Menengok Potensi Kelapa Indonesia dalam Menguasai Pasar Dunia
Tekad Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman untuk membangkitkan kembali ekspor komoditas perkebunan unggulan dalam volume besar terbuka lebar. Misalnya komoditas kelapa yang saat ini menduduki peringkat nomor 3 perkebunan setelah minyak sawit dan karet, dipastikan mampu membawa Indonesia untuk menduduki peringkat ekspor nomor 1 di dunia.
Tentang hal ini, Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian (Kementan), Suwandi mengungkapkan kelapa merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan penyumbang devisa. Berdasarkan data BPS, periode Januari hingga Agustus 2017 sumbangan devisa dari ekspor kelapa mencapai USD 899,47 juta, sementara nilai impor hanya USD 8,65 juta.
"Artinya didapatkan surplus neraca perdagangan kelapa USD 890,82 juta. Surplus tersebut naik 20,67 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2016 yang hanya USD 738,20 juta," demikian ungkap Suwandi di Jakarta, Selasa (26/9/2017).
Tak hanya itu, sambung pejabat yang merangkap Plt. Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, berdasarkan Data International Trade Center (ITC), dalam peta perdagangan (Trademap) dunia tahun 2012 hingga 2016, Indonesia merupakan eksportir kelapa terbesar kedua setelah Filipina dalam wujud minyak kelapa dan kelapa dikeringkan. Sementara untuk kelapa didalam kulit (endocarp) Indonesia merupakan eksportir terbesar pertama dunia dengan kontribusi mencapai 59 persen dari total ekspor kelapa wujud tersebut dunia.
"Di tahun 2017 ini periode Januari hingga Agustus, ekspor kelapa Indonesia didominasi berupa minyak kelapa, wujud kelapa dikeringkan, dan kelapa dalam kulit. Ekspor minyak kelapa mencapai 63 persen dan wujud kelapa dikeringkan dan kelapa dalam kulit 19,87 persen. Sementara wujud kelapa yang diimpor Indonesia pada periode yang sama sebagian besar berupa minyak kelapa," sebut Suwandi.
Perlu diketahui, negara tujuan utama ekspor kelapa Indonesia tahun 2017 di antaranya ke Amerika Serikat 19,87 persen dari total ekspor Indonesia. Kemudian disusul ke China 16,10 persen, Belanda 11,75 persen , Thailand 10,16 persen, Malaysia 9,7 persen dan Korea Selatan sebesar 7,26 persen. Pangsa ekspor ke enam Negara ini mencapai 75 persen dari total ekspor kelapa Indonesia.
"Ini menunjukkan potensi pasar ekspor komoditas kelapa sangat menjanjikan. Pengembangan kelapa adalah suatu keniscayaan memberikan keuntungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada di pedesaan atau pinggiran," imbuhnya.
Suwandi menyebutkan sentra produksi kelapa cenderung menyebar ke beberapa provinsi Indonesia karena kelapa dapat tumbuh di seluruh wilayah Indonesia. Namun sentra utama kelapa adalah provinsi Riau dengan pangsa 14,31 persen terhadap rata-rata produksi kelapa nasional 2013 hingga 2017, disusul kemudian provinsi Sulawesi Utara 9,3 persen, Jawa Timur 8,89 persen, Maluku Utara 7,97 persen, Sulawesi Tengah 6,02 persen, Jawa Tengah 5,99 persen, Jambi 3,66 persen, Maluku 3,29 persen, Lampung 3,24 persen dan Jawa Barat 3,00 persen. Sementara provinsi lainnya dengan pangsa kurang dari 3,00 persen. Kawasan sentra produksi kelapa secara alamiah sudah terbentuk sejak dahulu dan petani di wilayah tersebut sudah familier dengan budidaya kelapa.
"Memperhatikan potensi sumberdaya pertanian Indonesia, peluang hilirisasi produk kelapa dan manfaat nilai tambah yang akan dinikmati 5,09 juta rumah tangga petani kelapa, maka sudah saatnya komoditas kelapa dikembangkan di wilayah-wilayah potensi sehingga menjadi unggulan di pasar global," ujarnya.
Adapun beberapa upaya pemerintah untuk meningkatkan pengembangan kelapa. Di antaranya, membangunkan atau mengoptimalkan lahan-lahan terlantar, melakukan program intensifikasi, rehabilitasi kebun, dan peremajaan tanaman, dan intercroping dengan tanaman lain. Di tahun 2017 ini, Mentan Amran menyediakan anggaran Rp 5,5 triliun untuk pengambangan komoditas hortikultura dan perkebunan, salah satunya kelapa. Melalui anggaran ini, pemerintah akan memberikan secara gratis berupa bibit dan pupuk dan alat mesin pertanian, replanting pada kawasan, serta pendampingan kepada petani.
"Upaya ini dipastikan memberikan efisiensi biaya usahatani karena dapat menekan biaya budidaya yang selama ini mencapai Rp 4,16 per hektar per tahun," demikian pungkas Suwandi. (*)