Dirjen PKH Tantang Akademisi Tingkatkan Daya Saing Ternak Lokal

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementa), I Ketut Diarmita menantang civitas akademika untuk terus berinovasi meningkatkan daya saing pengembangan peternakan. Ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing Sumber Daya Genetik (SDG) ternak lokal di Indonesia, sehingga populasi ternak rakyat melimpah yang akhirnya menurunkan angka impor.

I Ketut Diarmita menyebutkan Indonesia merupakan negara kedua yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Namun Indonesia juga dikenal sebagai negara yang memiliki daftar panjang tentang fauna yang terancam punah. Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources(IUCN)  Red List, fauna Indonesia dengan kategori kritis (critically endangered) ada 115 spesies, kategori endangered 74 spesies, dan kategori rentan (vulnerable) ada 204 spesies.

"Dari fakta ini, penting dilakukan pengelolaan SDG hewan secara nasional yang dimaksudkan untuk perlindungan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional, serta hak kekayaan intelektual yang berkaitan dengan pemanfaatan," sebut Ketut di Jakarta, Kamis (16/11/2017).

Untuk mewujudkan ini, Ketut menuturkan hal tersebut telah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Peternakan Berkelanjutan ke-9 yang dihadiri oleh Civitas Akademika di Bale Sawala Universitas Padjajaran Jatinangor, Kemarin, Rabu (15/112017). Karena itu, tantangan ditujukan juga kepada Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran untuk mampu secara terus menerus melakukan inovasi yang dapat menghasilkan teknologi dan bioteknologi yang handal agar sumber daya genetik ternak lokal dapat berkiprah dan berdaya saing ke depannya.

"Sejauh ini bioteknologi yang sedang dikembangkan dalam bidang peternakan adalah bioteknologi reproduksi yaitu inseminasi buatan, embrio transfer dan pemuliaan bibit, bioteknologi pakan dan kesehatan hewan," jelasnya.

Lebih lanjut Ketut mengungkapkan sampai saat ini beberapa wilayah sumber bibit ternak telah terbentuk rumpun atau galur ternak yang mempunyai keunggulan tertentu. Kurun waktu tahun 2010 hingga 2017 Pemerintah telah menetapkan sebanyak 71 rumpun atau galur ternak yang sudah terdaftar di FAO.

"Misalnya 13 rumpun sapi, 11 rumpun kerbau, 8 rumpun kambing, 10 rumpun domba, 4 rumpun kuda, 10 rumpun ayam, 13 rumpun itik, 1 rumpun rusa dan 1 rumpun anjing," ungkapnya.

Menurut Ketut, untuk pengembangan ternak lokal perlu dilakukan upaya-upaya konservasi dalam pemuliaan yang jelas dan terukur. Pasalnya, selama ini pembibitan ternak khususnya ternak ruminansia besar sebagai penghasil daging dan susu belum menunjukkan hasil yang signifikan. 

"Disini belum dihasilkan adanya bibit dasar, bibit induk dan bibit komersial yang dapat diperdagangkan dan dinikmati oleh para peternak. Begitu pun sistem perbibitan ternak nasional belum berjalan sebagaimana diharapkan," bebernya.

Akan tetapi saat ini, tegas Ketut, pelaksanaan kegiatan Inseminasi Buatan (IB) pada ternak sapi merupakan salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna yang merupakan pilihan utama untuk peningkatan populasi dan mutu genetik sapi. Melalui kegiatan IB, penyebaran bibit unggul ternak sapi dapat dilakukan dengan murah, mudah dan cepat. 

"Selanjutnya juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para peternak," tegasnya.

Terkait dengan peningkatan nilai tambah dan daya saing peternakan, status kesehatan hewan Indonesia harus menjadi semakin sempit. Ketut menilai, apabila dalam 5 tahun terakhir, pengelolaan peternakan dengan menggunakan ternak yang bersertifikat dan semakin menyempitnya wilayah endemik dan wabah, maka selain terjadinya peningkatan populasi dan produksi, secara ekonomis juga akan dapat meningkatkan volume ekspor komoditi peternakan. 

"Untuk itu, mari kita bersinergi, sudah saatnya peternak menjadi subjek yang harus diberdayakan dan ditingkatkan kesejahteraannya. Kita harus berikan pelayanan, baik dalam penyediaan benih,bibit ternak, sarana dan prasarana, teknologi atau bioteknologi dalam pengembangan ternak lokal yang mereka miliki sehingga peternak bisa mandiri dan berdaya saing, bisa menjadi price maker bukan price taker," tandasnya. (*)