Dirjen Hortikultura: Kementan Juga Berupaya Jaga Harga Pangan
Direktur Jenderal (Dirjen) Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Spudnik Sujono, menyatakan pihaknya tak sekadar bertugas mengawal sektor hulu pertanian semata, seperti produksi. Namun, juga menangani masalah lain terkait pertanian, semisal tata niaga.
"Seharusnya Kementan tanggung jawab produksi. Masalah harga, itu Kementerian Perdagangan, Dirjen ada. Namun, alhamdulillah, rupanya Mentan dan Mendag soulmate. Sehingga, saya juga harus tangani masalah rantai niaga," ujarnya dalam seminar "Peningkatan Efisiensi Rantai Pasok Bawang Merah untuk Mewujudkan Stabilitas Pangan dan Harga" di Batu, Jawa Timur, Kamis (2/11/2017).
Karenanya, Kementan mengeluarkan sejumlah kebijakan, agar harga komoditas pertanian stabil dan tanpa meminggirkan petani. Salah satu kegiatan yang dilakukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Hortikultura Kementan untuk komoditas bawang merah dan aneka cabai adalah manajemen tanam sejak awal 2016.
Hal tersebut dilakukan, karena langkah yang diambil sebelumnya untuk mengatasi tingginya harga komoditas pangan dengan operasi pasar. "Ini bukan sesuatu yang baik. Makanya, kita perbaiki sistem dengan manajemen tanam. Bawang, cabai, itu enggak tiba-tiba ada," jelas Spudnik.
Ditjen Hortikultura pun memperbaiki operasional melalui Program Upaya Khusus (Upsus) Bawang dan Cabai guna memperbaiki pergerakan tanaman pangan. Alhasil, dalam kurun beberapa tahun, kini produksi dalam negeri melampui kebutuhan. Bahkan, membalikkan keadaan, dari importir menjadi eksportir bawang merah.
Upaya lain yang dilakukan adalah memfasilitasi petani dengan pelaku industri, baik rumah tangga, olahan, hingga hotel, restoran, dan katering (horeka). Maksudnya, hasil panen petani dapat langsung terserap kala produksi melimpah dan harga yang diterima tetap baik.
Spudnik menambahkan, segala upaya pemerintah tersebut tak bisa serta-merta menstabilkan harga, meski pasokan selalu ada dan tanpa kendala. Soalnya, tata niaga pangan di Indonesia buruk. Alasannya, harga pangan tak melulu dipengaruhi penawaran (supply) dan permintaan (demand), melainkan disebabkan faktor lain.
Hal tersebut berdasarkan hasil temuannya sendiri di lapangan kala mengetahui penyebab utama harga bawang merah di Kalimantan pada awal 2016 hampir menembus Rp200 ribu per kilogram, berdasarkan teks berjalan pada sebuah stasiun televisi. "Padahal, di sana, harga Rp70 ribu," ungkapnya. Stok pun terkendali.
Ternyata, ungkap mantan Sekretaris Ditjen Tanaman Pangan Kementan ini, berdasarkan penggalian di lapangan, ada permufakatan jahat di tingkat pengepul besar untuk membeli harga bawang merah seharga Rp180 ribu per kilogram. "Itu rapih sistem tata niaganya," jelasnya.
Lantaran tak berwenang menghukum para pemain (middle man), Spudnik berinisiatif melaporkan masalah tersebut ke Bareskrim Mabes Polri serta memberikan semua informasi dan temuannya. Beberapa hari berselang, polisi menetapkan beberapa orang sebagai tersangka dan harga berangsur normal kembali. "Alhamdulillah, harga terkendali sampai Idul Fitri, Idul Adha," ucapnya bersyukur.
Hal tersebut juga menjadi dasar Ditjen Hortikultura Kementan untuk memantau harga bawang merah dan aneka cabai di tingkat petani dan pasar, baik sentra maupun non-sentra produksi setiap hari. "Memang kelihatannya sepele. Tapi, kalau statement Pak Wapres, cabai pun bisa goyang pemeritahan," tegasnya.
Ketua Kelompok Kajian Pengembangan UKM (K2PU) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (FIA Unibraw), Kusdi Raharjo, membenarkan pernyataan Spudnik, bila stabilitas harga tak semata-mata disebabkan hukum ekonomi tentang penawaran dan permintaan. Hal tersebut berdasarkan hasil kajian K2PU terkait gejolak bawang merah di Nganjuk dan Probolinggo pada 2013. Padahal, kala itu dua daerah tersebut merupakan sentra produksi dan sedang panen raya.
"Kenaikan produksi plus impor, sehingga pasokan cukup besar. Pertanyannya, kenapa di 2013 terjadi fluktuasi tinggi? Anehnya, saat masa panen raya di Nganjuk dan Probolinggo. Itu, kan jadi aneh. Berdasarkan analisis kami, tidak semata-mata dibentuk oleh aspek supply-demand," urainya.
Menurutnya, gejolak harga pangan turut dipengaruhi perilaku oportunistik pelaku. Umumnya, mereka menyiasati aliran informasi. Pasalnya, informasi menjadi dasar menjual atau membeli suatu komoditas pangan. "Mengapa perilaku oportunistik terjadi dalam rantai pasok? Itu bisa terwujud, kalau rantai pasok didesain dari awal, bukan terbentuk secara alami," papar Kusdi.
Dia menambahkan, perilaku oportunistik terjadi di Indonesia, karena rantai pasok komoditas hasil pertaniann di negara berkembang cenderung panjang, multilayer, teknologi informasi sederhana. "Jadi, di sini dengan kondisi seperti ini, maka koordinasi antarpelaku tidak ada atau rendah. Sehingga, koordinasi akan sulit, mendorong informasi asimetris, tak seimbang. Dampaknya, memunculkan ketidakberdayaan manajerial," pungkasnya. (*)