Intip Cara Kementan Gunakan Teknologi Satelit untuk Percepat Swasembada Pangan

Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian (Kementan), Suwandi, menyatakan swasembada beras sejak 2015 hingga kini tak lepas dari penerapan teknologi dalam penyusunan kebijakan di instansinya. Misalnya, pengumpulan dan pelaporan data pertanaman padi berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dipotret satelit Lansat-8 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

"Menggunakan citra satelit, kita bisa monitor kapan tanam padi sampai panen. Sebagai alat bantu dari selama ini menggunakan metode pandangan mata, " ujarnya saat mempresentasikan "Implementasi Sistem Informasi Geografis guna Menuju Swasembada Pangan" pada seminar nasional bertema "Peranan Teknik Sipil dan Lingkungan untuk Pembangunan Indonesia" di Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/10/2017).

Sebagai informasi, Indonesia mengulang sejarah 1984 pada tahun lalu, di mana produksi beras melampaui kebutuhan nasional, sehingga tak lagi impor dari negara lain sampai sekarang. Komoditas cabai dan bawang merah pun demikian sedari 2016 serta di 2017 untuk jagung pakan ternak.

Bahkan, Indonesia berhasil ekspor beras ke Papua Nugini, serta bawang merah ke Thailand, Filipina, Timor Leste, Vietnam dan Singapura. Rencananya, sela Hari Pangan Sedunia (HPS), minggu ketiga Oktober ini, akan kembali ekspor beras dari Entikong ke Malaysia.

Suwandi menerangkan, banyak keunggulan yang didapat dari teknologi satelit ini. Contohnya, sangat ekonomis, mudah, efektif, efisien, cepat, dan akurat. Sebab, gratis diperoleh data satelit dari LAPAN, mampu menjangkau seluruh wilayah dalam waktu singkat, terus menerus, minimalisir kesalahan manusia (human error) dengan komputerisasi dan sangat transparan dapat diakses web para pihak.

Citra satelit Lansat-8 diperbarui tiap 16 hari dan mampu memotret 900 meter persegi tiap pixel, karena tergolong resolusi menengah. Meski demikian, manfaatnya mengetahui seluruh fase pertanaman padi.  Hasil pemetaan ini disajikan dalam website dan dilengkapi dengan data spasial dan tabular yang lain, yakni data perkiraan curah hujan, data tinggi permukaan air waduk, peta sebaran luas baku sawah.

Kemudian, ada juga data estimasi kebutuhan pupuk, benih, dan sarana prasarana (sapras) per kecamatan.  Informasi-informasi dalam bentuk tabulasi dan spasial tersebut, merupakan bagian dari Sistem Monitoring Pertanaman Padi (Sitomandi) serta bisa diakses melalui laptop/komputer dan telepon pintar berbasis Android maupun iOS.  Saat ini sedang dibangun sistem  pemindaian foto/citra menghitung produktivitas padi, fase tanaman bawang merah, cabai, jagung, tebu, dan sawit," sambungnya. 

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas dan Informasi Publik ini menambahkan, penerapan teknologi tersebut selaras dengan kebijakan satu data dan satu peta pemerintah. "BPS (Badan Pusat Statistik) dan BIG (Badan Informasi Geospasial) jadi imam. Data statistik dikoordinir BPS, peta oleh BIG, yang lain jadi makmum," selorohnya pada seminar yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) serta dihadiri lebih dari 250 peserta.

Selain untuk pengambil kebijakan internal yang berimplikasi terhadap swasembada pangan serta peringatan dini (early warning system), kata Suwandi, penggunaan Sitomandi juga bisa digunakan akademisi sebagai rujukan metode pemanfaatan data satelit. Lalu, sangat berguna bagi petugas lapangan memudahkan mendata luas tanam, luas panen, serta rencana tanam, panen, serap gabah (sergap), dan kebutuhan ikutannya.

"Pengguna (Sitomandi) dari dalam dan luar negeri. Negara lain juga akses belajar ini," ungkapnya. Info pencitraan dalam Sitomandi tersimpan hingga 2-3 tahun terakhir dan Kementan menyiapkan buku manual sebagai acuan, agar masyarakat luas bisa membaca data yang dihasilkan serta mengoperasikan Sitomandi.

Sementara itu, Dosen Program Studi Teknik Sumber Daya Air IPB, Budi Indra Setiawan, mengapresiasi langkah Kementan. Pasalnya, keputusan tersebut menunjukkan Kementan tak sekadar adapatif terhadap perkembangan teknologi, namun harus pro-aktif. "Kalau adaptif, kan hanya tunggu saja, ya. Dia harus cari terus kemungkinan-kemungkinan teknologi yang bisa memperbaiki kinerjanya, pelayanannya," ucapnya pada kesempatan sama.

Menarik Pemuda

Menurut peraih gelar doktor dari Universitas Tokyo ini, kebijakan tersebut juga mampu meningkatkan partisipasi generasi muda di sektor pertanian. Dasarnya, terjun ke sektor pertanian kini tak lagi harus kotor-kotoran dan menggunakan tenaga semata kala di lapangan.

"Generasi muda sekarang yang dulu tidak begitu senang ke lapangan, apalagi basah-bahasan dan kotor-kotoran, sekarang dengan teknologi ini, precision agriculture, sehingga semua data di lapangan bisa kita dapatkan dan melakukan sesuatu yang memang tepat sasaran," urainya.

Masyarakat pun kian mudah dalam mengakses data pertanian. Karena dengan mengakses laman sig.pertanian.go.id, seluruh informasi dapat diketahui secara mudah dan murah. Hal tersebut pun selaras dengan prinsip transparansi. "Siapapun juga gratis mendapatkan data itu," jelas eks Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Keteknikan Pertanian IPB ini.

Budi berharap, Kementan terus menggunakan teknologi tepat guna dalam rangka menghadapi persoalan di lapangan yang begitu kompleks dan dinamis. Dirinya menyarankan demikian, lantaran permasalah itu tak bisa dihadapi dengan mudah tanpa menggunakan teknologi.

Lalu, Kementan juga diusulkan membangun sinergi dengan swasta. "Pemerintah tidak bisa sendiri, ya. Swasta harus masuk di dalamnya, termasuk para akademisi juga," tandasnya. (*)