PERSIB, Antara Cinta dan Kandang Babi
Adeng, dia sahabat kecil saya. Punya nama yang sama dengan kapten Persib Bandung, Adeng Hudaya, di masa-masa keemasan perserikatan.
Kalau main bola, peran dia juga mirip Adeng yang kapten, jadi penghubung antara bek dan penyerang. Kadang ia bermain agak ke belakang jadi libero.
Bersama Adeng, saya kerap "dibon" alias disewa untuk main bagi klub-klub kampung sebelah di turnamen sepakbola bocah.
Tak ada bocah yang tak mencintai Persib di tahun antara 1984-1986. Itulah masa dimana Persib membangun reputasinya sebagai klub orang Jawa Barat.
Suatu saat terdengar kabar Persib akan bermain di Stadion Danalaga, satu-satunya stadion di kota kami. Jaraknya sekitar 6 KM dari tempat kami tinggal.
Dua anak usia 11 tahun, berjalan menyusuri rel kereta, di tengah hujan deras tanpa sepeser pun uang. Cuma punya satu tujuan: ingin melihat Adjat, Adeng, Roby, Sukowiyono dan Sobur beraksi.
Sepanjang rel kereta yang kami lalui, kami atur siasat apa saja yang memungkinkan Adeng melihat Adeng di Danalaga.
Melihat penjagaan yang ketat kami hampir menyerah. Tapi naluri menuntun kami ke Pajagalan. Rumah potong ternak yang letaknya bersebelahan dengan Danalaga.
Kandang babi adalah tempat yang paling dekat dari tembok stadion. Kami mengumpulkan apa saja dari kandang yang bisa kita naiki. Ada kayu tempat pakan, ada drum, ada bambu. Demi Persib, seluruh tubuh kena lumpur dan bau babi tak jadi soal.
Tumpukan barang-barang dari kandang babi berhasil membuat kepala kami melampaui tembok stadion. Tempat yang kami tapak tentu saja tak leluasa. Kami perlu ekstra hati-hati agar tumpukan barang itu tak roboh.
Takzimnya kami melihat Kapten Adeng dan pasukannya dalam balutan biru. Mereka gagah, tegas, keras sekaligus anggun. Demi melihat idola-idola itu, kami hanya bisa terpana. Menikmati detik demi detik skenario yang kami peroleh dari menumpuk barang yang ada di kandang babi...
Jangan bandingkan kemudahan menyaksikan siaran langsung Persib dulu dan sekarang. Dahulu siaran langsung sepakbola adalah kemewahan tiada tara.
Radio adalah andalan kami. Tapi bagi kami yang tinggal di Sukabumi, menangkap siaran radio pun bukan perkara mudah. Siaran langsung Persib biasanya hanya disiarkan RRI Nasional atau RRI Bandung. Satu di Jakarta, satunya di Bandung.
Radio transistor keluarga kami kadang tak cukup kuat menangkap pancaran dari kedua kota itu karena terhalang bebukitan.
Saya biasanya merengek pada Bapak agar dibelikan batere untuk dipasang di radio supaya bisa leluasa cari tempat yang lebih baik menangkap frekuensi.
Dan tempat favorit saya, suhunan (wuwung) rumah. Saya menenteng radio yang ukurannya tak kecil, ke atas genting dan nongkrong di wuwung hanya untuk dengar penyiar radio, yang kita tahu kadang kelewat dramatis.
Saya selalu berdebar kalau Sambas sudah menyapa "Saudara-saudara setanah air", "Kapten Adeng", atau Ripto Syavidi menggambarkan Adjat yang berputar-putar membawa bola mencari kawan.
Sinyal radio kadang kuat, tapi lebih sering lemah seperti terbawa angin. Itu artinya saya harus berputar atau berpindah posisi. Bukan perkara mudah jika itu harus dilakukan di atas genting.
Begitulah kami mencintai Persib. Melakukan apa saja untuk melihat, mendengar dan mengetahui si Pangeran Biru berjaya. Kami cinta buta pada tim ini.
Sampai pada suatu ketika....
Untuk kedua kalinya Persib kalah di final dari PSMS Medan. Wasit Jaffar Umar menganulir gol Roby, entah sebab apa. Penonton di Senayan sampai memenuhi lintasan atletik. Warga Jawa Barat broken heart.
Tak terkecuali kami anak-anak SD yang benerapa hari sebelum final ramai mendukung Persib balas dendam atas kekalahan final tahun sebelumnya.
Pagi setelah kekalahan Persib itu, kami seperti "demo" protes atas keputusan Jaffar anulir gol Roby. Saat istirahat, kami berteriak di depan kelas, tunjukan ekspresi kekecewaan.
Guru olahraga kami, Pak Lukman Hakim namanya, memanggil seluruh anak laki-laki. Kami semua dikumpulkan di satu ruangan. Ruangan kelas 2 seingat saya karena biasanya mereka pulang lebih awal.
Pak Lukman bertanya satu pertanyaan, "Apa komentar kalian tentang pertandingan semalam?"
Semua anak diurut satu persatu. Jawabannya tentu saja sama: kecewa karena Persib kalah!
Kecuali teman kami, namanya Mohansyah, dia di urutan paling akhir menjawab.
"Saya kecewa sekali Persib kalah, tapi saya bangga melihat perjuangannya dan juga senang karena pertandingannya bermutu", begitu jawab Mohan.
Saksi untuk peristiwa ini banyak: Morgana Geriger, Asep S Baharina Irmansyah Om Dadang, Baginda Siregar Yandi Mulyandi, Dani Frisman, Eris SugriwaSonny Ginanjar Suryadharma
Mohansyah sudah almarhum. Itu adalah kalimat emas yang kami ingat selamanya.
Sontak Pak Lukman merespon, "Nah itu jawaban seorang yang sportif! Begitulah kalian seharusnya melihat olahraga. Menang-kalah itu biasa tapi lihat perjuangannya!"
Jalan 6KM dari rumah, nonton menumpuk apa saja dari kandang babi atau mendengar radio dari suhunan rumah adalah perjuangan.
Dasarnya hanya kecintaan, sama sekali tak ada kebencian. Jaman itu, kebencian bahkan tak hadir ketika kemenangan yang sudah di depan mata harus lenyap sekalipun.
Saya tak tahu bagaimana kelanjutan "kecintaan" anak-anak dari generasi lebih baru pada Persib.
Tapi saya boleh mengklaim: menonton Persib dengan cinta meski berlumuran kotoran babi lebih mulia dari teriakan "Laa Illaaha illallahu" yang mereka gunakan untuk membenci!
Penulis: Bahrul Wijaksana