APG 2018 : Momentum Menjadi Negeri Ramah Disabilitas

Sama seperti yang lainnya, penyandang disabilitas adalah komponen yang tak terpisahkan dari suatu Negara yang artinya kelompok ini harus memiliki hak yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas terdiri dari orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik sehingga dalam berinteraksi dengan lingkungan kerap menemukan hambatan yang menyulitkan saudara-saudara kita ini untuk berpartisipasi secara efektif.

Oleh karena itu, penyandang disabilitas memerlukan perlakuan khusus dalam mengakses layanan umum seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, sarana transportasi umum dan lain sebagainya. Berdasarkan peraturan penyandang disabilitas yang sudah diakui secara internasional, mengamanatkan setiap aksesbilitas yang tersedia harus dapat memenuhi asas aksesbilitas yang meliputi; kemudahan, kegunaan, keselamatan dan kemandirian.

Ketentuan-ketentuan tersebut sejatinya sudah lama diakomodir oleh konstitusi Indonesia, seperti yang terkandung dalam pasal 28A UUD 1945 yang berbunyi "setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya."

Di Indonesia pada masa dewasa sekarang ini, regulasi mengenai kaum penyandang disabilitas telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, yang menggantikan peraturan sebelumnya UU No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat. Pembaruan ini ada dikarenakan terjadinya perubahan sudut pandang terhadap kaum disabilitas. Jika pada UU No. 4 Tahun 1997 penyandang disabilitas dilabelkan sebagai kelompok difabel  yang dianggap sebagai objek yang memerlukan belas kasihan, maka dalam UU yang baru para penyandang disabilitas mulai diakui keberadaannya dan memiliki hak yang sama dengan warga Negara lainnya.

Lantas bagaimana implementasinya? Memang belum maksimal, namun harus diakui kurun waktu beberapa tahun terakhir di sudut-sudut jalan Ibukota Jakarta, sudah bisa dilihat beberapa fasilitas pemandu yang diperuntukkan bagi kaum penyandang disabilitas--khususnya bagi warga tuna netra dan pengguna kursi roda--salah satu contoh nyatanya bisa dilihat terdapat beberapa guide block berwarna kuning pada trotoar dan jalur pedestrian,  atau toilet di pusat perbelanjaan modern (mall) dan beberapa halte bus yang mulai menyediakan fasilitas bagi kaum penyandang disabilitas.

Sayangnya belum semua fasilitas seperti ini terdapat di pusat-pusat kegiatan publik lainnya seperti gedung perkantoran atau beberapa gedung instansi pemerintah. Beruntungnya, pada Oktober ini, Indonesia mendapatkan kehormatan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asian Para Games 2018 (APG 2018). Kesempatan ini bisa dijadikan momentum bagi Indonesia untuk bertransformasi menjadi negeri yang ramah disabilitas.

Pesta olahraga bagi penyandang disabilitas terbesar kedua di dunia setelah Paralympic ini diikuti puluhan negara di Asia dan akan mempertandingkan 18 cabang olahraga yang digelar di 19 arena. Sebanyak 8 arena berada di kawasan Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, dan sisanya tersebar di beberapa wilayah lainnya mulai dari kawasan Ancol hingga Sentul.

Dalam Editors Meeting yang digelar di gedung Kementerian Sosial RI pada Rabu lalu (26/09/2018), Wakil Ketua Umum Panitia Pelaksanaan Asian Para Games 2018 (INAPGOC) Sylviana Murni mengatakan bahwa  kompetisi ini dapat membuka pemahaman ke mata dunia bahwa Indonesia merupakan Negara yang ramah terhadap kaum disabilitas. Menurutnya, kesan ramah tersebut bisa timbul dari penyediaan fasilitas-fasilitas umum.

Selain fasilitas di venue tempat berlangsungnya pertandingan, yang menjadi perhatian khusus adalah lokasi penginapan para atlet agar bisa nyaman dan aman selama mengikuti kompetisi. Wisma penginapan para atlet atau Para Village sudah diperbarui sarana dan prasarana pendukungnya. Fasilitas pertama adalah guiding line di lantai-lantai setiap tower, yang berfungsi sebagai jalur penuntun dan petunjuk bagi para kaum penyandang disabilitas khususnya tuna netra.

Kedua, ramp untuk masuk ke dalam lift, yang berfungsi sebagai pengganti tangga dan yang ketiga adalah toilet ramah disabilitas yang mana di setiap bilik toilet terdapat hand railing untuk keamanan para atlet. Selain itu, ada juga penambahan enam unit lift khusus penyandang disabilitas yang memungkinkan penggunaan kursi roda, hingga mampu menampung sebanyak tiga orang pengguna kursi roda di setiap liftnya.

"Meskipun belum sempurna kita sudah berusaha keras. Beberapa masalah yang muncul karena arena yang digunakan adalah situs sejarah seperti Stadion Utama GBK jadi tidak bisa diubah begitu saja. Untuk mengakalinya, kita sediakan fasilitas disabilitas yang sifatnya temporer," ujar mantan Walikota Kakarta Pusat itu.

Selain itu, fasilitas akses dari bandara menuju ke Para Village dan Venue olahraga juga menjadi perhatian tersendiri. Melalui Kementerian Sosial, pemerintah turut menyediakan 6 unit minibus khusus untuk mengangkut atlet berkursi roda dengan kemampuan angkut empat atlet plus seorang supir dan satu relawan pemandu. Bukan hanya itu, nantinya juga akan didatangkan 4 unit mobil lainnya dari Jawa Barat, yang memiliki daya tampung lebih besar hingga 20 atlet berkursi roda.

Kendaraan tersebut dianggap cukup strategis untuk mendukung mobilitas atlet selama penyelenggaraan APG 2018. Skemanya, begitu tiba di bandara Soekarno Hatta, atlet peserta APG 2018 akan dijemput pihak panitia. Sedangkan di gerbang imigrasi akan disediakan jalur khusus.

 "Nantinya mobil-mobil ini kami harapkan bisa beroperasi 24 jam, tetapi untuk operasionalnya kami serahkan ke tim transportasi INAPGOC," terang Direktur Rehabilitas Sosial dan Penyandang Disabilitas Kemensos RI, Rachmat Koesnadi.

Upaya pemerintah untuk menciptakan kesan Indonesia yang begitu all out dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi para atlet APG 2018 perlu diacungi jempol. Namun yang perlu digaris bawahi adalah para penyandang disabilitas bukanlah komoditi untuk meningkatkan citra Negara. Pagelaran ini harus bisa mendongkrak kesadaran pemerintah dan serta masyarakat, untuk bisa konsen pada pengangkatan hambatan bagi penyandang disabilitas untuk beraktivitas dan bermasyarakat.

Hal ini senada dengan semangat yang digaungkan oleh Menteri Sosial RI Agus Gumiwang Kartasasmita yang menengaskan bahwa peran lembaga yang dipimpinnya dalam APG 2018 adalah membangun warisan agar setelah berakhirnya kegiatan ini, Indonesia bisa terus memperbaiki sarana dan prasarana untuk penyandang disabilitas. "Kami berharap perlakuan yang setara ini tidak hanya di Asian Para Games namun seterusnya harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, disertai penyediaan fasilitas publik yang ramah disabilitas di berbagai daerah di Indonesia."

Demikian juga yang diharapkan Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, Maulani Rotinsulu yang mengimbau segenap elemen bangsa dapat meningkatkan kesadarannya masing-masing atas keberadaan penyandang disabilitas yang merupakan bagian dari warga Indonesia. "Melalui momentum ajang adu prestasi penyandang disabilitas diharapkan masyarakat terbuka pemahaman bahwa penyandang disabilitas bisa berprestasi jika diberi kesempatan yang diikuti dengan upaya mengangkat hambatan."

Kesimpulan dari ini semua adalah sudah tentu menjadi kewajiban Negara untuk merealisasikan hak yang termuat dalam regulasi yang sudah ada, sekaligus sudah menjadi tugas Negara juga untuk meniadakan kebiasaan dan praktik-praktik diskriminatif terhadap penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan demi tegaknya hak asasi manusia bagi seluruh masyarakat Indonesia.