Dua Hari Sebelum Sang Dermawan itu Berpulang
Saya sudah cari-cari tahu di google siapa Dian Al-Mahri, tapi tidak muncul. Beberapa artikel saya baca di internet bahkan menyebut warga Meruyung, tempat masjid ini berdiri, juga banyak yang tidak kenal siapa pendiri dan kapan masjid ini dibangun. Karena tiba-tiba diresmikan dan dibuka untuk umum pada tahun 2007 lalu.
Akhirnya beliau berpulang di hari yang mulia, Jum'at (29/3) dini hari tadi. Juga di bulan mulia, bulan Ra'jab.
|
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Allahummaghfirlaha warhamha wa'afihi wa'fuanha.
Saya tidak begitu kenal dengannya, apalagi dia, yang sama sekali tidak kenal dengan saya. Tapi entah mengapa kepergiannya membuat rasa terenyuh dan kehilangan begitu kentara.
|
Baru saja dua hari yang lalu, tepatnya Selasa (26/3) malam, saya bertanya panjang lebar tentang sosok ini. Kebetulan malam itu kami berkesempatan untuk kali ketiga shalat di masjid megah yang di bangun olehnya, lalu kami terjebak hujan usai shalat Maghrib.
Kemudian sang security meminta kami berteduh di dalam pos penjagaannya. Dari sanalah saya mencoba membuka pembicaraan dengan bertanya siapa itu Dian Al-Mahri: nama yang dipakai untuk masjid megah tersebut.
Sebab tidak banyak yang tahu persis. Saya sudah cari-cari tahu di google siapa Dian Al-Mahri, tapi tidak muncul. Beberapa artikel di internet bahkan menyebut warga Meruyung, tempat masjid ini berdiri, juga banyak yang tidak kenal siapa pendiri dan kapan masjid ini dibangun. Karena tiba-tiba diresmikan dan dibuka untuk umum pada tahun 2007 lalu.
Misterius. Seperti legenda candi Prambanan yang dibangun dalam semalam.
Padahal, kata pak security, pembangunan masjid itu telah dimulai sejak tahun 1998, era krisis moneter. Ketika itu dia masih sekolah. Namun tak banyak yang tahu, jika di balik tembok-tembok tinggi itu akan dibangun masjid.
Rasa takjub akan kemegahan masjidnya sontak berubah menjadi rasa penasaran. Siapa gerangan sosok yang tak tanggung-tanggung mewakafkan hartanya itu?
Pendiri masjid tersebut padahal bukan sosok terkenal, public figur atau masuk dalam jajaran daftar orang kaya di Indonesia yang biasa dirilis Majalah Forbes.
Sebab, konon ceritanya masjid ini adalah masjid pribadi. Biaya pembangunannya diambil dari kocek sendiri salah seorang pengusaha.
Yang belakangan saya diberitahu namanya adalah Hajjah Dian. Lengkapnya: Hajah Dian Djuriah Rais binti H. Muhammad Rais. Sementara Al-Mahri itu menurut pak security adalah nama anaknya.
Hisab saya, beliau tidak hanya dermawan, tapi juga adalah sosok yang mukhlisin (orang Ikhlas). Dia sepertinya menjaga amalannya agar tidak begitu dikenal publik. Bahkan kabarnya, Ia termasuk tidak mudah ditembus untuk diwawancara media. Penjagaannya ketat. Apalagi bersedia diundang menjadi narasumber talkshow. Untung-untungan bisa bertatap muka dengannya.
Padahal masjid yang dibangunnya tak hanya megah, tapi juga fenomenal. Lima kubah masjidnya berlapis emas 24 karat setebal 2-3 milimeter. Sementara kubah-kubah yang lain dilapisi dengan mozaik kristal.
Lalu di dalam kubah utama yang berdiameter 16 meter itu menggantung sebuah lampu gantung hias seberat 8 ton yang katanya didatangkan langsung dari Italia.
Bukan hanya lantaran lapisan emasnya, akan tetapi juga detail desainnya, kualitas material masjidnya, keasrian taman, tata kelola parkir dan jalan, penjagaan, kejernihan sound systemnya, kebersihan di dalam maupun di luar masjid, kefasihan muazin dan imamnya, dan tak begitu populernya sosok pendiri masjid ini membuat saya kian larut dalam suasana syahdu dan perasaan-perasaan damai lain yang sulit saya mengerti setiap berada di sini.
Masjid ini, kata pak security dibangun di atas tanah seluas 70 hektar. Kami sempat mengelilingi tembok-tembok tinggi masjid ini menggunakan motor.
Meskipun nggak habis, tapi kami sudah melintasi beberapa komplek perumahan, empang, tanah kosong, sampai nyaris tersesat, nggak tahu mau keluar lewat mana. Google maps sampai bego hari itu! Buntu. Nggak tahu lagi jalan keluarnya lewat mana. Beruntung, anak beberapa warga yang ramah bersedia menunjukkan jalan.
Luasnya jika dibandingkan dengan Masjid Istiqlal, yang konon disebut sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara, masjid nasional itu menjadi terasa kecil. Masjid Istiqlal ternyata berdiri di atas tanah seluas sembilan hektar.
Selamat Jalan Bu Hajjah Dian, semoga Allah menyediakan istana dan tempat yang lebih istimewa di sana... Amien...