaan akibat persekusi di bawah simbol negara tersebut adalah ironi besar di tengah gencarnya gerakan internasional untuk mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs).
"Seluruh indikator SDGs bertentangan dengan kenyataan politik Myanmar terkait Rohingnya. Ketika SDGs mengamanatkan penghapusan segala bentuk kemiskinan, mengakhirri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan jaminan peningkatan gizi, jaminan hidup sehat dan kesejahteraan segala usia, ketersediaan air bersih, keadilan gender dan perlindungan anak, serta beberapa indikator sosial lainnya, pemerintah Myanmar justru memperlihatkan hal sebaliknya lewat potret Rohingnya," katanya.
Hamdan menambahkan, Ironi ketiga adalah ironi historis sebab satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tokohnya
pernah menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen DK PBB) adalah Myanmar. Sebenarnya ini adalah modal historis dan politis bagi Myanmar untuk tampil paling depan menjadi pelopor perdamaian dan keamanan dunia terutama dalam isu jaminan perlindungan kemanusiaan.
"Tragedi Rohingnya yang tak kunjung memperlihatkan ujung penyelesaian damai tersebut memperlihatkan kelemahan negara Myanmar dan komunitas internasional yang diwakili oleh PBB dan ASEAN secara regional. Myanmar sebagai negara yang mendapat pengakuan lembaga-lembaga resmi internasional gamang dalam mewujudkan komitmen perdamaian dunia, demikian juga PBB dan ASEAN. Rohingnya adalah ujian berat bagi keduanya," cetusnya.