Wakil Ketua MPR: Yang Mulia Hakim, Tapi Maling
Primordialisme masih terlalu kuat memengaruhi sebagian besar rakyat Indonesia. Karena itu rakyat politik adu domba masih berjalan hingga saat ini.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua MPR Dr H.Mahyudin ST MT saat menyosialisasikan 4 Pilar MPR RI di Trenggalek Jawa Timur.
Saat ini, lanjutnya karena primordialisme masih kental di Indonesia, maka jangan heran masih terjadi penjajahan ekonomi di negara ini.
"Nilai primordial yang positif perlu dijaga. Tapi ada juga nilai primordial yang negatif. Saya ini punya cita-cita menjadi presiden. Tapi teman-teman saya bilang saya gak mungkin jadi presiden karena nama saya Mahyudin. Gak ada huruf 'O' - nya. Artinya saya bukan orang Jawa. Padahal pemilih terbesar adalah orang Jawa. Makanya paling mungkin jadi presiden dari orang Jawa. itu juga karena primordial," tutur Mahyudin di Pendapa Kabupaten Trenggalek, Senin (17/9).
Padahal yang diperlukan saat ini bukan sekedar orang Jawa, tapi orang pintar, baik, dan amanah. "Kalau pintar saja banyak. 560 orang anggota DPR itu orang pintar semua. Tapi yang ditangkap KPK dari teman-teman saya di DPR juga banyak. Bahkan Ketua DPR juga ditangkap KPK," beber Mahyudin.
Penjajahan, kata Mahyudin, terjadi hanya karena politik adu domba karena perbedaan. "Apa lagi primordialisme kita terlalu kuat," katanya.
Tanpa tedeng aling-aling Mahyudin menegaskan, kalau masih doyan uang dan ingin kaya jangan jadi pejabat.
"Kalau pengen kaya jangan jadi pejabat. Sebab kalau sudah jadi pejabat masih doyan uang dia pasti jadi maling. Kalau sudah jadi pejabat misal jadi anggota DPR maka harus berfikir sebagai negarawan. Segala sikap perilakunya hanya untuk kepentingan negara. Makanya disebutnya anggota dewan yang terhormat," urai Mahyudin.
Ditambahkannya, di bidang penegakan hukum masih banyak juga hakim dan jaksa yang ditangkap KPK karena masih doyan uang.
"Hakim itu disebutnya yang mulia. Karena dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia untuk menegakkan hukum yang berkeadilan. Tapi buktinya hakim-hakim ditangkapi KPK karena masih doyan uang, kepengen kaya. Itu pejabat yang tidak amanah. Masih bagus ditangkap KPK, coba kalau ditangkap dan digebugin rakyat," jelas politisi Partai Golkar ini.
Dalam kesempatan itu dijelaskan Mahyudin, dari lima sila, empat di antaranya sudah berjalan baik. Yang masih kurang berjalan baik sila keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Keadilan ini yang masih sulit dilaksanakan. Padahal rasa adil itu penting untuk seluruh lapisan masyarakat," lontarnya.
Karena itu, kata Mahyudin, konsep ekonomi yang selalu ditawarkan adalah ekonomi kerakyatan. Sedangkan saat ini pengaruh globalisasi melahirkan konglomerasi dari sistem ekonomi kapitalistik.
"Maka gini rasio semakin tinggi. Trickle down effect yang diharapkan dari kapitalisme itu tidak terwujud. Tak ada itu yang namanya tetesan kemakmuran dari konglomerasi kepada rakyat," ungkapnya.
Ia menegaskan saat ini rakyat kecil harus diangkat perekonomiannya dengan subsidi dari negara. Masyarakat yang penghasilan besar, harus membayar pajak jauh lebih besar.
"Di Eropa, wajib pajak yang pendapatannya di atas 75 juta Euro setahun membayar pajaknya di atas 50 persen. Nah, pendapatan pajak dari orang kaya ini untuk mensubsidi orang miskin. Di sini terbalik, warung nasi tegal dipajakin, orang kaya ngemplang pajak," pungkas Mahyudin. (*)